ANTARA KEJUJURAN DAN RASA MALU
Oleh: M Zaid Wahyudi
(Harian Kompas, 3 Mei 2014)
=====
Az, salah satu tersangka kekerasan seksual di Jakarta
International School, tewas setelah meminum cairan pembersih lantai di toilet
Polda Metro Jaya, Sabtu (26/4). Polisi menduga, ia bunuh diri, malu atas
perbuatannya. Pada secarik kertas yang ditunjukkan polisi, Az menulis pernah
melakukannya sekali.
Secara universal, dorongan seksual terhadap anak dan bunuh
diri adalah sesuatu yang terlarang, tak bisa dibenarkan. Namun, pengakuan Az
seperti yang ditunjukkan polisi memperlihatkan masih adanya rasa malu dan
kejujuran dalam dirinya.
Kondisi berbeda dipertontonkan sebagian tersangka korupsi.
Dengan tersenyum dan melambaikan tangan, mereka keluar gedung Komisi
Pemberantasan Korupsi seusai pemeriksaan. Dalam persidangan di pengadilan
tindak pidana korupsi, mereka pun enggan mengakui perbuatannya meski sudah
disumpah berdasar kitab suci.
Psikolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmad
Hidayat, Rabu (30/4), mengatakan, rasa malu dan bersalah merupakan fenomena
yang berbeda pada setiap budaya. Mengutip disertasi Seger Breugelmans di
Universitas Tillburg, Belanda, berjudul Cross-cultural Non (Equivalence) in
Emotion: Studies of Shame and Guilt, 2004, bangsa Barat dan Timur punya
persepsi berbeda atas rasa malu.
Masyarakat Eropa (studi di Belgia) mengaitkan rasa malu
dengan sesuatu yang normatif, benar atau salah berdasar norma yang berlaku.
Sementara masyarakat timur (studi di DI Yogyakarta) menempatkan rasa malu
berdasar relasi sosialnya, apakah bisa diterima atau ditolak lingkungannya.
Bukan perkara benar-salah.
“Ukurannya patut atau tidak secara sosial. Rujukannya,
apakah perbuatan itu biasa dilakukan orang lain di lingkungannya atau tidak,”
katanya. Pada konteks itu, sikap kelompok afiliasinya menjadi penting.
Pada kasus Az, Rahmat menduga rasa malu lebih dominan
menjadi pendorong bunuh diri, bukan rasa bersalah. Dasarnya, budaya Indonesia
memandang membuka bagian tubuh orang lain, apalagi sampai melakukan kekerasan
seksual adalah hal memalukan.
Malu adalah aspek emosi, sedangkan rasa bersalah merupakan
aspek kognisi yang terkait dengan kemampuan berpikir.
Sementara, bagi koruptor, hal yang memalukan bukanlah
perbuatan korupsinya. Namun, apakah ia masih diterima atau tidak oleh
lingkungannya. Inilah yang akhirnya jadi persoalan dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia. “Korupsi tak lagi dianggap aib diri,” ujarnya.
Pada banyak kasus, uang hasil korupsi tak dinikmati pelaku
sendiri, tetapi juga lingkungan sekitarnya, langsung atau tidak langsung. Meski
koruptor telah dipenjara, dukungan dari orang-orang di sekitarnya, baik
keluarga maupun rekan-rekan di partai politik, tetap mengalir dan dielu-elukan.
Bahkan, ada koruptor yang bisa melantik anak buah dalam penjara.
Otak
Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam
Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak mengatakan, rasa malu dan kejujuran diproses
pada bagian otak yang sama, yaitu korteks prefrontal, khususnya daerah
orbitofrontal. Bagian itu di belakang mata dan secara umum mengatur moral
manusia.
Pada Az, rasa malu muncul sebagai buah konflik batin karena ia dikenal lingkungannya sebagai orang taat beragama. Namun, Az tidak berusaha merasionalkan atau mencari pembenaran atas perbuatannya, misalnya karena dipaksa teman.
Sementara, pada koruptor, rasa malunya hilang karena
tertekan upaya rasionalisasi atau pembenaran tindak pidana korupsinya.
Pembenaran korupsi itu biasanya berdasar dalih uang hasil korupsinya untuk
partai, keluarga, atau disumbangkan.
Taufiq menegaskan, rasionalisasi atau proses pembenaran tindakan
sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan diri saat manusia terancam. Proses
itu bertujuan positif, misalnya sebagian orang yang kemalingan atau kecopetan
memaknai musibah itu sebagai teguran Tuhan untuk lebih banyak beramal.
Namun, pada sebagian orang termasuk koruptor, pembenaran
justru dilakukan untuk tindakan yang jelas salah. Contohnya, seseorang korupsi
karena keluarga, lingkungan sosial, atau partai politiknya butuh uang itu.
“Proses rasionalisasi dan mekanisme bertahan diri dimaknai berbeda oleh Az dan koruptor,” katanya.
Budaya korupsi
Amich Alhumami dalam "Korupsi, Perspektif Antropologi"
(Kompas, 15 Desember 2008) menulis, dalam konteks budaya yang berlainan,
korupsi bisa dimaknai berbeda. Pada wacana modern, korupsi didefinisikan
sebagai penyalahgunaan kekuasaan, lembaga publik, dan kewenangan yang
dipercayakan untuk kepentingan pribadi, manfaat ekonomi, atau keuntungan
finansial lainnya.
Pada konteks budaya negara patrilineal, pengertian korupsi
sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi tak berlaku. Pada
masyarakat patrinileal itu, kekuasaan telah mengalami personalisasi, jabatan
publik dianggap milik pribadi. Karena itu, mengalokasikan sumber daya publik
(aset ekonomi, pekerjaanm dan dana) kepada keluarga, kerabat, teman, dan kroni
dianggap lumrah.
Selain itu, dalam masyarakat tradisional, pemberian barang
atau uang yang dalam wacana korupsi disebut gratifikasi merupakan simbolisasi dan
pengikat relasi sosial. Budaya saling memberi bukan dianggap sebagai sogokan,
melainkan wujud terima kasih.
Namun, masyarakat modern memaknainya berbeda. Gratifikasi
dimaknai sebagai korupsi karena dimanfaatkan untuk memperlancar urusan dan
mempermudah penyelesaian masalah. Fungsi sosial tukar hadiah diselewengkan
menjadi uang suap/pelicin yang jelas bertentangan dengan moral publik dan etika
sosial.
Kondisi itu membuat pemberantasan korupsi di Indonesia makin
sulit karena budaya masyarakat belum mendukung. Sebagian masyarakat justru
menganggap koruptor sebagai “pahlawan” dan korupsi sebagai hal biasa. Tidak
memalukan.
Meski demikan, Rahmat menilai pandangan masyarakat terhadap
korupsi bisa diubah. Pandangan korupsi sebagai aib, sebuah tindakan memalukan
yang menghilangkan harga diri, bisa dibangun. Sikap malu itu berlaku bukan
hanya bagi koruptor, melainkan juga bagi orang-orang yang berhubungan dengan
koruptor.
“Jika rasa malu menjenguk koruptor bisa dibangun, itu akan lebih efektif sebagai sanksi moral dan sosial bagi koruptor dibandingkan dengan memberi koruptor pakaian khusus,” tuturnya.
Upaya membangun rasa malu itu akan lebih efektif melalui
sistem, bukan dengan membangun karakter masyarakat. Menurut Rahmat, pembangunan
karakter dengan pendekatan psikologis selalu lebih sulit.
Taufiq menambahkan, masyarakat tak terbiasa dengan rasa malu karena sistem yang belum mendukung. Hukuman bagi koruptor dianggap masih terlalu rendah. Selain itu, rasa malu individu sulit ditumbuhkan karena korupsi banyak yang dilakukan bersama-sama.
Pendidikan memegang peranan penting dalam menumbuhkan rasa
malu atas dasar benar salah sesuai norma yang berlaku. Namun, pendidikan di
Indonesia belum mampu menumbuhkan rasa malu itu sebagai bagian dari perilaku
publik.
Budaya patrilineal masyarakat Indonesia membuat kekerabatan
antarmasyarakat sangat kuat. Pada sistem kekerabatan itu, upaya penyamaan atau
meniru orang lain mudah dilakukan, baik itu yang bersifat positif maupun
negatif. Oleh karena itu, untuk mengubah budaya dengan membangun perilaku
positif, butuh figur teladan yang sangat kuat.
Persoalannya, masyarakat saat ini kekurangan figur teladan
baik dalam masyarakat. Bahkan, guru-guru di sekolah yang seharusnya jadi
panutan siswa agar punya rasa malu atas pelanggaran terhadap norma justru
mendorong siswa mencontek dalam ujian nasional.
“Budaya malu tak bisa diajarkan karena bukan teori. Tapi
harus dicontohkan sebagai keterampilan hidup,” ujarnya.
Selain itu, penegakan hukum juga perlu diperkuat. Hukuman
bagi koruptor pun perlu diperberat. Gerakan sosial masyarakat yang anti korupsi
juga perlu terus dibangun sebagai alat kontrol masyarakat. Tak sebatas menunggu
penegakan hukum.
sujud sukur berkat bantuan aki pramadi,,,dan berkat imformasi dari member-member aki pramadi,,,yang telah meyampaikan bahwa jika anda ingin mengubah nasib melalui angka togel ghoib hubungi AKI PRAMADI,,,dan TADI malam saya sudah buktikan berkat bantuan AKI PRAMADI,,,yang telah memberikan angka togel ghoib SGP 4D (9998) tadi malam 17-12-2015 akhirnya saya menang 500 juta,,,dan insyaallah saya bisa lunasi semua hutang-hutang saya yang lagi di BANK,,,sekali lagi saya ucapkan banyak-banyak terimah kasih kepada AKI PRAMADI,,,dan member-member.nya yang telah mengimformasikan keberhasilanya,,,dan saya turut mengimformasikan,,,jika anda merasa punya beban (hutang)yang sudah lama belum bisa terlunasi,,,dan ingin mengubah nasib lebih layak dibandingkan nasib yang sekarang seperti saya,,,dan member-member yang lain silahkan hubungi AKI PRAMADI DI nomor,,,082~349~535~132,,BELIAU BISA MEMBANTU DI PUTARAN APAPUN,ATAU ANDA BUTUH PESUGIHAN SILAHKAN HUB AKI PRAMADI DEMIKIAN KISAH NYATA DARI SAYA
BalasHapusAssalamualaikum.wr.wb. perkenalkan nama saya Hariyati Dewi Tki Hongkong, saat menulis ini saya teringat memory masa lalu.saya sangat tergugah hati melihat coretan hati yang Ibu tulis. saya jadi teringat tentang masa-masa sulit dulu,karena iktiar dan usaha , seolah2 menjadi dendam bukan lagi motivasi, cuma satu tujuan saya pada saat bagaiman caranya untuk bangkit..singkat kata berbagai macam iktiar dan cara yang saya lalui, mengingat pada saat itu hutang saya 1,2m yang tidak sedikit, belum lagi bunga renternir yang bertambah. karena usaha, kesungguhan hati, akhirnya saya menemukan jalan /solusi melalui Program Pesugihan Dana Gaib Tanpa Tumbal. saya percaya ALLAH ITU TIDAK DIAM MAHA PENYAYANG , cobaan itu bukan lah ujian tapi hadiah yang tersilmut untuk kebahagiaan yang sebenar2nya. Dengan keyakina dan keberania saya ikut bergabung untuk mengikuti Program Pesugihan Dana Gaib Tanpa Tumbal dan memohonkan dana sesuai kebutuhan dan kesanggupan saya. Cuma dalam waktu 1 hari 1 malam saya mendapat telpon dari pihak Program tersebut, Alhamdulillah dana yang saya mohonkan sudah cair dan sudah dapat saya gunakan untuk melunasi hutang. jika anda ingin seperti saya
Hapussilahkan hubungi
Ki Witjaksono: 085-2222-31459
Atau kunjungi website
Klik-> PESUGIHAN DANA GAIB
ingat kesempatan tidak akan datang untuk yang kedua kalinya