Sabtu, Oktober 26, 2013

Inilah Pemegang Dinasti Kekuasaan/Dinasti Politik di Beberapa Daerah di Provinsi Sumatera Utara

Agak nyesal juga hari Jumat (25/10) saya tidak membeli koran Tribun Medan edisi hari itu. Sebab ternyata edisi hari itu menurunkan liputan khusus yang menarik sekali mengenai dinasti politik di Provinsi Sumatera Utara. Untunglah Tribun Medan merupakan sebuah perusahaan surat kabar yang murah hati, sehingga e-paper koran ini bisa dilihat gratis di website medan.tribunnews.com. Memang, laporan khusus yang diletakkan di halaman 1 itu sambungannya di halaman 7 gak nyambung, karena halaman 7-nya bertanggal 21 Oktober bukan 25 Oktober. Tapi info yang ada di halaman 1 sudah lumayan memadai lah. Ini dia dinasti politik di Sumatera Utara.


1. TD Pardede (alm)

>>> Pengusaha yang melahirkan kelompok bisnis TD Pardede yang mengelola bisnis hotel, rumah sakit, dan bisnis lain.
* Anaknya, Rudolf Pardede, sempat menjadi Wagub Sumut dan Gubernur Sumut saat almarhum Gubernur Rizal Nurdin tewas dalam kecelakaan pesawat Mandala tahun 2005. Kini Rudolf adalah senator (anggota DPD) dari Provinsi Sumut.
* Cucunya (anak Rudolf), Salomo TD Pardede, merupakan anggota DPRD Sumut.
* Sebetulnya, cucunya (putri Rudolf), Yohana Pardede adalah caleg DPRD Kota Medan dari Partai Gerindra. Namun Yohana meninggal belum lama ini.


2. Tengku Rizal Nurdin (alm)

>>> Mantan Gubernur Sumut, yang meninggal dalam kecelakaan pesawat Mandala.
* Adiknya, Tengku Erry Nuradi, mantan Bupati Serdangbedagai dua periode, kini menjabat sebagai Wagub Sumut periode 2013-2018.
* Iparnya (istri T. Erry), Helvi Diana Sitorus, adalah anggota DPRD Sumut.


3. Bomer Pasaribu
>>> Politisi Partai Golkar, mantan Menteri Tenaga Kerja di era Presiden Gus Dur, kini menjabat Duta Besar RI di Denmark dan Lithuania.
* Adik keempatnya, Syahrul Pasaribu, kini menjabat Bupati Tapanuli Selatan.
* Adik keenamnya, Gus Irawan Pasaribu, kalah dalam Pemilukada Sumut 2013 dan kini menjadi Caleg DPR RI dari Partai Gerindra.


4. Idealisman Dachi

>>> Bupati Nias Selatan periode 2011-2016. Sebelumnya anggota DPR RI periode 2004-2009.
* Abangnya, Suasana Dachi, anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dari Partai Hanura, sekarang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR RI dari Partai Gerindra dari Dapil Sumut 3.
* Abangnya, Fansolisman Dachi, komisioner KPUD Nias Selatan, sekarang mencalonkan diri lagi di posisi itu
* Abangnya, Aris Dachi, kontraktor dan caleg DPRD Nias Selatan dari Partai Gerindra
* Saudarinya, Murni Dachi, sekarang Kepala Dinas Kesehatan Kab. Nias Selatan.
* Adiknya, Firman Adil Dachi, kontraktor di Nias Selatan.
* Adik iparnya, Foarota Laoly/Ama Rinto Laoly, Kepala Dinas Perizinan Kab. Nias Selatan.


5. Bachrum Harahap

>>> Bupati Padanglawas Utara, sudah dua periode
* Anaknya, Andar Amin Harahap, menjadi Walikota Padangsidempuan setelah mengalahkan anak Walikota Medan nonaktif Rahudman Harahap, Dedi Jamin Harahap, dalam Pemilukada Padangsidempuan.


6. Torang Lumbantobing

>>> Bupati Tapanuli Utara dua periode
* Adiknya, Saur Lumbantobing, maju dalam Pemilukada Tapanuli Utara 2013 berpasangan dengan Manerep Manalu, dan sekarang sudah lolos ke putaran kedua pemilukada tersebut.


7. Amri Tambunan

>>> Bupati Deli Serdang dua periode
* Adiknya, Ashari Tambunan, maju dalam Pemilukada Deli Serdang 2013 berpasangan dengan Zainuddin Mars (wakil bupati petahana). Menurut perhitungan Desk Pilkada Kesbangpolinmas Deli Serdang, pasangan ini memenangkan Pemilukada Deli Serdang.


8. Rahudman Harahap

>>> Walikota Medan nonaktif
* Anak pertamanya, Dedi Jamin Putra Harahap, maju dalam Pemilukada Padangsidempuan 2013 namun kalah dari Andar Amin Harahap (putra Bupati Padanglawas Utara). Kini Dedi justru menjadi Camat Medan Marelan.
* Anak ketiganya, Roby Gusman Harahap, anggota DPRD Tapanuli Selatan.

=======

Kamis, Oktober 17, 2013

Membahas Haji di Program Tempo Hari TVOne



Program Tempo Hari di Tvone (16/10) menghadirkan perbincangan menarik dengan menghadirkan narasumber penceramah kondang Mamah Dedeh. Program yang dipandu presenter berwajah eksotik, Fentin Oktavi, itu membahas seputar ibadah haji.

Pertama, dibahas mengenai hukum orang yang berhaji dengan menggunakan utang. Apakah orang boleh melakukan haji dengan dibiayai oleh utang? Sementara orang tersebut beranggapan bahwa ia di masa mendatang akan sanggup melunasi utangnya tersebut, yang dengan demikian ia berarti sudah dapat digolongkan ke dalam “golongan mampu menunaikan ibadah haji”? mengenai pertanyaan ini Mamah Dedeh memakluminya dengan menyebut bahwa di jaman sekarang sudah ada program-program seperti yang ada di bank tertentu, memberikan semacam “dana talangan haji” yang pada intinya adalah bank itu memberi pinjaman uang untuk pergi haji kepada orang yang ingin berhaji (Artinya memberikan piutang). Menurut Mamah Dedeh, selagi si pengutang itu mempunyai harta yang nilainya setara atau lebih besar dari besaran utang untuk pergi haji itu, maka peminjaman uang untuk pergi haji itu diperbolehkan. Sebab berarti jika sewaktu-waktu ketika si pengutang meninggal ketika sedang berhaji, maka utangnya tersebut bisa segera langsung dilunasi dengan menggunakan harta si pengutang tadi. Dengan demikian si pengutang yang berhaji tadi tidak lagi mempunyai urusan utang piutang setelah ia meninggal. Contohnya, jika untuk pergi haji perlu duit sekitar Rp 35 juta. Maka jika seseorang ingin berhutang sebesar Rp 35 juta itu agar bisa pergi haji, ia minimal harus punya harta pula sebesar Rp 35 juta itu untuk dijadikan semacam “jaminan”, apakah itu rumah, tanah, kendaraan, emas, dll. Jadi jika si pengutang meninggal, atau tidak dapat melunasi utangnya, maka harta jaminan tadi dapat diambil oleh si pemberi utang untuk dijadikan alat pelunasan utang. Jadi ibadah hajinya itu tidak dinodai dengan segala macam sengketa utang piutang. Kendati dibolehkan pergi haji dengan utang, tentu lebih baik dan lebih aman jika berhaji menggunakan dana tabungan sendiri yang berasal dari sumber-sumber yang halal tentunya. Sebab bukankah panggilan berhaji terutama dikhususkan bagi “orang-orang yang mampu”?

Sebaliknya, jika orang itu tidak ada jaminan dapat melunasi utangnya untuk berhaji, maka ia tak boleh pergi berhaji menggunakan utang. Sebab dengan demikian ia berarti “memaksakan diri” untuk berhaji, karena kesanggupan untuk berangkat haji belum terpenuhi pada dirinya.

Kedua, Mamah Dedeh bercerita mengenai musibah yang terjadi di Mina pada musim haji tahun 1990. Ketika itu ada sekitar 1000 lebih jamaah haji meninggal dunia dalam “chaos” yang terjadi di sebuah terowongan di Mina yang dari dan menuju ke tempat melempar jumrah. Beberapa ratus di antaranya adalah jamaah asal Indonesia. Mamah Dedeh yang juga berhaji pada musim haji itu menceritakan, ia dan beberapa temannya selesai melontar jumrah setelah salat subuh, kemudian kembali ke tenda. Beberapa waktu kemudian, massa yang sedang melintasi terowongan sepanjang k.l. 3 km itu setelah selesai melontar jumrah mendadak mendapati hal buruk, yaitu pasokan gas oksigen di terowongan itu mati/terhenti. Karena pasokan oksigen makin menipis, sementara jumlah orang di terowongan itu ribuan, maka sesak napaslah para jamaah itu. Banyak yang kemudian pingsan dan tergeletak di jalanan terowongan itu. Situasi makin parah karena terjadi pertemuan titik konsentrasi massa. Jamaah yang baru masuk terowongan dengan tujuan melontar jumrah justru tersandung badan-badan para jemaah yang pingsan itu, sehingga mereka tersungkur, panik, lalu terinjak-injak, dan begitu seterusnya sehingga akhirnya timbullah suatu musibah yang menelan korban jiwa begitu banyak. Petugas dari Arab Saudi sendiri saking banyaknya korban jiwa terpaksa mengevakuasi jenazah itu menggunakan sekop besar dan ribuan jenazah itu ditumpuk-tumpuk di luar terowongan, dengan beberapa di antaranya ternyata ada yang masih hidup dan bernapas sehingga kemudian cepat-cepat ditarik dari tumpukan dan diberi pertolongan pertama.

Mamah Dedeh lalu menyebut bahwa setelah tragedi 1990 itu di tahun –tahun berikutnya masih terjadi beberapa kali musibah, terutama di sekitar area melempar jumrah. Di dekade 90-an tempat melempar jumrah masih satu lantai saja, sehingga massa terkonsentrasi di satu lantai itu. Padahal di tempat yang sama ada banyak jamaah asal kawasan Timur Tengah yang “ngemper” di sekitar lokasi melempar jumrah itu karena mereka tidak menyewa hotel selama berhaji. Para jamaah asal Timur Tengah yang berbadan besar itu sering tidur di sekitar lokasi melempar jumrah dengan meletakkan koper gede di atas badan mereka. Keberadaan para jamaah asal Timur Tengah itu rupanya menghambat jamaah yang akan melontar jumrah. Sangat sering terjadi jamaah yang akan menuju tempat melontar jumrah harus tersandung badan para jamaah yang tidur itu, sehingga ia akan tersungkur, jatuh ke depan, kemudian menimpa yang di depannya, lalu terinjak-injak massa yang ada di belakangnya, lalu begitu seterusnya sehingga akhirnya peristiwa itu menimbulkan korban bahkan termasuk korban jiwa. Pemerintah Arab Saudi lalu mengatasi problem ini dengan membangun tempat melontar jumrah menjadi bertingkat. Sekarang tempat melontar jumrah terdiri atas beberapa lantai, sehingga lebih lega dan penumpukan massa di satu titik tidak terjadi lagi.

Ketiga, masih mengenai ibadah haji di masa lalu. Sampai akhir dekade 80-an, jamaah asal Indonesia pergi berhaji dengan menggunakan kapal laut. Perjalanan dengan kapal laut ini bukan hal yang gampang dan bukan sebentar pula. Setidaknya sekali perjalanan membutuhkan waktu 2,5 bulan pelayaran, artinya seorang jamaah haji menghabiskan waktu setidaknya 5 bulan hanya untuk perjalanan pergi-pulang ke Arab Saudi saja. Belum lagi dihitung lama mereka menunaikan ibadah inti di Makkah dan sekitarnya. Maka tak heran jika di masa lalu para jamaah asal Indonesia sering membawa semacam keranjang superbesar (bernama “Sahra” atau  “Sahara”) yang berisi segala macam keperluan untuk sehari-hari, apakah itu kompor, pakaian, bahan makanan, dan sebagainya yang kira-kira diperlukan untuk bertahan hidup selama perjalanan di laut dan selama di Arab Saudi. Begitulah beratnya menjalankan ibadah haji di masa lalu. Namun jika kita mencermati, sesungguhnya hal ini adalah hal yang normal saja karena Nabi Muhammad sudah memprediksinya di masa lalu. Nabi menyebut dalam haditsnya bahwa siapa saja umat Islam yang mengetahui keutamaan berhaji, maka ia akan berusaha mendatangi Masjidil Haram dari negeri-negeri yang sangat jauh, dengan melintasi padang gurun yang panas dan tandus, dengan menaiki unta-unta yang kurus kering. Prediksi itu terbukti benar jika kita melihat beratnya perjalanan ibadah haji di Indonesia di era sebelum 90-an. Itulah beratnya perjalanan ibadah haji, namun jika kita tahu berkah yang dijanjikan dalam ibadah tersebut maka kita akan berlomba-lomba untuk bisa hadir di sana.

Sekarang di masa modern ini, ibadah haji menjadi relatif lebih nyaman dan lebih ringan karena sudah ada pesawat terbang yang hanya memakan waktu beberapa jam untuk terbang dari Tanah Air sampai ke Arab Saudi. Maka tak heran ada beberapa orang yang punya kelapangan rezeki bisa berhaji berkali-kali karena sekarang sudah nyaman. Ini sebenarnya tak perlu dipersoalkan karena memang sekali orang datang ke Baitullah dan berhaji dengan benar, maka seterusnya setelah ia pulang akan selalu merasa rindu untuk kembali ke Baitullah itu. Maka berhajilah orang-orang itu kembali. Memang orang dibolehkan berhaji sampai berapa kali ia mampu, namun sesungguhnya ada yang lebih mulia dari itu, yaitu jika orang tersebut mampu menolong orang lain (apakah itu keluarganya, temannya, atau orang di sekitarnya yang tidak mampu) yang tidak mampu berhaji menjadi mampu berhaji dengan dibiayai olehnya.

Ketika ditanya mengenai ritual apa yang perlu dilakukan seseorang sebelum berangkat haji, Mamah Dedeh mengatakan sesungguhnya tak ada rangkaian perbuatan yang diharuskan sebelum pergi haji. Yang dianjurkan hanyalah calon jamaah haji meminta maaf kepada keluarga, kerabat, rekan kerja, tetangga, dan lain-lain sebelum pergi haji. Ritual seperti pengajian, selamatan, dan lain-lain itu sebenarnya boleh-boleh saja asal tidak berlebihan dan tidak sampai menimbulkan riya atau pamer kekayaan.

Masih terkait dengan pamer, Mamah Dedeh mengatakan bahwa orang yang setelah selesai berhaji justru meminta orang lain memanggil dirinya dengan “Pak Haji” atau “Bu Haji”, adalah tergolong ke dalam orang yang tak mengerti agama. Dalam Islam tak ada disebutkan bahwa orang yang telah berhaji wajib dipanggil haji atau muhajji. Tolok ukur kesuksesan berhaji bukan pada panggilannya, tapi pada tingkah laku orang tersebut setelah selesai berhaji. Jika ia telah berhaji dengan benar, kemudian setelah pulang ke tanah air ia makin rajin beribadah dan makin rajin meningkatkan kesalehan sosial kepada lingkungan sekitarnya, maka ialah yang sesungguhnya mendapat haji yang mabrur. 

Orang yang meminta dipanggil haji setelah ia pulang haji adalah orang yang sombong, padahal sombong itu adalah sikap setan. Haji itu adalah kewajiban umat Islam, kalau mau konsisten seharusnya setiap ibadah lain yang telah orang itu lakukan juga dicantumkan dalam nama/panggilannya, apakah itu solat, puasa, zakat, dst. Nabi Muhammad, para shahabat dan kerabat nabi pun berhaji, namun tak pernah kita mendengar Nabi Muhammad disebut dengan panggilan “Haji Muhammad”, Ali Bin Abi Thalib tak pernah kita dengar disebut dengan “Haji Ali” dan seterusnya. Jelaslah tradisi orang Indonesia yang menabalkan sebutan haji di depan namanya adalah suatu sikap yang tidak mengerti agama dan suatu sikap yang tak pernah ada tuntunannya dari Nabi Muhammad. Sebab kalau ia mengerti agama tentu ia sadar bahwa haji itu adalah kewajibannya, dan karenanya sesudah kewajiban dilaksanakan tentu tak ada hak dia untuk memamer-mamerkan bahwa ia telah selesai melakukan kewajiban itu. Bukankah hakikat dari kewajiban adalah sesuatu yang harus kita lakukan, dan setelahnya kita tunggu dengan tawakal apa ganjaran yang akan kita terima dari selesainya kewajiban kita tersebut? Ikhlas hanya karena Allah, itulah inti dari semua ibadah.

Senin, Oktober 14, 2013

Demokrasi Indonesia, Masyarakat Netokrat, dan Pemimpin Masa Depan




Di bawah ini adalah artikel yang termuat dalam rubrik Opini harian Kompas Selasa 8 Oktober 2013 halaman 7. Artikel ini adalah bagian dari tema khusus rubrik opini Kompas di hari itu yang mengangkat soal “Pemimpin yang Bisa Menyelesaikan Masalah”. Tema itu terangkat dari diskusi yang diadakan Kompas dengan Lingkar Muda Indonesia bulan lalu, dalam rangka merayakan HUT RI ke-68. Salah satu hasil diskusi adalah artikel di bawah ini yang  merupakan hasil rangkuman Febri Diansyah dan Donal Fariz dari LMI serta wartawan Kompas Salomo Simanungkalit.

=======================
 
Pemimpin yang Melampaui Bahasa

Kita tak bisa mengelak dari satu fakta bahwa titik balik perubahan yang paling besar pada Reformasi 1998 adalah terbebasnya kita dari zaman represi –ketika kita tak bisa mengatakan apa pun – memasuki zaman bebas berbicara. Sedemikian bebas : demokrasi menjadi semacam episentrum.

Sebagai episentrum, demokrasi membuat kita melakukan hal positif, tetapi juga melantaskan hal negatif. Demokrasi jadi penegasan untuk kebenaran sekaligus alibi, tempat bersembunyi.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan berbasis rakyat. Fakta teoretis ini tak selamanya berjalan sesuai dengan praktiknya. Kuasa rakyat tak pernah dapat bermakna sesuai dengan yang dharapkan sistem itu sendiri. Ia selalu berada dalam bayang-bayang pemilik kuasa institusi negara dan terpolitisasi.

Dalam kasus Indonesia saat ini, satu-satunya yang tersisa pada rakyat adalah bahasa. Pelaksanaan demokrasi yang melenceng masih menyediakan ruang luas kepada rakyat berbicara, berserikat. Di sinilah titik ideologi demokrasi dalam hidup bernegara itu. Yang diidealkan di dalam demokrasi itu adalah bahasa.
Pengidealan bahasa dalam demokrasi adalah pembebasan bahasa sebagai sistem, langue, menjadi ekspresi keseharian, parole, yang memberi ruang ujaran individu secara luar biasa. Ujaran-ujaran itu lalu saling terhubungkan dan menjadi suatu wacana.

Kita tahu kemudian, wacana yang berkembang dangkal, pada lapisan luar belaka. Demokrasi menjadi sihir : menarik semua orang berbicara, berserikat. Di sini demokrasi menemukan titik lincahnya sebab mampu melegitimasi segala yang bebas seolah-olah bermakna positif.

Tiga faktor

Ada tiga faktor yang membuat demokrasi kita bergulir cepat. Pertama, seperti dikatakan Mohammad Hatta, ketika keluar dari represi yang demikian kuat, seseorang atau sekelompok masyarakat akan melesat mencapai kebebasan itu, bahkan sampai pada titik liar. Kita sedang menyaksikannya hari-hari ini.
Kedua, naluri purba kita adalah berbicara. Semua manusia modern turunan tradisi lisan, tetapi keterlambatan sejarah membuat kita melenggang perlahan-lahan, hanya berputar-putar dalam tradisi leluhur itu. Kita sulit masuk ke ruang reflektif dunia membaca dan menulis dalam pengertian modern. Cara membaca dan menulis kita masih “lisan”.

Situasi itu gayung bersambut dengan demokrasi yang memberi keleluasaan berbicara. Jika tradisi berbicara di masa lalu masih berhadapan dengan tabu tertentu, demokrasi justru menggugurkan tabu itu. Kita memasuki situasi tuturan yang overdosis, hiperoralitas.

Ketiga, kemajuan teknologi informasi ternyata melebarkan ruang bagi berkembangnya hiperoralitas. Jika radio dan TV menandai munculnya masyarakat lisan tingkat kedua, kini kita berada pada kelisanan tingkat ketiga yang dimotivasi teknologi komputer. Dalam masyarakat lisan tingkat kedua, khalayak cenderung pasif mendengar atau menonton perbincangan di radio atau TV. dalam masyarakat lisan tingkat ketiga, khalayak terlibat aktif dan total berbincang.

Kelisanan tingkat ketiga menandai berpindahnya secara masif situs masyarakat di kota-kota besar : dari situs socius ke situs virtual. Terjadi bedol desa dari masyarakat yang menetap di suatu ruang-waktu statis (sosiologis) yang cenderung bertahan lama ke ruang-waktu dinamis yang liar dan amat sementara, hanya dibatasi log in dan log out komputer.

Karena bersifat sangat sementara, manusia virtual bergerak dalam kebercepatan, ketergesa-gesaan. Dunia dalam kapasitas bytes itu kewalahan, tak mampu menata segala soal yang dibawa para imigran sosiologis itu. Terjadilah berbagai macam ketegangan, keliaran, dan kekacauan dalam segala ihwal hidup. Tak lagi kita mampu membedakan mana yang terjadi di ruang sosiologis, mana yang hanya terjadi di ruang virtual; mana berita, mana cerita; mana fakta, mana fiksi; dan mana realitas, mana citra.

Dengan komputer jejaring, terbentuklah masyarakat netokrat yang sementara, bahkan sporadis. Masyarakat ini sangat reaktif sebab merupakan kumpulan individu yang reaktif meski berpendidikan tinggi.

Masyarakat netokrat dengan segala karakternya pada dasarnya adalah masyarakat bahasa. Di dalam masyarakat bahasa, segala soal pindah menjadi perbincangan. Dalam beberapa segi, ini positif sebab di sana terjadi diskusi, debat, dan uji gagasan. Namun, dalam banyak hal sering karenanya terjadi keriuhan yang mengganggu tatanan di luar dirinya.

Di situlah terjadi paradoks kebebasan berbahasa (demokrasi) : semakin segala soal dijelas-jelaskan dalam bahasa, semakin ia jadi tersembunyi. Kini kita sedang berada dalam kematian bahasa, yaitu bahasa yang terus menerus diucapkan, tapi tidak memberi pesan substantif dalam hidup.

Pemimpin kreatif

Di Indonesia penghuni masyarakat netokrat tak sebanyak penghuni masyarakat sosiologis, tetapi sifatnya yang dinamis dan liar telah membuat mereka berdaya jelajah luar biasa. Persoalan sekecil apapun di dalam realitas sosiologis akan menggurita ketika terdeteksi masyarakat netokrat. Ini lantas menggoyahkan atap kenegaraan dan kebangsaan kita yang fondasinya sendiri memang rapuh.

Penyelesaian masalah kenegaraan dan kebangsaan hari ini tak bisa mengabaikan fenomena masyarakat netokrat itu. Masyarakat netokrat bisa menjadi ranah di mana persoalan kebangsaan harus mulai dikelola dan diselesaikan. Ranah kekacauan wacana bisa menjadi titik berangkat. Penyelesaiannya harus dimulai dengan kembali menghidupkan bahasa.

Sejauh ini hal itu diabaikan. Politisi, pejabat, dan kepala negara tak menyikapi fenomena itu sebagai poin penting yang berpengaruh ke dalam keberlangsungan pembangunan negara bangsa.

Di dalam teori kreativitas, bahasa menduduki posisi amat penting. Bahasa adalah sumbu kreativitas, dan kreativitas selalu berkorelasi dengan pemahaman mendalam terhadap pengalaman masa lalu. Orang kreatif tidak pernah mengabaikan sejarah. Dapat dipahami mengapa Soekarno menitipkan sejarah sebagai bagian penting yang harus selalu diingat (jas merah).

Pemimpin negeri ini di masa depan mestinya memiliki kecerdasan kreatif. Dengan kecerdasan itu, ia akan mampu mengatakan hal yang berkaitan dengan realitas secara tepat, menjelaskannya dengan mendalam, dan menerjemahkan dalam bahasa khalayak, bukan bahasa dirinya sebagai Sang Penguasa.

Di dalam kecerdasan kreatif yang berbasis pada bahasa, semua itu dijelmakan dalam bentuk penciptaan metafora hidup, idiom baru yang segar, yang dengan itu khalayak terinspirasi sekaligus terpesona. Dimasukkan ke dalam gaya kepemimpinan, metafora baru yang dimaksud adalah gaya kepemimpinan yang elegan, tidak kompromis, tetapi berdaya lincah yang tinggi.

Kamis, Oktober 10, 2013

Ternyata Letusan Gunung Api Paling Dahsyat di Dunia Terjadi di Kompleks Gunung Rinjani

Ada satu artikel menarik di harian Kompas (8/10) yang mengangkat tentang letusan gunung api terdahsyat. Berdasarkan artikel yang dimuat dalam rubrik Iptek Kompas itu, terungkap fakta bahwa letusan gunung api yang paling dahsyat sepanjang 7.000 tahun terakhir ternyata berasal dari letusan gunung Samalas yang ada di kompleks Gunung Rinjani, NTB. Ini dia.

========================



“Rinjani” yang Guncang Dunia

Fakta bahwa Indonesia dikepung gunung api teraktif di dunia semakin tak terbantahkan. Baru-baru ini, sejumlah ilmuwan menemukan fakta tentang letusan Gunung Rinjani di Pulau Lombok pada tahun 1257 yang berdampak global. Letusan itu disebut terbesar di bumi dalam 7.000 tahun terakhir.

Oleh : Ahmad Arif

Letusan itu bahkan dikatakan jauh lebih dahsyat dibandingkan letusan Tambora pada 1815 dan Krakatau pada 1883. Jejak letusan itu awalnya diketahui dari sebaran rempah gunung api aerosol sulfat yang terperam dalam lapisan es di kutub. Dari sebaran materialnya, dipastikan letusan itu sangat hebat dan berdampak global. Berdasarkan penanggalan dengan radio karbon, dipastikan pelepasan material vulkanik terjadi pada 1257. Namun, tiga dekade terakhir, gunung api yang menjadi sumber letusan itu masih menjadi misteri.

Para ilmuwan awalnya menduga, material vulkanik berasal dari letusan gunung di Meksiko, Ekuador, atau Selandia Baru. Para ilmuwan kemudian bekerja seperti detektif yang melacak sidik jari dengan mencocokkan kimia geologi di lapisan es dengan sejumlah gunung api yang diduga menjadi sumbernya. Hasilnya dipastikan bahwa sumber letusan itu adalah Gunung Samalas di kompleks Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Para peneliti juga menemukan Babad Lombok, yang merekam tentang letusan Gunung Samalas di masa lalu.

Temuan ini dipublikasikan di jurnal internasional PNAS edisi akhir September 2013. “Implikasi dari riset kami cukup luas dan mengejutkan,” kata Indyo Pratomo, geolog dari Badan Geologi Bandung, yang terlibat dalam penelitian tersebut.

Peneliti Indonesia lain yang turut serta adalah Danang Sri Hadmoko dari Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada dan Surono, mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Selain itu, ada 12 ahli yang terlibat dari berbagai kampus ternama di Eropa, seperti Frank Lavigne dari Université Panthéon-Sorbonne, Jean-Philippe Degeai dari Université Montpellier, dan Clive Oppenheimer dari University of Cambridge, Inggris.

Dampak Global

Selama ini, letusan Gunung Tambora pada 1815 dianggap terbesar dalam sejarah modern. Kekuatan letusan Tambora, berdasarkan Volcanic Explosivity Index, berada pada skala 7 dari 8, hanya kalah oleh letusan Gunung Toba (Sumatera Utara) sekitar 73.000 tahun lalu.

Jumlah korban tewas akibat letusan Tambora tercatat terbesar, mencapai 71.000 orang. Sebagian ahli menyebut 91.000 orang. Sepuluh ribu orang langsung tewas, sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit.

Jumlah ini belum termasuk kematian di negara lain, termasuk Eropa dan Amerika yang diderita kelaparan. Asam sulfat yang dilepas Tambora menutup angkasa, menyebabkan tahun tanpa musim panas di Barat.

Namun, posisi letusan Tambora agaknya bakal terkoreksi setelah penemuan letusan Gunung Samalas di kompleks Rinjani. Berdasarkan penelitian Frank Lavigne dan tim, letusan Samalas diperkirakan memuntahkan sedikitnya 40 kilometer kubik material vulkanik. Tinggi kolom letusannya diperkirakan 43 km, yang terbesar dalam 7.000 tahun terakhir.

Letusan itu menyebabkan kawah raksasa, berukuran 6 km x 8,5 km dan kedalaman 800 meter. Kawah itu dikenal sebagai Segara Anak yang berada di ketinggian 2.010 meter di Lereng Gunung Rinjani (3.726 meter). Sebelum meletus, Gunung Samalas diperkirakan mencapai ketinggian hingga 4.200 meter. Ini berarti sekitar separuh volume gunung ini hilang saat letusan.

Besarnya material vulkanik yang dilepas ke udara ini dipastikan membawa dampak global, sebagaimana yang ditimbulkan dari letusan Gunung Tambora. Letusan Samalas diduga menjadi sumber kematian massal di Eropa pada 1258, setahun setelah letusan itu. Sebagaimana letusan Tambora yang berdampak pada kegagalan panen di Eropa sehingga memicu kelaparan dan kematian massal pada 1816 atau setahun setelah letusan, letusan Samalas diduga memicu permasalahan serupa, bahkan mungkin lebih dahsyat.

Bagaimana dengan dampaknya di Nusantara?

Berdasarkan Babad Lombok, letusan Gunung Samalas disebutkan telah menghancurkan Pamatan, ibukota Kerajaan Lombok. Diduga, kota ini terkubur material gunung api. Letusan ini diduga berdampak besar terhadap kehancuran lingkungan di Lombok, Bali, dan bagian barat Sumbawa hingga bertahun-tahun kemudian.

“Selain berimplikasi terhadap disiplin kegunungapian dan mitigasi bencana, temuan ini juga memberikan peluang penelitian baru di bidang arkeologi hingga sejarah Nusantara pada masa lalu,” kata Indyo.
Dari aspek vulkanologi, menurut Indyo, temuan ini membuka kembali ide-ide penelitian tentang karakteristik letusan besar di kawasan itu, seperti Tambora, Rinjani, Batur, dan Agung. “Paling tidak dalam 1.000 tahun ke belakang harus diteliti karena kemungkinan akan berulang.”

Dari aspek arkeologi dan sejarah, kata Indyo, letusan ini menjadi tantangan untuk meneliti lebih lanjut pola migrasi kerajaan, kebudayaan, dan populasi penduduk di kawasan tersebut di masa lalu. Sebelumnya, jejak letusan Gunung Tambora yang mengubur Kerajaan Tambora ditemukan Haraldur Haraldur Sigurdsson, ahli gunung berapi dari Universitas Rhode Island, AS, pada tahun 2004. Temuan tersebut kala itu mengguncangkan dunia dan dikenal sebagai “Pompeii dari Timur.”

Letusan Samalas yang berdampak pada melemahnya kerajaan di kawasan timur Indonesia, menurut Indyo, kemungkinan mengubah peta politik di masa lalu, misalnya mempengaruhi penyerbuan Raja Singosari, Kertanegara, ke Bali pada 1284.

Indyo menambahkan, kita harus lebih menghargai naskah budaya tua yang semakin menghilang dan lebih banyak tersimpan di luar negeri. Dari catatan-catatan itu tersimpan sejarah Nusantara, seperti yang tersimpan dalam Babad Lombok.

***
 
Catatan
Evolusi Gunung Rinjani, Kaldera Segara Anak, dan Gunung Barujari
1. tinggi sekitar 5.000 mdpl pada waktu 1 juta tahun lalu (zaman tersier)
2. letusan pertama tidak diketahui
3. letusan hebat yang disertai perubahan bentuk kaldera sekitar 14.000 tahun lalu (holocen)
4. pembentukan danau Segara Anak dan diikuti pembentukan kerucut Gunung Barujari
5. pembentukan Gunung Rombongan. Waktu dimulai pada letusan tahun 1944 dan terus berkembang meluas.

Rabu, Oktober 09, 2013

dua pencerahan, mengenai hak menguji MK dan mengenai Computer Assisted Test (CAT)

memang tak ada hubungan langsung antara MK dengan Computer Assisted System, namun pada hari ini saya mendapat pencerahan mengenai keduanya.


1. tentang kewenangan MK menguji undang-undang yang diundangkan sebelum amandemen UUD 1945

Pencerahan ini saya dapat ketika menyaksikan tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) di TVone (8/10). Tema ILC waktu itu sebenarnya membahas mengenai skandal suap salah seorang hakim MK, namun ketika salah satu narasumber yaitu Yusril Ihza Mahendra dimintai pendapat oleh Karni Ilyas maka pendapat itu pun meluas ke berbagai hal. Salah satunya Yusril mempertanyakan kewenangan MK untuk menguji Undang-undang yang diundangkan sebelum amandemen UUD 1945 (yaitu sebelum tahun 1999). Yusril adalah salah seorang yang turut membidani kelahiran UU No.24/2003 tentang MK. Yusril ketika itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman di Kabinet Gotong Royong di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dengan demikian Yusril adalah orang yang mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU MK di DPR. Yusril menyebut perdebatan yang ada saat itu cukup sengit, termasuk perdebatan mengenai batasan Undang-undang mana yang dapat dijudicial review oleh MK. Yusril sebagai wakil pemerintah berpandangan bahwa hanya terhadap UU yang lahir setelah amandemen UUD 1945-lah yang dapat diuji oleh MK. Sedangkan pihak yang berseberangan menganggap sebaliknya. Namun argumentasi Yusril/pihak pemerintah dapat diterima oleh mayoritas anggota DPR sehingga UU MK tersebut menentukan bahwa UU yang dapat diuji ke MK adalah UU yang diundangkan setelah amandemen UUD 1945.

Perkembangan selanjutnya justru menunjukkan hal yang bertentangan. Pada tahun 2005, Pasal dalam UU MK yang mengatur mengenai batasan UU yang dapat di-judicial review ke MK pun diuji ke MK. MK kemudian membatalkan pasal tersebut, yang berarti MK kemudian berwenang menguji UU yang diundangkan sebelum amandemen UUD 1945, mulai dari UU yang lahir di era Soekarno hingga akhir era Soeharto.

Yusril kemudian di ILC menjelaskan beberapa argumentasi mengapa ia menolak kewenangan MK untuk mengadili UU yang diundangkan sebelum amandemen UUD 1945. Poin yang saya tangkap dari pikiran awam saya adalah, jelas sekali bahwa batu ujinya sudah berbeda. Undang-undang yang dilahirkan sebelum amandemen UUD 1945 jelas adalah Undang-undang yang bernafaskan UUD 1945 yang asli, keberadaan berbagai UU di masa tersebut adalah pelaksanaan dan didasarkan dari UUD 1945 yang asli. Karena itu kalau mau diuji tentu batu ujinya adalah UUD 1945 yang asli. Tidak konstitusionalnya UU tersebut adalah karena bertentangan dengan UUD 1945 yang asli. Begitu juga dengan UU yang lahir stelah amandemen UUD 1945, batu ujinya adalah UUD 1945 hasil amandemen. Konstitusionalitas UU tersebut dilihat dari bertentangan atau tidaknya UU tersebut dengan UUD 1945 yang asli. Karena yang sekarang berlaku adalah UUD 1945 hasil amandemen, maka seharusnya MK memang hanya berwenang menguji UU yang lahir sesudah amandemen UUD. Sebab batu uji yang berlaku ya UUD 1945 hasil amandemen. Agak janggal jika suatu UU yang keberadaannya tidak didasarkan pada UUD 1945 hasil amandemen (yaitu UU yang diundangkan sebelum amandemen UUD 1945), justru diuji dengan UUD 1945 hasil amandemen.

Yusril menyebut dengan pembatalan pasal ini maka otomatis semua produk hukum yang berlaku di Indonesia saat ini harus diuji dengan UUD 1945. Termasuk pula KUHP, KUHPerdata, KUHD, HIR/RBg yang merupakan produk peninggalan jaman Hindia Belanda. Semua produk hukum peninggalan Hindia Belanda tadi masih berlaku di Indonesia hingga saat ini, maka otomatis terhadapnya terbuka kemungkinan untuk dijudicial review ke MK karena semua produk hukum tadi adalah Undang-undang yang mengikat publik. Akan menjadi lucu jika nantinya ada yang ingin mempersoalkan pasal-pasal yang ada di KUHP misalnya dan menmohon uji materi ke MK. Tentu MK wajib memprosesnya dan batu ujinya tentu adalah UUD 1945. Menjadi lucu di sini karena KUHP sendiri sebagai produk hukum buatan Belanda dibuat tidak berdasarkan UUD 1945, melainkan dibuat berdasarkan konstitusi Belanda. Jika mau menguji KUHP maka harus mengujinya terhadap UUD Belanda, bukan UUD Indonesia. Keganjilan semacam inilah yang jadi alasan mengapa MK tidak berhak menguji UU yang lahir sebelum amandemen UUD 1945. Namun ternyata majelis hakim MK pada tahun 2005 dengan segala 'kebijaksanaannya' membatalkan pasal ini. Yusril mengindikasikan bahwa pembatalan pasal ini adalah cara MK untuk makin memperluas ruang kewenangan mereka dalam menguji UU terhadap UUD.

Yusril juga mempertanyakan mengenai hak MK menguji UU yang mengatur mengenai MK. Karni Ilyas mengibaratkannya dengan persidangan umum, dimana hakim harus mengundurkan diri manakala dia mendapati perkara yang dihadapinya adalah perkara yang terindikasi melibatkan dirinya di dalamnya. Prinsip ini sebenarnya harus diterapkan pula pada MK secara analogis, yaitu MK wajib menolak pengujian UU yang mengatur mengenai MK sendiri. Hal ini adalah untuk menghindari adanya conflict of interest (konflik kepentingan), sebab putusan pengujian UU tadi bisa saja tidak adil dan objektif.


2. Computer Assisted Test (CAT)

CAT ini adalah salah satu model tes yang banyak dipakai dalam seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di berbagai instansi dan pemerintah daerah. Pada awalnya saya menganggap bahwa CAT ini sama saja dengan ujian-ujian skala nasional lainnya, kata-kata 'computer' disini saya maknai sebagai keterlibatan komputer dalam memeriksa lembar jawaban komputer (LJK). Artinya peserta ujian CAT tetap memakai cara manual yaitu dengan membulat-bulati pilihan jawaban di LJK. Ternyata pikiran bodoh saya ini salah.

Dari penelusuran di internet seperti situs galaunews, ternyata CAT bukan sekadar bermakna pemeriksaan hasil tes dengan menggunakan komputer, melainkan sejak proses pengisian jawaban soal oleh peserta ujian sudah menggunakan komputer juga. Ini sejalan dengan makna dari kata-kata 'computer assisted test', yang diartikan secara ndeso sebagai 'tes yang dibantu oleh komputer'. Dibantu disini ternyata bermakna dibantu seluruhnya mulai dari proses input jawaban hingga pemeriksaan jawaban.

Peserta ujian CPNS dengan sistem CAT akan menerima soal secara daring (online) di komputernya, kemudian di komputer itu juga si peserta menjawab soal-soal tersebut. JAwaban si peserta kemudian dikirim langsung ke server panitia penyelenggara tes. Dengan sistem ini, kecurangan rasanya memang agak berkurang, sebab apa yang dijawab peserta otomatis langsung masuk dan diperiksa oleh sistem komputer panitia dan tidak mungkin direkayasa. Bandingkan jika misalnya masih menggunakan LJK, panitia yang curang bisa saja mengubah-ubah jawaban si peserta demi menguntungkan/merugikan peserta itu. Hal menarik lainnya adalah dengan sistem CAT ini maka soal yang diterima oleh peserta ujian akan berbeda-beda urutan nomornya (mirip sistem paket soal di Ujian Nasional). Ini tentu akan meminimalkan potensi contek-mencontek antar peserta ujian dalam satu ruangan. Peran joki juga bisa diminimalisasi di sini.

Penerapan CAT ini mau tak mau memaksa semua pelamar di instansi yang bersangkutan harus melek dengan teknologi informasi, setidaknya punya kemampuan dasar dalam mengoperasikan komputer. Jika tidak mengerti komputer tentu akan sulit untuk menjawab soal-soal dengan sistem CAT ini.

Yang menjadi pertanyaan saya, apakah komputer untuk CAT ini disediakan oleh panitia atau peserta sendiri yang membawa komputer/laptop. Kalau harus membawa sendiri, tentu agak repot juga karena bertambah lagi beban peserta, terutama yang belum punya laptop. Tapi saya rasa untuk tes dengan sistem CAT ini menggunakan komputer yang disediakan panitia, sebab kalau peserta dibolehkan membawa laptop sendiri tentu ada potensi kecurangan. Bisa saja peserta membuat 'contekan-contekan digital' ataupun melakukan komunikasi ilegal menggunakan gadget pribadinya itu demi memuluskan langkahnya lulus dalam tes CPNS itu.