Di bawah ini adalah artikel yang termuat dalam rubrik Opini
harian Kompas Selasa 8 Oktober 2013 halaman 7. Artikel ini adalah bagian dari
tema khusus rubrik opini Kompas di hari itu yang mengangkat soal “Pemimpin yang
Bisa Menyelesaikan Masalah”. Tema itu terangkat dari diskusi yang diadakan
Kompas dengan Lingkar Muda Indonesia bulan lalu, dalam rangka merayakan HUT RI
ke-68. Salah satu hasil diskusi adalah artikel di bawah ini yang merupakan hasil rangkuman Febri Diansyah dan
Donal Fariz dari LMI serta wartawan Kompas Salomo Simanungkalit.
=======================
Pemimpin yang Melampaui Bahasa
Kita tak bisa mengelak dari satu fakta bahwa titik balik
perubahan yang paling besar pada Reformasi 1998 adalah terbebasnya kita dari
zaman represi –ketika kita tak bisa mengatakan apa pun – memasuki zaman bebas
berbicara. Sedemikian bebas : demokrasi menjadi semacam episentrum.
Sebagai episentrum, demokrasi membuat kita melakukan hal
positif, tetapi juga melantaskan hal negatif. Demokrasi jadi penegasan untuk
kebenaran sekaligus alibi, tempat bersembunyi.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan berbasis rakyat. Fakta
teoretis ini tak selamanya berjalan sesuai dengan praktiknya. Kuasa rakyat tak
pernah dapat bermakna sesuai dengan yang dharapkan sistem itu sendiri. Ia
selalu berada dalam bayang-bayang pemilik kuasa institusi negara dan
terpolitisasi.
Dalam kasus Indonesia saat ini, satu-satunya yang tersisa
pada rakyat adalah bahasa. Pelaksanaan demokrasi yang melenceng masih
menyediakan ruang luas kepada rakyat berbicara, berserikat. Di sinilah titik
ideologi demokrasi dalam hidup bernegara itu. Yang diidealkan di dalam
demokrasi itu adalah bahasa.
Pengidealan bahasa dalam demokrasi adalah pembebasan bahasa
sebagai sistem, langue, menjadi
ekspresi keseharian, parole, yang
memberi ruang ujaran individu secara luar biasa. Ujaran-ujaran itu lalu saling
terhubungkan dan menjadi suatu wacana.
Kita tahu kemudian, wacana yang berkembang dangkal, pada
lapisan luar belaka. Demokrasi menjadi sihir : menarik semua orang berbicara,
berserikat. Di sini demokrasi menemukan titik lincahnya sebab mampu
melegitimasi segala yang bebas seolah-olah bermakna positif.
Tiga faktor
Ada tiga faktor yang membuat demokrasi kita bergulir cepat.
Pertama, seperti dikatakan Mohammad Hatta, ketika keluar dari represi yang
demikian kuat, seseorang atau sekelompok masyarakat akan melesat mencapai
kebebasan itu, bahkan sampai pada titik liar. Kita sedang menyaksikannya
hari-hari ini.
Kedua, naluri purba kita adalah berbicara. Semua manusia
modern turunan tradisi lisan, tetapi keterlambatan sejarah membuat kita
melenggang perlahan-lahan, hanya berputar-putar dalam tradisi leluhur itu. Kita
sulit masuk ke ruang reflektif dunia membaca dan menulis dalam pengertian
modern. Cara membaca dan menulis kita masih “lisan”.
Situasi itu gayung bersambut dengan demokrasi yang memberi
keleluasaan berbicara. Jika tradisi berbicara di masa lalu masih berhadapan
dengan tabu tertentu, demokrasi justru menggugurkan tabu itu. Kita memasuki
situasi tuturan yang overdosis, hiperoralitas.
Ketiga, kemajuan teknologi informasi ternyata melebarkan
ruang bagi berkembangnya hiperoralitas. Jika radio dan TV menandai munculnya
masyarakat lisan tingkat kedua, kini kita berada pada kelisanan tingkat ketiga
yang dimotivasi teknologi komputer. Dalam masyarakat lisan tingkat kedua,
khalayak cenderung pasif mendengar atau menonton perbincangan di radio atau TV.
dalam masyarakat lisan tingkat ketiga, khalayak terlibat aktif dan total
berbincang.
Kelisanan tingkat ketiga menandai berpindahnya secara masif
situs masyarakat di kota-kota besar : dari situs socius ke situs virtual. Terjadi bedol desa dari masyarakat yang
menetap di suatu ruang-waktu statis (sosiologis) yang cenderung bertahan lama
ke ruang-waktu dinamis yang liar dan amat sementara, hanya dibatasi log in dan
log out komputer.
Karena bersifat sangat sementara, manusia virtual bergerak
dalam kebercepatan, ketergesa-gesaan. Dunia dalam kapasitas bytes itu kewalahan, tak mampu menata
segala soal yang dibawa para imigran sosiologis itu. Terjadilah berbagai macam
ketegangan, keliaran, dan kekacauan dalam segala ihwal hidup. Tak lagi kita
mampu membedakan mana yang terjadi di ruang sosiologis, mana yang hanya terjadi
di ruang virtual; mana berita, mana cerita; mana fakta, mana fiksi; dan mana
realitas, mana citra.
Dengan komputer jejaring, terbentuklah masyarakat netokrat
yang sementara, bahkan sporadis. Masyarakat ini sangat reaktif sebab merupakan
kumpulan individu yang reaktif meski berpendidikan tinggi.
Masyarakat netokrat dengan segala karakternya pada dasarnya
adalah masyarakat bahasa. Di dalam masyarakat bahasa, segala soal pindah
menjadi perbincangan. Dalam beberapa segi, ini positif sebab di sana terjadi
diskusi, debat, dan uji gagasan. Namun, dalam banyak hal sering karenanya
terjadi keriuhan yang mengganggu tatanan di luar dirinya.
Di situlah terjadi paradoks kebebasan berbahasa (demokrasi)
: semakin segala soal dijelas-jelaskan dalam bahasa, semakin ia jadi
tersembunyi. Kini kita sedang berada dalam kematian bahasa, yaitu bahasa yang
terus menerus diucapkan, tapi tidak memberi pesan substantif dalam hidup.
Pemimpin kreatif
Di Indonesia penghuni masyarakat netokrat tak sebanyak
penghuni masyarakat sosiologis, tetapi sifatnya yang dinamis dan liar telah
membuat mereka berdaya jelajah luar biasa. Persoalan sekecil apapun di dalam
realitas sosiologis akan menggurita ketika terdeteksi masyarakat netokrat. Ini
lantas menggoyahkan atap kenegaraan dan kebangsaan kita yang fondasinya sendiri
memang rapuh.
Penyelesaian masalah kenegaraan dan kebangsaan hari ini tak
bisa mengabaikan fenomena masyarakat netokrat itu. Masyarakat netokrat bisa
menjadi ranah di mana persoalan kebangsaan harus mulai dikelola dan
diselesaikan. Ranah kekacauan wacana bisa menjadi titik berangkat.
Penyelesaiannya harus dimulai dengan kembali menghidupkan bahasa.
Sejauh ini hal itu diabaikan. Politisi, pejabat, dan kepala
negara tak menyikapi fenomena itu sebagai poin penting yang berpengaruh ke
dalam keberlangsungan pembangunan negara bangsa.
Di dalam teori kreativitas, bahasa menduduki posisi amat
penting. Bahasa adalah sumbu kreativitas, dan kreativitas selalu berkorelasi
dengan pemahaman mendalam terhadap pengalaman masa lalu. Orang kreatif tidak
pernah mengabaikan sejarah. Dapat dipahami mengapa Soekarno menitipkan sejarah
sebagai bagian penting yang harus selalu diingat (jas merah).
Pemimpin negeri ini di masa depan mestinya memiliki
kecerdasan kreatif. Dengan kecerdasan itu, ia akan mampu mengatakan hal yang
berkaitan dengan realitas secara tepat, menjelaskannya dengan mendalam, dan
menerjemahkan dalam bahasa khalayak, bukan bahasa dirinya sebagai Sang
Penguasa.
Di dalam kecerdasan kreatif yang berbasis pada bahasa, semua
itu dijelmakan dalam bentuk penciptaan metafora hidup, idiom baru yang segar,
yang dengan itu khalayak terinspirasi sekaligus terpesona. Dimasukkan ke dalam
gaya kepemimpinan, metafora baru yang dimaksud adalah gaya kepemimpinan yang
elegan, tidak kompromis, tetapi berdaya lincah yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar