Kamis, April 10, 2014

kata Cak Lontong soal sekolah

Anda tahu antara SD dengan SMP, jumlahnya banyakan mana? Jawabannya adalah SMP, karena jumlahnya ada  3 huruf, sedangkan SD jumlahnya cuma 2 huruf.

Berdasarkan hasil penelitian saya, ternyata dari seluruh murid SD hanya 1/6 saja di antara mereka yang bisa melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMP. Yang 1/6 itu adalah murid kelas 6 SD. Sedangkan sisanya yang 5/6 tidak bisa melanjutkan ke tingkat SMP, mereka terdiri dari murid-murid kelas 1 sampai kelas 5. Mereka tidak bisa melanjutkan ke SMP, paling-paling yang kelas 1 melanjutkan ke kelas 2, kelas 2 melanjutkan ke kelas 3, dan seterusnya.

Sebuah SMP terkadang berlaku diskriminatif pada murid-muridnya. Anak saya pernah mengalami perlakuan diskriminatif di SMP-nya. Ketika itu anak saya tidak diijinkan kepala sekolah untuk ikut Ujian Nasional. Saya tentu tidak terima, lalu saya kumpulkan para wali murid untuk menemui kepala sekolah mempertanyakan hal ini. Jawaban yang kami terima dari kepala sekolah sungguh amat enteng, yaitu anak saya tidak diperbolehkan ikut UN karena masih kelas 2 SMP. Jawaban ini kan menyepelekan kepintaran anak saya.

Perlakuan diskriminatif lainnya juga saya alami dalam bentuk anak saya dilarang berbakti pada orangtuanya. Salah satu bentuk bakti anak saya pada saya sebagai orangtuanya adalah dia mengantarkan saya pergi kerja. Saya masuk kerja jam 8.00, sedangkan anak saya masuk sekolah jam 7.00. Karena anak saya adalah anak yang berbakti, maka ia mengantarkan saya pergi kerja di jam 8.00 itu dan dia baru tiba di sekolah jam 8.30 setelah selesai mengantar saya. Eh malah anak saya dimarahi setibanya di sekolah, alasannya karena terlambat masuk. Padahal kan dia terlambat karena dia ingin berbakti pada orangtuanya, tapi kok dilarang dan dimarahi.

Jaman sekarang ini sedang tren yang namanya "home schooling". Anda tahu siapa yang menemukan "home schooling"? Bukan, bukan Kak Seto, walaupun memang Kak Seto waktu itu terpaksa menyekolahkan Si Komo di rumah saja karena kalau Si Komo belajar di sekolah umum, tiap dia berangkat dan pulang sekolah bakal bikin macet jalan. Tapi sesungguhnya yang menemukan "home schooling" pertama kali adalah saya. Buktinya beberapa puluh tahun yang lalu ketika teman-teman seusia saya pergi bersekolah, saya di rumaaaah saja tidak kemana-mana.

Ternyata struktur gedung bangunan sekolah ada kaitannya dengan tingkat kecerdasan kita dalam menerima sekolah. Dulu saya pernah bersekolah di sekolah yang gedungnya ber-AC dan megah. Bersekolah di situ ternyata membuat nilai-nilai saya bagus, karena kebetulan saya duduk di sebelah murid yang pintar. Tapi saya pernah juga bersekolah di pinggiran. Situasi belajar disitu tidak tenang, walhasil nilai saya jeblok karena bersekolahnya di pinggiran, pinggiran jurang maksudnya..

***disadur dari Indonesia Lawak Klub (ILK) dengan tingkat ketepatan dan kelucuan yang berbeda jauh

Jumat, April 04, 2014

Kata Cak Lontong soal sakit dan berobat

Obat itu diskriminatif. Ambil contoh, perbedaan harga obat sakit kepala dengan obat sakit paru. Harga obat sakit paru jauh lebih mahal daripada harga obat sakit kepala. Padahal kan sama-sama obat, tapi kok beda-beda harganya, ini kan diskriminatif namanya.

Anda tahu obat anti mabuk? Itu juga termasuk obat yang diskriminatif. Obat anti mabuk itu mampu mencegah mabuk laut, darat, dan udara. Nah lalu bagaimana dengan polisi? Padahal mereka kan bisa mabuk juga? 

Dari survei yang saya lakukan , ternyata tidak semua orang yang ke rumah sakit adalah orang yang sakit. Hanya 25% orang yang pergi ke RS karena alasan sakit. 25% lagi pergi ke RS karena menjenguk orang yang sakit. 25% lagi pergi ke RS karena mengantar orang yang pergi menjenguk orang sakit. 25% lagi adalah orang yang bekerja di RS. Jadi jangan kira semua orang yang ke RS adalah orang sakit.

Agar anda tidak sakit, maka anda perlu melakukan gaya hidup sehat, misalnya berolahraga. Ada olahraga yang murah dan tak perlu biaya, misalnya berlari. Dengan sering lari maka anda akan sehat. Contohlah saya, saya sering lari, lari dari kenyataan hidup, lari dari masalah, lari dari tanggungjawab....

Saya pernah mengalami diperlakukan diskriminatif oleh seorang dokter. Ketika itu saya pergi memeriksakan kesehatan saya dan anak saya ke dokter yang sama. Diskriminatifnya, anak saya setelah diperiksa disuruh rawat inap, sedangkan saya rawat jalan. Ini kan diskriminatif dan sekaligus menambah beban saya. Masak saya yang lagi sakit disuruh rawat jalan. Itu kan pekerjaannya Dinas PU, kok dibebankan ke saya.

Saya sering sebal kalau mencek kesehatan ke dokter. Setiap mulai berobat, saya selalu ditanya begini "Bapak ada gula?" Lho saya pergi ke dokter kan untuk berobat dan cek kesehatan, bukan mau ngerujak.
 
Sekarang ini sudah ada BPJS yang merupakan asuransi kesehatan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi yang mengiur Rp 25.500 per bulan per kepala, maka ia akan mendapat jaminan perawatan di ruang kelas III. Sedangkan yang mengiur Rp 42.500 per bulan per kepala, ia berhak dirawat di ruang kelas II. Bagi yang mengiur Rp  59.500 per bulan per kepala, berhak dirawat di ruang kelas I. Ini kan penetapan tarif yang aneh, kelas III kok iurannya lebih murah daripada kelas I. Anda perhatikan, pinteran mana, anak yang duduk di kelas I atau yang duduk di kelas III? Tentu lebih pintar yang duduk di kelas III. Karena lebih pintar tentu biayanya lebih tinggi. Lha di BPJS ini kok kelas yang lebih kecil biayanya justru lebih besar.

Rabu, April 02, 2014

Buzzer Koruptor

Politisi yang diduga mempunyai banyak buzzer ternyata tidak hanya Joko Widodo. Ada beberapa politisi lain, yang entah secara alamiah ataupun dengan rekayasa, mempunyai buzzer yang senantiasa menghiasi jagat internet dengan konten ataupun komentar positif terkait si politisi tersebut.

Ada seorang politisi yang sekarang ini tampaknya sudah punya tim media sosial. Tim ini bertugas membentuk citra tokoh ini seolah-olah dirinya adalah orang yang berkompeten untuk menjadi pemimpin negeri ini (presiden/wakil presiden). Tim ini mulai kelihatan kerjanya, indikasinya terlihat dari pemberitaan di portal-portal berita daring. Jika portal-portal berita itu kebetulan memuat berita positif mengenai tokoh ini, maka para buzzer dari politisi ini akan segera menyerbunya dengan melakukan bom komentar dan juga bom "share" alias membagikan link berita itu ke akun-akun pribadi media sosial mereka, apakah itu facebook, twitter, ataupun google plus dan lain-lain. Buzzer politisi ini terlihat sekali settingan-nya, berbeda dengan buzzer-nya Jokowi. Buzzer Jokowi terlihat lebih natural dan persebarannya cenderung luas, serta akun si buzzer pun nampaknya memang akun yang asli, bukan akun "fake". Beda dengan politisi yang sedang kita bicarakan ini, buzzer-nya adalah orang yang itu-itu saja, dan kalaupun ada orang baru, maka orang baru itu juga merupakan teman/follower dari si buzzer tadi. Dari nama-nama akunnya pun kita patut curiga bahwa akun-akun tersebut adalah akun palsu yang dikendalikan segelintir orang untuk membentuk opini. Komentar-komentar buzzer politisi ini pun kebanyakan senada dan kosong, mencerminkan bahwa para buzzer ini hanya asal komentar saja, tak mengapa komentar hampa asal banyak dan mencitrakan bahwa si politisi ini massanya banyak. Beda jauh dengan buzzer Jokowi yang jika kita perhatikan komentar-komentar mereka cenderung berisi dan argumentatif, tidak asal komentar saja.

Menggelembungkan opini melalui dunia maya sah-sah saja, asalkan berimbang dengan kenyataan aslinya. Jokowi sering dikritik karena para buzzer di media sosial mencitrakan dia seolah-olah manusia tanpa cela. Tapi hal yang nampak artifisial itu bisa diimbangi Jokowi di kehidupan sehari-hari melalui kerja nyata yang ia lakukan bersama Wagub Ahok. Sehingga antara yang didengungkan di media sosial dengan apa yang terjadi di kehidupan sehari-hari tidak jauh berbeda. Bandingkan dengan politisi yang satu ini, para buzzer-nya berusaha membuat pria ini seolah-olah pemimpin ideal, bahkan pantas disandingkan dengan Jokowi menjadi cawapres. Padahal kita tak pernah tahu apa sebenarnya jasa dan kerja nyata yang telah ia lakukan selama menduduki jabatannya saat ini. Alih-alih punya jasa, politisi ini justru lekat dengan suatu hal yang menjadi musuh bersama kita saat ini, yaitu korupsi. 

Politisi ini berasal dari salah satu parpol tradisional Indonesia yang pernah berkuasa di parlemen Indonesia, baik di masa lalu maupun di era reformasi ini. Di parlemen ia menduduki salah satu kursi pimpinan, dan posisinya itulah yang ia manfaatkan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Ia disebut dalam tuntutan JPU dalam perkara korupsi pengadaan kitab suci, yang menyeret koleganya sesama anggota DPR dari partai yang sama. Ia disebut menerima aliran dana dari proyek itu. Namun masih beruntunglah dirinya, ia belum dijadikan tersangka sampai saat ini, mudah-mudahan tinggal menunggu waktu saja. 

Walaupun rekannya sesama anggota DPR itu sudah divonis berat oleh pengadilan, dan si politisi yang kita omongkan ini sementara belum disentuh KPK, rupanya si politisi ini udah ketakutan sampai terkencing-kencing kalau-kalau sewaktu-waktu dirinya dijadikan tersangka. Untuk menghindari hal ini, dengan dalih yang amat bodoh dan tak masuk akal, ia memberanikan diri untuk mempermalukan dirinya sendiri dengan mendatangi salah seorang terpidana dalam perkara korupsi kitab suci itu di Bandung. Kita tak tahu apa yang ia omongkan dengan si terpidana yang merupakan anak dari legenda dangdut Indonesia itu, tapi orang paling lugu pun sudah bisa menduga bahwa si politisi ini sedang melobi (atau mungkin mengintimidasi) si terpidana anak legenda dangdut itu agar tidak "bernyanyi" menyebut-nyebut nama si politisi kalau-kalau si terpidana itu dimintai keterangan oleh penegak hukum. Inilah jahatnya si politisi korup, dan politisi korup inilah yang sedang digelembungkan opininya oleh para buzzer bayaran untuk dicitrakan sebagai calon pemimpin ideal.

LSM antikorupsi ICW juga memasukkan nama si politisi ini ke dalam Daftar 36 nama politisi bermasalah yang tidak layak dipilih dalam pemilu 2014 karena tidak pro pemberantasan korupsi. Tidak pro pemberantasan korupsi bisa bermakna banyak, apakah itu karena rajin mengkritik KPK atau karena disebut terlibat dalam kasus korupsi. Si politisi ini menurut ICW adalah termasuk politisi bermasalah karena masuk dalam tuntutan JPU dalam kasus pengadaan kitab suci. Artinya, ia diduga terlibat dalam sebuah kasus korupsi. Jadi, jangankan dipilih untuk jadi presiden/wakil presiden, untuk jadi anggota DPR saja sebenarnya politisi ini sudah tidak layak. Dan para buzzer politisi ini mencoba menutupi borok ini dengan memposting komentar-komentar kosong yang memuji-muji politisi ini.

Tak hanya bobrok dari segi hukum, dari segi sopan santun pun politisi ini amat jelek. Memang ia dikesankan sebagai seorang yang bersih, santun, berwibawa (karena suaranya berat kayak celeng ngorok). Tapi sesungguhnya di balik itu ia adalah seorang bermuka dua yang amat licik dan penghianat. Ketika sidang paripurna membahas perubahan APBN 2013 (yang salah satu goal-nya adalah menyetujui kenaikan harga BBM), si politisi ini bertingkah amat tak terpuji dan menyakiti hati rakyat. Di kursi wakil ketua, ketika sedang dilakukan penghitungan suara dalam voting untuk menentukan naik-tidaknya harga BBM, ia tertawa-tawa dan bertepuk tangan, seolah-olah tak memperdulikan di luar gedung parlemen sana banyak demonstran yang menolak kenaikan harga BBM sedang ditembaki gas air mata oleh aparat. Sikapnya itu bisa dimaknai sebagai sikap mengejek rakyat Indonesia yang dipastikan semakin menderita akibat kenaikan harga BBM. Sikapnya itu menunjukkan ia tidak peduli pada suara rakyat. Sikapnya itu patut pula kita duga sebagai akibat dari gangguan jiwa yang sedang ia derita. Bagaimana tidak, ketika rakyat sedang was-was akan naiknya harga barang kebutuhan dan di luar sana banyak demonstran terluka, ia justru tertawa-tawa dan bertepuk tangan. Apa bukan sakit jiwa namanya? Dan si politisi sakit jiwa ini yang sedang digelembungkan opininya oleh para buzzer, kita harap masyarakat tak terkecoh oleh rekayasa buzzer ini.

Sebuah lembaga survei yang (sedihnya) berasal dari sebuah PTN menyebutkan bahwa si politisi ini elektabilitasnya lebih tinggi daripada rekan-rekan separpolnya dalam hal menjadi capres/cawapres. Survei yang amat aneh dan tak masuk akal, bagaimana bisa seorang politisi korup begini elektabilitasnya di atas kader-kader yang lain. Padahal di antara kader-kader yang lain itu ada seorang mantan wakil presiden yang kegesitannya dan kenegarawanannya tidak diragukan lagi. Ada juga seorang politisi senior yang santun dan berpengalaman. Amat tidak masuk akal jika seorang politisi korup mengungguli dua kader ini. Patut kita duga survei itu sudah dipesan oleh si politisi bermasalah yang sedang kita bicarakan ini.

Semoga saja politisi munafik ini tidak maju dalam pilpres 2014. Tapi jika ia maju pun, tidak apa-apa. Boroknya akan dibongkar luas oleh ratusan LSM antikorupsi , dan akhirnya sikap munafiknya selama ini akan terbongkar dengan sendirinya. Jeruji penjara pun akan semakin dekat padanya.

MA yang mengabulkan kasasi JPU dalam kasus Rahudman

Berikut ini beritanya yang saya salin-tempel dari situs Sumut Pos, 1/4/2014.

Kasasi Kasus Rahudman Dikabulkan

 

MEDAN- Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum terhadap vonis bebas Rahudman Harahap yang diberikan Pengadilan Tipikor Medan. Saat itu Rahudman bebas dari tuntutan terkait kasus korupsi tunjangan penghasilan aparatur pemerintah desa (TPAPD) Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) tahun anggaran (TA) 2005.

Kepastian ini dipublikasikan di situs resmi MA, nomor register perkara 236 K/PID.SUS/2014, yang ditangani trio hakim agung yang dikenal keras menangani kasus korupsi  yakni Mohammad Askin, MS Lumme, dan Artidjo Alkostar yang menyatakan permohonan JPU dengan terdakwa Rahudman Harahap dikabulkan.

“Amar putusan, kabul,” demikian informasi perkara yang dipublikasikan di situs resmi MA.
Perkara dengan Panitera Pengganti Mariana Sondang Pandjaitan itu diputuskan pada 26 Maret 2014. Hingga berita ini ditulis, Artidjo belum bisa dimintai keterangan. Dihubungi lewat ponselnya tidak menjawab, begitu juga pertanyaan yang diajukan lewat layanan pesan singkat (SMS) juga tidak direspon hakim ‘galak’ itu. Kabiro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansur, ponselnya malah tidak aktif.

Hanya saja, seorang hakim agung menjelaskan, jika permohonan JPU yang dikabulkan, maka berarti dakwaan dan tuntutan JPU yang menjadi acuan vonis. “Kabul berarti sesuai dengan dakwaan JPU,” ujar hakim agung yang meminta namanya tidak ditulis koran ini dengan alasan dirinya tidak ikut menangani perkara itu.

Seperti diketahui, Pengadilan Tipikor Medan, pada 15 Agustus 2013, menyatakan Rahudman, dalam kapasitasnya sebagai mantan Sekda Pemkab Tapsel tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi atau menyalahgunakan kewenangannya. Rahudman dinyatakan bebas murni.

Dalam perkara ini, JPU menyatakan terdakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-undang nomor 20 tahun 2001 Jo 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Dalam tuntutannya, jaksa meminta kepada majelis hakim agar menjatuhkan hukuman pidana selama 4 tahun penjara denda Rp500 juta serta uang penganti Rp480 juta kepada Rahudman.

Menyikapi hal itu, Hasrul Benny Harahap sebagai kuasa hukum Rahudman Harahap, saat dikonfirmasi Sumut Pos, Senin (31/3) malam, mengatakan belum menerima salinan resmi putusan pengabulan JPU dalam kasasi kasus ini. “Kita belum berani berkomentar. Karena, belum menerima surat salinan resmi putusan itu,” ungkap Hasrul.

Ditanyakan, apa langkah selanjutnya upaya hukum atas putusan MA ini, Hasrul enggan berkomentar. “Kita masih mencari data itu (putusan MA). Bagaimana isi putusan itu, kita belum melihat. Itu putusan keluar pada 26 Maret kemarin. Jadi belum bisa memberikan komentar lebih banyak,”sebutnya.

Di sisi lain, Marcos Simaremare, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara tersebut mengaku belum mengetahui terkait putusan kasasi perkara itu di MA. “Saya belum tahu apakah putusannya sudah keluar atau belum. Karena sampai saat ini kami juga belum ada menerima salinan putusan dari MA. Karena putusan dari MA yang bisa kita laksanakan,” katanya.

Namun, Kasi I Asintel Kejati Sumut ini mengaku siap melakukan eksekusi terhadap Rahudman bila nantinya putusan tersebut sudah inkrah. “Mengenai eksekusi itu siap kita jalankan. Tentunya kita lihat dulu apa bunyi putusan kasasi. Tapi sampai saat ini kita juga belum tahu apa putusannya,” jelasnya.

Terpisah, Juru Bicara Pengadilan Tipikor Medan, Nelson Marbun mengatakan dikabulkannya pengajuan kasasi jaksa oleh hakim MA, masih sebatas pengabulan administrasi atau memenuhi syarat formalitasnya. “Itu berarti permohonan kasasi dari jaksa diterima. Pengajuan kasasi itu memenuhi ketentuan. Jadi kalau lewat tenggang waktu ataupun berkas mereka tidak memenuhi syarat, bisa tidak diperiksa perkaranya,” terang Nelson.

Lanjutnya bila putusan kasasi hakim telah final, harusnya ada pencantuman apakah putusan Pengadilan Tipikor dibatalkan atau sebaliknya. “Seperti saya bilang tadi, kalau dalam putusan tidak ada bunyi seperti itu (yang menyatakan membatalkan atau menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Medan), maka itu belum putusan kasasi. Putusannya bagaimana, kita kan belum tahu apakah menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Medan atau malah sebaliknya,” urainya.

Begitupun, sambungnya, jika nantinya Rahudman terbukti bersalah, dia masih ada kesempatan mengajukan PK (Peninjauan Kembali) dengan catatan ada novum atau bukti baru dalam kasus itu. Namun pengajuan PK tentunya tidak menghambat eksekusi yang dilakukan Jaksa.

“Dia (Rahudman) masih bisa mengajukan PK asal ada bukti baru. Tentunya PK tidak menghambat eksekusi. Di sini juga harus dilihat, apakah dalam putusan hakim kasasi ada memerintahkan agar dilakukan penahanan. Jika dalam putusan itu ada, jaksa bisa melakukan eksekusi setelah putusan itu inkrah,” urainya.

Sementara itu, Rurita Ningrum, Direktur eksekutif  Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumut, mengatakan jika putusan sudah inkrah Rahudman Harahap wajib dieksekusi. “Seharusnya Kejaksaan segara melakukan eksekusi terhadap Rahudman dengan cepat. Dan ini membuktikan keadilan yang tepat untuk menetapkan dan mengabulkan putusan kasasi terhadap kasus Rahudman itu,”ungkap Rurita. (sam/far/gus/rbb)

 

Artidjo Alkostar Masuk Majelis Hakim

 

Kasus Rahudman Harahap memasuki babak baru. Mahkamah Agung telah menunjuk tiga hakim untuk menangani kasus ini. Mereka adalah Mohammad Askin, MS Lumme, dan Artidjo Alkostar. Nama terakhir ini adalah sosok yang cukup "mengerikan" bagi tokoh yang tersangkut dalam kasus korupsi. 

Bagaimana tidak, alumnus Universitas Islam Indonesia Yogyakarta ini merupakan hakim agung yang mendapat banyak sorotan atas keputusan dan pernyataan berbeda pendapat (dissenting opinion)-nya dalam banyak kasus besar. Namanya terangkat saat memperberat vonis 4 tahun penjara menjadi 12 tahun kepada politikus Angelina Sondakh.

Bahkan hakim kelahiran Situbondo ini sempat berkoar siap menghukum mati koruptor. Tapi keinginannya terhambat UU yang mensyaratkan hukuman mati diberikan kepada korupsi yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, krisis moneter, dan bencana alam nasional.

Bagi kalangan praktisi hukum , Ketua Muda Kamar Bagian Pidana Mahkamah Agung (MA) ini dikenal sebagai hakim agung yang zero tolerance dalam menghukum. Tidak segan-segan dia menghukum koruptor dengan ancaman maksimal UU.

Selain kasus Angelina Sondakh, pada tahun 2012 Artidjo menghukum Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M Najamuddin 4 tahun penjara karena terbukti sah dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) senilai Rp 21 miliar. Putusan ini membalik kehidupan Agusrin sebab sebelumnya Agusrin diputus bebas oleh PN Jakarta Pusat yang diketuai oleh Syarifuddin. Syarifuddin belakangan duduk di kursi pesakitan karena didakwa korupsi menerima suap. Agusrin terkena hukuman minimal sesuai pasal 2 UU PTPK.

Selain ingin memvonis mati koruptor, Artidjo mengatakan ada banyak cara untuk memiskinkan koruptor. Salah satu caranya dengan mengambil semua uang negara yang dikorupsi. "Jika sudah ada yang terpakai, ambil asetnya," kata Artidjo.

Artidjo berpendapat angka rakyat miskin dapat berkurang banyak jika uang negara yang dikorupsi diambil kembali. "Dengan catatan, dikelola negara dengan baik," ujar pria asal Situbondo itu.

Istilah memiskinkan koruptor, Artidjo melanjutkan, tak ada dalam ranah hukum dan pengadilan. Itu hanya istilah sosial untuk perilaku koruptor yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi. "Arti gamblangnya, memberikan hukuman maksimal bagi para koruptor," kata dia.

Dia mengklaim belum pernah meringankan hukuman terdakwa korupsi manapun. Alasannya, ia tidak menemukan poin-poin yang layak untuk dijadikan pertimbangan keringanan hukuman. "Belum pernah sama sekali," tegasnya.

Malah dia sering menggandakan hukuman. Pertimbangannya, membetulkan atau meluruskan pasal yang diterapkan pengadilan negeri serta pengadilan tinggi merupakan hak Mahkamah Agung. "Misalnya mereka memakai pasal suap pasif, tapi yang tepat sebetulnya pasal suap aktif. Itu saya luruskan," ujarnya. *