Senin, Februari 15, 2010

libur semester ini

Akhirnya libur semester 3 ini datang juga. Sebenarnya sih di kampus saya gak ada liburnya, karena kata orang biro tanggal 8 Februari udah masuk semester baru. Sedangkan seluruh proses daftar ulang untuk semester baru baru selesai hari Jumat 5 Februari. Maka liburnya Cuma 2 hari saja, sabtu dan minggu. Wah gak bener nih pikir saya. Masak satu semester itu ga ada liburnya. Lalu saya pun memutuskan untuk bolos saja barang 1-2 minggu untuk pulang kampung, karena kalau sekarang saya ga pulang maka ga akan ada waktu lagi, karena semester genap ini panjang masanya dan baru selesai sekira bulan 6-7. Waktu yang terlalu lama bagi saya.

Akhirnya Jumat sorenya, setelah menyelesaikan seluruh proses daftar ulang yang melelahkan, dan juga setelah selesai menemani teman berkeliling kota Padang mencari rumah dosen pembimbing teman bersangkutan, saya pun memesan tiket bus untuk pulang. Saya memilih menumpang bus Kurnia, padahal biasanya saya pulang naik ALS. Ada dua alasan mengapa saya memilih Kurnia, pertama saya ingin berjalan-jalan dulu karena rute bus ini berbeda dengan ALS, yaitu melalui lintas timur Sumatera. Kedua, saya ada pengalaman buruk dengan ALS yang tidak perlu saya tampilkan, jadi sementara saya tidak pulang dengan ALS ini.

Sabtu pagi pukul 8 saya langsung pergi ke pull bus itu setelah pamit dulu dengan teman-teman sekos. Sampai disana ternyata bus agak lama baru berangkat yaitu jam 10.30, padahal di tiket tertulis berangkat jam 10. Dari Padang, isi bus tidak terlalu banyak, hanya sekitar 8 orang, sedangkan sisanya banyak yang naik dari Bukittinggi, atau Payakumbuh. Kadang-kadang saya heran kenapa setiap hari ada saja yang pergi naik bus AKAP ini, padahal ini bukan musim libur toh.

Singkat cerita dua jam kemudian, jam 12.30 kami tiba di Bukittinggi, tepatnya di terminal Aur Kuning. Bus berhenti sebentar untuk menaikkan penumpang dan barang-barang. Adalah suatu pemandangan yang biasa kalau bus berhenti maka akan banyak pedagang naik ke dalam bus untuk menawarkan dagangannya. Tapi di Aur Kuning ini menurut saya agak luar biasa, karena sangat banyak pedagang yang naik menawarkan dagangannya, mulai dari makanan, minuman, buku, majalah, dsb. Tidak hanya pedagang, pengamen serta pengemis pun banyak yang naik ke atas bus ini. Dan yang agak kurang mengenakkan, para pedagang dkk ini terkesan memaksa penumpang untuk membeli dagangannya atau memberi sumbangan atas nyanyian yang telah mereka nyanyikan. Untuk menghindari mereka ini, saya pun turun sebentar untuk solat zuhur di mushalla di terminal ini.

Sekitar jam 13.30 bus berangkat lagi meninggalkan Bukittinggi. Beberapa jam kemudian tepatnya di Ampek Angkek Canduang, terjadi suatu kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya. Bus terpaksa berhenti karena karet rem tangannya bocor. Akhirnya awak bus terpaksa balik lagi ke Bukittinggi untuk membeli karet rem tersebut dengan menaiki angkot jurusan Bukittinggi. Menunggu awak itu membeli karet ternyata sangat lama, maka saya pun makan siang dulu sambil menunggu di warung dekat tempat bus berhenti. Selama menunggu hujan turun deras, untung saja tidak terlalu lama. Menjelang maghrib baru awak tersebut kembali dari Bukittinggi. Persoalan belum seelesai karena untuk memasang karet rem itu butuh waktu. Sekitar tiga jam kemudian barulah karet rem itu selesai dipasang. Alhamdulillah berakhir juga penantian yang membosankan, dari jam 3 sampai jam 10 malam baru selesai. Mudah-mudahan bus ini ga macam-macam lagi.

Setelah itu saya mencoba tidur, dan terbangun ketika bus berhenti lagi untuk istirahat makan malam di Lubuk Bangku, Limapuluh Kota. Setelah makan malam bus berangkat lagi, melewati Kelok Sembilan yang amat patah dan menimbulkan sensasi tersendiri bagi saya. Kelokan yang disebut oleh kernet bus ini sebagai ‘Kelok Yahudi’. ;)

Semakin malam ternyata sopir dan kernet bus makin gila. Mereka bercanda sampai tertawa setengah mati. Mungkin hal itu berguna juga biar supirnya ga mengantuk. Saat kernet sudah mulai tidur-tiduran, padahal sebelumnya dia bernyanyi keras-keras, sopir bernama Pak Boy pun meledeknya dengan mempelesetkan lagu Pance ‘Kucari Jalan terbaik’, pada bagian reffnya sehingga menjadi:
‘pura-pura nyanyi, padahal mau tidur..
aku mau tidur, biar pak boy begadang sendiri..
pura-pura nyanyi padahal aku tidur..
esok pagi terima gaji,pak boy mampus,..’
hehehe saya sendiri senyum-senyum mendengar pelesetan lagu ini. Si kernet pun jadi malu dan mulai menyanyi-nyanyi lagi mengikuti lagu yang diputar di tape. Semua lagu mereka nyanyikan dengan diplesetkan, seperti lagu Trio Ambisi ‘terjalin kembali’ mereka ubah reffnya menjadi:
‘kurelakan dikau mati..
aku kawin lagi,.’
Saya sampai tergelak-gelak di tengah malam. Bosan main plesetan lagu, mereka membicarakan sebuah pantun. Si kernet cerita kalau kawannya ada buat pantun untuk menyindir kawannya, sebuah pantun yang berantakan:
‘buah kedondong di dalam kali,
punya mulut jangan gitu kali dong!’
sangat tidak nyambung memang. Pak boi menimpali ‘jaka sembung bawa golok, ga nyambung goblok..!’ hehehe :D
setelah itu mereka mulai bercakap-cakap dalam bahasa Karo yang tak saya mengerti. Maka saya pun tidur lagi.

Subuhnya di kota Duri, Riau kami berhenti untuk solat subuh. Satu hal yang menarik adalah nama kampung tempat masjid ini berada, yaitu Kampung Suriname. Apakah memang orang-orang kampung ini keturunan Suriname? Tak tahulah saya. Sesudah solat kami melintasi jalanan lurus penuh dengan perkebunan dan rawa-rawa di kanan kirinya yang membosankan. SEkitar jam 8 kami berhenti sarapan di Balam, Rokan Hilir. Melanjutkan perjalanan, melewati perbatasan Riau-Sumatera Utara yang pemandangannya tidak banyak berubah, penuh dengan perkebunan. Lintas timur memang adalah sebuah jalan lintas yang lurus dan tidak mendaki dan banyak perkebunannya, karena daerah disitu adalah dataran rendah. Berbeda dengan lintas barat yang mendaki pegunungan Bukit Barisan.

Siangnya di Simpang Kawat, Asahan kami berhenti lagi untuk makan siang. Setelah itu bus tidak berhenti lagi. Semakin mendekati Medan, supir dan kernet kembali kumat gilanya. Di Lubukpakam mereka memain-mainkan klakson, sehingga bunyi klakson itu sangat panjang ‘tooooooooooooooooooooooooooooooot’ seperti suara klakson kereta api. Pak Boy dan kernet tertawa terbahak-bahak melihat hasil kerjaan mereka yang sukses membikin pengendara yang ada di depan terkejut. Dasar duet gila memang mereka berdua.

Jam 18.30 bus pun tiba di pull di SM Raja Marendal. Namun saya tidak turun karena baru akan turun di pull satu lagi di Pondokkelapa, karena darisitu saya bisa mencari angkot yang langsung ke Binjai. Jam 19.30 saya sampai di Pondokkelapa, menaiki angkot yang ke Binjai, dan sampai di rumah satu jam kemudian. Berakhirlah perjalanan yang melelahkan sekaligus mengesankan ini.