Selasa, November 29, 2011

download video youtube dengan menggunakan add ons

selama ini umumnya kalau mau mendownload video-video dari youtube pasti menggunakan internet download manager (IDM), orbit downloader, atau malah menuju ke situs-situs seperti keepvi atau . namun terkadang kalau kita sedang browsing di warnet atau dimanalah, software-software tersebut belum/tidak terinstal di komputer tersebut. kalaupun menuju ke situs keepvid atau savevid pun terkadang dia minta diunduh dulu java applicationnya baru itu situs bisa mendownload video youtube. nah hal-hal demikian tentu membuang waktu lama, jadi ada alternatif lain yang jauh lebih cepat, yaitu menggunakan add ons mozilla Easy Youtube Downloader. aplikasi ini khusus utk pengguna mozilla (dan saya rasa di indonesia lebih dari 90% pengguna internet pasti pake mozilla untuk browsing). tidak perlu berlama-lama download add onsnya, karena ukurannya kecil. setelah diunduh, install lalu restart firefox anda. langsung buka youtube, maka di pojok bawah video pasti ada toolbar 'download'. lalu anda bisa memilih untuk mendownload dengan kualitas yang bagaimana, apakah flv, mp3, mp4, dst. pokoknya gampang dan asyik dah! kecepatan downloadnya pun lumayan kencang.

silakan kesini untuk unduh add onsnya: https://addons.mozilla.org/en-US/firefox/addon/easy-youtube-video-downl-10137/ selamat mencoba!

Pink Floyd-Time

saya tau lagu ini udah cukup lama. maklum ini lagu adalah salah satu lagu terpopuler dari Pink Floyd, dan berasal dari album terpopuler Pink Floyd pula yaitu The Dark Side of The Moon. awalnya saya rasa lagu ini biasa2 aja, namun lama kelamaan WOW! sebuah lagu dahsyat yang sangat berskill dan berciri khas pink floyd sekali.

lagu dibuka dengan suara detik jam, terus masuk ke dentang bel jam...pokoknya bunyi-bunyian yang berkaitan dengan waktu ('time') lah...lalu masuk ke suara perkusi, yaitu hentakan intro drum yang menggema dari Nick Mason. setelah perpaduan suara-suara aneh (jam dst) dengan drum tadi, baru masuk vokal dari David Gilmour dan Richard Wright..."Ticking awaY..!the moments that make up a dull day ..." WAH DAHSYAT sekaleee

kemudian di tengah-tengah lagu ada solo gitar yang sangat berkelas dan jernih dari Gilmour. tidak hanya Gilmour yang keren sekali permainannya, tapi juga Roger Waters si bassist yang sangat ritmik mengikuti alunan lagu dan melodi yang dinyanyikan Gilmour & si keyoboardist (alm) Richard Wright. juga ada suara additional vokalis cewek di pertengahan lagu. lagu ditutup dengan suatu coda yang agak 'jatuh' dan mendadak menurut kuping saya, tapi sangat bagus untuk menutup lagu fenomenal ini. di albumnya, lagu ini langsung bersambung ke salah satu lagu terdahsyat Pink Floyd yang lain, yaitu 'The Great Gig of The Sky'. pokoknya lagu ini muantap tenan lah!

salam

===
*kegemaran saya terhadap lagu ini makin diperparah setelah meliat video lagu TIME ini di youtube. versi live dari lagu ini, video yang dahsyat dan menunjukkan keahlian personel Pink Floyd dalam bermusik, walaupun di video ini jelas mereka sudah keliatan berumur. yang luar biasa, video ini sudah dilihat oleh lebih dari 22,5 juta pemirsa sampai saat posting ini dibuat! wow! check this out!



untuk mendownload mp3 lagu ini, silakan ke http://www.4shared.com/audio/gBffSASL/003_Pink_floyd-Time.htm

Metode Penjaringan Kandidat Calon Presiden RI oleh Partai Golkar

PENDAHULUAN

Setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, ada beberapa ketentuan yang diubah dengan amandemen ini. Salah satunya adalah tatacara pencalonan dan pemilihan presiden dan wakil presiden. Sebelum UUD 1945 diamandemen, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR setiap lima tahun sekali. Ketentuan seperti ini ternyata dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Seperti Presiden Soeharto misalnya, memanfaatkan ketentuan ini dengan cara menguasai MPR terlebih dahulu. Setelah Golkar yang dikendalikan oleh Soeharto memenangkan pemilihan umum, maka duduklah orang-orang yang loyal kepada Soeharto di DPR/MPR. Mereka inilah yang nantinya akan memilih siapa presiden Indonesia berikutnya, dan karena mereka sudah dikendalikan oleh Soeharto maka setiap lima tahun Soeharto sebagai calon tunggal presiden dipastikan akan menduduki jabatan tersebut kembali. Hal ini terus berlangsung puluhan tahun lamanya dan membuat kehidupan berdemokrasi di Indonesia menjadi mati suri karena rezim orde baru menjelma menjadi sebuah rezim otoriter yang mengekang hak-hak berdemokrasi warga negara. Oleh karena itu begitu rezim orde baru tumbang, ketentuan dalam konstitusi mengenai presiden pun diubah, mulai dari kewenangannya, masa jabatannya, hubungannya dengan lembaga negara lainnya, tatacara pemilihan presiden dan wakil presiden, dan lain-lain.
Berdasarkan pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dengan demikian seorang yang akan mencalonkan diri sebagai presiden harus melalui partai politik dulu agar bisa maju ke ajang pemilihan presiden. UUD 1945 tidak memberi kemungkinan bagi seseorang untuk mencalonkan diri menjadi presiden dari jalur independen/non parpol, melainkan harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu presiden diatur dalam UU mengenai pemilu presiden/wapres. Undang-undang paling mutakhir tentang pilpres adalah UU No. 42/2008. Dalam UU ini ditegaskan bahwa pasangan capres dan cawapres musti diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol, dengan syarat minimal parpol atau gabungan parpol tersebut musti mendapatkan total 20% kursi di DPR atau mendapakan total 25% jumlah suara sah secara nasional pada pemilu legislatif. Ketentuan ini membuka kemungkinan bagi partai-partai yang ada untuk mencalonkan calon sendiri atau bergabung dengan partai lain untuk mencalonkan satu pasangan capres dan cawapres. Namun umumnya sekalipun suatu parpol sudah mendapatkan suara atau kursi yang mencukupi untuk mencalonkan sendiri, kebanyakan akan lebih memilih untuk berkoalisi dengan partai lain agar lebih menjamin perolehan suara pada pemilu presiden. Meskipun demikian, calon presidennya tetap berasal dari partai yang terbesar. Contohnya dapat kita lihat pada pemilu presiden 2009, dimana pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto diusung oleh partai Golkar dan Partai Hanura, dimana calon presidennya adalah Jusuf Kalla yang merupakan kader partai Golkar yang memperoleh jumlah suara lebih banyak ketimbang Hanura. Begitu pula pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto yang diusung oleh PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, dimana capresnya adalah Megawati yang merupakan ketua umum PDI Perjuangan.
Adapun di internal partai-partai besar ada beberapa macam cara untuk menentukan calon presiden yang akan mereka usung. Ada yang melalui mekanisme Rapat Pimpinan Nasional/Musyawarah Nasional, ada pula yang melalui mekanisme konvensi. Partai Golkar adalah sebuah partai yang cukup unik karena pada pilpres 2004 menggunakan mekanisme konvensi untuk menentukan kandidat yang akan mereka usung sebagai presiden. Namun pada pilpres 2009 Partai Golkar menggunakan mekanisme Rapimnas untuk menentukan kandidat calon presiden dari Golkar. Menjelang Pilpres 2014 mendatang, Golkar berniat melakukan survei sebagai cara menentukan capres mereka, dan ada indikasi ke penetapan langsung berdasarkan aspirasi daerah untuk menunjuk ketua umum Golkar saat ini untuk menjadi capres. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas mengenai beberapa metode yang pernah digunakan oleh Golkar untuk menentukan kandidat capres mereka.

PEMBAHASAN

Partai Golkar adalah sebuah partai politik besar yang berpengalaman di dunia perpolitikan Indonesia selama puluhan tahun. Sejarah awal Golkar adalah bukan sebagai sebuah partai politik, melainkan sebuah organisasi yang dibentuk pada tahun 1964 bernama Sekber Golkar. Sekber ini merupakan wadah bagi golongan fungsional atau golongan karya murni yang tidak berada di bawah pengaruh parpol manapun. Dalam perkembangannya Sekber Golkar pada tahun 1970 memutuskan untuk menjadi peserta pemilu dengan satu nama dan satu gambar yaitu Golongan Karya (Golkar). Golkar mulai mengikuti pemilu pada tahun 1971 dimana dia langsung menjadi pemenangnya, dan kemenangan tersebut terus berlanjut pada pemilu-pemilu selanjutnya hingga era reformasi tiba. Kemenangan-kemenangan ini antara lain disebabkan karena diberlakukannya massa mengambang serta intervensi aparatur negara secara berlebihan. Perlu dicatat bahwa keikutsertaan Golkar pada pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 adalah bukan dalam bentuk partai politik. Alasannya adalah karena terminologi ‘partai politik’ mencerminkan pengutamaan politik yang mengesampingkan pembangunan dan karya, yang mana hal tersebut adalah tidak sesuai dengan platform Golkar sendiri. Baru setelah reformasi bergulir, Golkar berubah wujud menjadi partai politik di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung. Walaupun banyak dicerca masyarakat karena dianggap merupakan alat Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan, namun partai Golkar dengan wajah barunya tetap bisa mendapatkan suara yang cukup banyak pada pemilu pertama di era reformasi yaitu pemilu 1999. Kendatipun tidak menjadi pemenang pemilu, namun partai Golkar mampu menduduki peringkat kedua perolehan suara di bawah PDI Perjuangan. Bahkan lima tahun berikutnya di Pemilu 2004 Golkar kembali tampil sebagai pemenang pemilu. Dan terakhir pada pemilu 2009 Golkar kembali turun ke peringkat kedua di bawah Partai Demokrat. berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat kita lihat bahwa partai golkar adalah partai yang cukup kuat di Indonesia, dan dengan demikian tentu mereka bisa mencalonkan kader mereka sebagai calon presiden Republik Indonesia.
Pemilu presiden yang pertama dilakukan secara langsung berdasarkan ketentuan pasal 6A UUD 1945 adalah pilpres 2004. Partai Golkar sebagai pemenang pemilu tentu dapat mengajukan calon yang akan mereka usung sebagai calon presiden. Ketika itu Golkar di bawah pimpinan Akbar Tandjung dalam menjaring calon yang akan mereka usung adalah dengan menggunakan metode konvensi, yaitu metode pemilihan oleh kader dan elite pengurus Golkar. Metode ini mengundang beberapa kandidat untuk bertarung, dimana Para kandidat akan memaparkan visi dan misi mereka di hadapan para kader Golkar di semua daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Dan hasilnya adalah pasangan Wiranto dan Shalahuddin Wahid terpilih sebagai pasangan capres dan cawapres dari Golkar untuk maju di pilpres 2004. Wiranto mengalahkan beberapa kandidat lain dalam konvensi, termasuk Akbar Tandjung sendiri serta Prabowo Subianto. Pada akhirnya pasangan ini gagal memenangkan pilpres 2004, dan malah tidak mampu untuk lolos ke pilpres putaran 2 dimana pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang diusung Partai Demokrat, PBB, dan PKPI muncul sebagai pemenang dan terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia.
Kemudian lima tahun kemudian Golkar kembali mendapatkan suara yang cukup signifikan dalam pemilu legislatif 2009. Golkar lalu berkoalisi dengan partai Hanura untuk mengusung pasangan Jusuf Kalla-Wiranto sebagai capres dan cawapres. Berbeda dengan pilpres 2004, pada pilpres 2009 ini Golkar tidak menggunakan mekanisme konvensi untuk menjaring kandidat capres yang akan mereka usung. Ketua umum Golkar saat itu yaitu Jusuf Kalla beranggapan bahwa biaya penyelenggaraan konvensi terlalu mahal. Maka kemudian Golkar menerapkan metode Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), dimana capres ditentukan berdasarkan legitimasi dari 33 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar yang ada di 33 provinsi melalui Rapimnas. Melalui model ini terpilihlah Jusuf Kalla untuk menjadi capres dari Golkar, berpasangan dengan Wiranto. Pada akhirnya pasangan ini kalah dalam pilpres 2009 dimana pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang diusung oleh Partai Demokrat cs keluar sebagai pemenangnya.
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar sendiri tidak ada mengatur bagaimana seharusnya model penjaringan kandidat capres dari Golkar. Semuanya adalah tergantung kebijakan dari ketua umum yang sedang memimpin, akan menggunakan model yang mana. Ketua Umum Partai Golkar periode 2009-2014, Aburizal Bakrie, misalnya menegaskan bahwa untuk pilpres 2014 Golkar akan menerapkan metode survei untuk menentukan kandidat capres yang akan mereka usung. Jadi tidak lagi memakai mekanisme konvensi ataupun Rapimnas. Dengan metode survei, maka kandidat yang memperoleh popularitas tertinggi berdasarkan hasil survey akan diusung Golkar sebagai capres. Maka yang menentukan kandidat adalah rakyat melalui hasil survei, bukan ditentukan oleh pengurus DPP Golkar. Metode survei ini sendiri menurut Aburizal sudah diterapkan pada pemilihan umum kepala daerah, dimana semua calon kepala daerah yang diusung oleh Golkar adalah berdasarkan hasil survei, dan hasilnya adalah Golkar mampu memenangi separuh lebih pemilukada di seluruh Indonesia.
Menjelang pilpres 2014 mendatang, di tubuh Golkar sendiri muncul semacam perpecahan antara kubu idealis yang dipelopori Akbar Tandjung dengan kubu pragmatis yang dipimpin Aburizal Bakrie. Kubu Akbar menginginkan konvensi kembali dipakai sebagai metode penjaringan capres dari Golkar, sedangkan kubu Ical bersikukuh menolak konvensi dan berusaha menjadikan survei sebagai metode penjaringan kandidat capres dari Golkar.
Konvensi yang diperkenalkan Golkar untuk menjaring kandidat capres memang fenomenal dan dianggap sangat demokratis. Hal ini karena dengan menggunakan metode konvensi, para kandidat akan bersaing secara terbuka dengan memaparkan visi dan misinya untuk merebut perhatian para kader dan pengurus Golkar di seluruh Indonesia. Menurut Akbar Tandjung, konvensi juga berarti sebuah pengambilan keputusan yang melibatkan hingga jajaran partai yang berada di bawah. Kovensi akan menghasilkan capres yang dikenal luas hingga ke daerah-daerah, karena setiap peserta konvensi musti mendapat dukungan dari kader partai di daerah. Sehingga dengan demikian hasil konvensi sesungguhnya mencerminkan aspirasi dari DPD-DPD Golkar di seluruh Indonesia, hal inilah yang kemudian memunculkan gambaran bahwa konvensi adalah sebuah proses yang sangat demokratis. Selain itu metode konvensi ini juga menunjukkan kemandirian Golkar dan mencerminkan sebuah organisasi yang modern, dimana semua kader diberi kesempatan untuk mengikuti konvensi dan semuanya punya peluang yang sama untuk terpilih. Ini bermakna Golkar tidak hanya bergantung pada satu orang saja dimana satu orang ini yang biasanya merupakan orang paling berpengaruh di partai akan menjadi satu-satunya kandidat yang akan diusung partai untuk menjadi capres. Golkar, dengan mekanisme konvensi berarti menolak budaya mengkultusindividukan seseorang seperti itu. Hal tersebut merupakan sebuah terobosan yang cukup revolusioner karena sangat banyak parpol di Indonesia yang masih mengkultusindividukan pemimpinnya, seperti PDI Perjuangan dengan Megawati-nya, Partai Demokrat dengan SBY-nya, dan lain-lain. Konvensi juga bisa dianggap sebagai upaya Akbar Tandjung untuk menunjukkan bahwa Golkar sudah berubah dan sudah punya paradigma baru, terutama dalam hal rekruitmen capres.
Namun di sisi lain, konvensi memang mempunyai beberapa kelemahan. Selain menelan biaya yang cukup banyak seperti diutarakan ketua umum Golkar Jusuf Kalla pada tahun 2009 silam, konvensi juga rentan menjadi ajang adu uang dan adu modal. Seperti kita ketahui metode konvensi menempatkan kader-kader Golkar di daerah sebagai anak emas, dimana menang kalahnya seorang kandidat adalah berdasarkan pilihan mereka. Untuk itu, calon yang ingin menang tentu harus merebut banyak suara di daerah, dan untuk mencapai hal tersebut tentu tidak bisa terjadi dengan Cuma-Cuma melainkan harus ada semacam pemberian bagi para pengurus di daerah tersebut. Hal ini akan menyebabkan calon dengan modal yang kuatlah yang akan menang, dan tentu saja ini bertentangan dengan tujuan konvensi sendiri yang ingin mendapatkan capres yang berkompeten serta diakui legitimasinya di tingkat kepengurusan baik pusat maupun daerah. Alasan lainnya adalah dengan adanya konvensi bisa memicu perpecahan di internal partai. Kekalahan capres dari Golkar pada pilpres 2004 dan 2009 bisa disebut karena ketidaksolidan di internal partai dalam memenangkan capres yag Golkar usung. Ditengarai hal itu bisa saja terjadi karena ada sebagian kubu pendukung kandidat yang kalah dalam konvensi merasa tidak puas dan kemudian membelot mendukung capres dari partai lain. Konvensi juga memakan waktu dan proses yang panjang dan melelahkan, serta bisa saja memunculkan pemenangnya bukanlah merupakan kader Golkar yang aktif seperti yang terjadi ketika Wiranto memenangkan konvensi Golkar 2004.
Jusuf Kalla sendiri menjelang pilpres 2009 menolak konvensi sebagai metode penjaringan capres dari Golkar untuk pilpres 2009. Menurut Jusuf Kalla, konvensi pada 2004 adalah berdasarkan alasan sejarah, dimana ketika itu ketua umum Golkar Akbar Tandjung sedang tersangkut masalah hukum, sehingga pengurus Golkar tidak mau mengambil risiko mencalonkan seorang ketua umum yang sedang tersangkut masalah hukum. Oleh karena itu metode konvensi pun ditempuh untuk menghindari hal tersebut. Kalla kemudian mengajukan usul untuk mengembalikan penetapan capres dari Golkar melalui proses Rapimnas, hal mana menurut Kalla adalah sesuai dengan AD/ART Partai Golkar yang menyebutkan bahwa keputusan penting partai diambil dalam Rapimnas. Menurut Kalla penentuan capres dari Golkar termasuk keputusan penting, karena itu wewenang tersebut harus diserahkan pada Rapimnas. Metode Rapimnas ini akhirnya memang dipakai menjelang pilpres 2009 dimana ketika itu aspirasi dari daerah dijaring dan memunculkan sejumlah nama termasuk Kalla. Kemudian dilakukan survei di antara nama-nama tersebut dan Kalla menang sehingga memunculkan Kalla sendiri sebagai capres dari Golkar.
Kini Golkar dengan kepengurusan di bawah pimpinan ketua umum Aburizal Bakrie menolak memakai konvensi untuk merekrut capres dari partai Golkar pada pilpres 2014. Menurut Ical, konvensi hanyalah berarti memotret suara elit partai saja, sebab yang menentukan hasil konvensi adalah elit dan pengurus partai, sedangkan rakyat tidak dilibatkan. Oleh karena itu Ical mengusulkan agar Golkar menggunakan metode survei untuk menjaring capres, sebab survei dinilai lebih memotret suara rakyat sebab hasil survei ini ditentukan oleh rakyat. Kandidat yang memperoleh popularitas tertinggi dalam survei akan maju sebagai capres dari Golkar. Survei ini menurut Ical adalah sejalan dengan sistem pemilu dan pilpres yang menggunakan suara rakyat secara langsung. Karena itu survei menjadi sangat penting untuk membaca keinginan rakyat sebelum pilpres sebenarnya diadakan. Selain itu kebulatan suara dari daerah untuk mengusung Ical sebagai capres juga dijadikan alasan untuk menolak konvensi.
Namun ada yang beranggapan bahwa niat Ical meniadakan konvensi adalah karena khawatir kalah. Pengamat politik Hanta Yudha mengungkapkan hal ini dengan membandingkannya dengan Konvensi 2004, dimana Akbar Tandjung sebagai ketua umum Golkar kala itu kalah dalam konvensi. Ical sebagai ketua umum Golkar periode sekarang tentu khawatir hal itu akan terulang lagi pada dirinya. Selain itu, ada kemungkinan Ical mencoba menghindari dirinya dijadikan ATM berjalan oleh daerah-daerah sehubungan dengan konvensi ini, karena sebagaimana diuraikan di atas metode konvensi rawan dijadikan ajang tawar menawar oleh elit partai di daerah untuk meraup sejumlah keuntungan materil yang mereka ambil dari para kandidat dalam konvensi. Selain itu, menurut Titi Anggraeni, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), keengganan Ical menerapkan konvensi adalah karena Ical ingin mencari aman dengan memanfaatkan posisinya sebagai orang nomor satu di Golkar. Lebih lanjut, Titi mengemukakan tiga dugaan mengapa Golkar tidak lagi memakai konvensi. Pertama, karena dominasi Ical di tubuh Golkar yang terlalu dominan. Kedua, karena kekhawatiran sejarah konvensi 2004 terulang dimana yang keluar sebagai pemenang adalah Wiranto dan bukannya Akbar Tandjung sebagai ketua umum Golkar. Dan ketiga, ada kemungkinan memang Golkar tidak mempunyai tokoh selain Ical yang dapat dijual, baik dalam artian popularitas maupun dalam artian permodalan.
Belakangan pada akhir Oktober 2011, dalam Rapimnas II Partai Golkar di Hotel Mercury, Ancol, Jakarta, dalam sesi pemandangan umum Rapimnas II hampir seluruh pengurus DPD Golkar mendukung Ical sebagai capres. Hal ini tentu semakin memperkuat pencalonan Ical sebagai capres dari Golkar tanpa harus melalui proses konvensi sebagaimana yang dipraktikkan Golkar sebelumnya. Keadaan ini dianggap merupakan sebuah kemunduran dalam tubuh partai Golkar, dimana yang dulunya dianggap sangat demokratis dalam rekruitmen capres yaitu dengan metode konvensi, kini berubah menjadi penetapan calon tunggal dengan dalih kebulatan suara dan aspirasi dari tingkat daerah.
Dengan berbagai pro kontra terhadap proses rekruitmen capres dari Golkar, Pengamat politik Hanta Yudha beranggapan bahwa metode konvensi masih lebih baik ketimbang metode-metode lain tanpa konvensi. Selain karena lebih demokratis, konvensi juga menguntungkan partai dari segi citra, terbukti dengan kemenangan Golkar di pemilu 2004. Namun menurut Hanta sistemnya harus diperbaiki, yaitu dengan melibatkan kader dan konstituen partai dalam proses konvensi. Karena itu, konvensi yang demokratis dan transparan perlu didahului dengan pemilu pendahuluan (primary election) dilingkup internal partai yang bersangkutan. Hal ini untuk mengurangi potensi politik uang sekaligus untuk memutuskan rantai oligarki elite di partai. Sehingga harus dibuka kesempatan yang sama kepada seluruh kader maupun di luar kader untuk mendaftarkan diri. Konvensi ini menguntungkan konstituen dan anggota partai, karena kader atau anggota tak hanya dilibatkan dalam tahapan pemilihan (eleksi) tetapi juga mulai dari tahap seleksi di partai (konvensi).
Betapapun besarnya saran dari pengamat maupun dari internal Golkar sendiri agar Golkar melakukan konvensi, namun kondisi yang ada sekarang menunjukkan kecil kemungkinan Golkar akan kembali melakukan konvensi. Selain karena pengurus daerah sendiri sudah bulat mendukung Ical, kemungkinan bahwa Ical adalah satu-satunya tokoh Golkar yang cukup kuat baik dari segi permodalan maupun popularitas juga menjadi alasan penguat bahwa Golkar akan bulat menetapkan Aburizal Bakrie sebagai capres dari Golkar tanpa melalui konvensi.

KESIMPULAN

Pasca reformasi, Partai Golkar sebagai salah satu partai besar di Indonesia dalam dua penyelenggaraan pilpres terakhir selalu mengajukan capres sendiri. Metode yang digunakan Golkar dalam menjaring calon presiden antara lain adalah konvensi dan melalui Rapimnas. Metode konvensi yang diterapkan Golkar pada pilpres 2004 terbukti dipandang positif oleh masyarakat karena sangat demokratis dan mencerminkan perubahan paradigma Golkar. Namun konvensi ini dinilai terlalu memakan banyak biaya, berbelit-belit, serta rawan politik uang. Oleh karena itu pada pilpres 2009 metodenya pun diubah dengan mengadakan Rapimnas untuk memilih capres dari Golkar. Kemudian di kepengurusan Aburizal Bakrie sekarang, muncul wacana untuk tetap tidak memakai konvensi dan menggunakan survei sebagai tolok ukur kandidat capres mana yang akan diusung Golkar. Penolakan konvensi ini semakin diperkuat dengan adanya kebulatan pandangan di antara seluruh pengurus Golkar di daerah untuk mendukung Ical sebagai capres pada pilpres 2014.
Menurut penulis konvensi tetap merupakan metode yang paling baik untuk diterapkan Golkar dalam menjaring calon presiden. Sebab selain sangat demokratis, juga sangat mencerminkan aspirasi dari daerah dalam pemilihan calon presiden. Metode survei memang lebih mencerminkan aspirasi rakyat karena hasil survey adalah berdasarkan pendapat rakyat. Namun survei ini tak kurang mengandung kelemahan juga, antara lain bisa timbul masalah pada kredibilitas lembaga penyurvei dan juga validitas hasil survei. Selain itu dengan survei tentu kandidat yang menduduki posisi kunci di Golkar dan lebih populerlah yang berpeluang menang, terutama ketua umumnya. Sebab rakyat pastilah lebih mengenali ketua umum ketimbang kader-kader partai lainnya. Oleh karena itu proses yang demokratis tidak terjadi karena ada satu pihak yang dengan kedudukannya menghambat potensi pihak lain untuk unggul dalam survei. Mengenai politik uang, penulis rasa risikonya sama saja di semua metode yang mungkin digunakan Golkar. Semua metode tersebut rawan dengan politik uang. Oleh karena itu konvensi sebagai pilihan terbaik harus diawasi pelaksanaannya dari politik uang agar semua nilai demokratis yang tercermin dalam penyelenggaraan konvensi tidak jadi menguap karena adanya politik uang.

Senin, November 21, 2011

Konsep Ideal Perekrutan Hakim Mahkamah Agung (menurut saya)

Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Dari ketentuan tersebut dapat ditarik pengertian bahwa setiap tindakan dari pemerintah dan segala alat perlengkapan negara terhadap rakyatnya harus berdasarkan hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan oleh rakyat/wakilnya di dalam badan perwakilan rakyat. 

Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan ini kemudian berkembang menjadi suatu ajaran tentang pemisahan kekuasaan di antara berbagai cabang kekuasaan dalam suatu negara. Adanya pemisahan kekuasaan ini bertujuan agar kekuasaan tidak menumpuk di tangan satu pihak saja sehingga nantinya akan sangat berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak tersebut. Oleh karena itu kekuasaan dalam suatu negara musti dibagi ke berbagai lembaga negara untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan serta untuk menciptakan mekanisme saling kontrol di antara lembaga-lembaga yang memegang kekuasaan tersebut. Salah satu teori yang terkenal mengenai pemisahan kekuasaan ini adalah Trias Politika-nya Montesquieu, yang membagi kekuasaan dalam suatu negara itu ke dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif sebagai yang melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif yang menjalankan fungsi menghakimi. 

Negara Indonesia sedikit banyak menganut trias politika dalam sisem ketatanegaraannya. Cabang kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh DPR, cabang eksekutif dilaksanakan oleh presiden, sedangkan cabang yudikatif menurut pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Cabang yudikatif atau kekuasaan kehakiman adalah suatu hal yang penting dalam sebuah negara hukum, sebab salah satu prinsip penting negara hukum adalah penjaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 

Mahkamah Agung adalah muara dari semua peradilan di Indonesia dan merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada dalam keempat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Pada dasarnya MA ini adalah pengawal undang-undang di Indonesia (the guardian of Indonesian law). Berdasarkan pasal 24A UUD 1945, MA mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Wewenang lain yang dimaksudkan misalnya memberi pertimbangan kepada presiden dalam pemberian grasi dan rehabilitasi, dan lain-lain. 

Salah satu kewenangan MA yang patut dicermati adalah kewenangan MA dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan ini dikritisi oleh Jimly Asshiddiqie dengan mengemukakan empat alasan, yaitu: pertama, kewenangan ini mengesankan hanya sebagai tambahan perumusan terhadap materi UUD secara mudah dan tambal sulam, seakan-akan konsepsi hak menguji yang ada pada MA tidak turut terpengaruh dengan adanya hak uji yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Kedua, karena Indonesia pasca amandemen UUD 1945 menganut prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal, maka sudah seharusnya pemisahan antara materi UU dan materi peraturan di bawah undang-undang tidak dilakukan lagi. Ketiga, ada kemungkinan timbul perrtentangan antara putusan MA dengan putusan MK, misalnya Peraturan A dinyatakan tidak bertentangan dengan UU B, tapi oleh MK UU B itu dinyatakan bertentangan dengan UUD. Maka menurut Jimly sebaiknya sistem pengujian peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi diintegrasikan saja di bawah Mahkamah Konstitusi agar masing-masing mahkamah dapat memusatkan perhatian pada masalah yang berbeda, yaitu MA menangani persoalan keadilan dan ketidakadilan bagi warga negara, sedangkan MK menjamin konsitusionalitas seluruh peraturan perundang-undangan. Keempat, pembentukan MK dapat dijadikan sarana untuk mengurangi beban MA sehingga MA dapa mereformasi diri dan meningkatkan kinerjanya sebagai peradilan tertinggi di Indonesia. Selain itu hak menguji yang dipunyai MA dapat menimbulkan kekosongan hukum, sebab lembaga ini dapat membatalkan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang namun tidak berwenang membentuk peraturan yang baru. Karena itu sangat positif apabila kewenangan menguji yang dimiliki MA diserahkan saja kepada MK, karena selain dapat menjamin harmonisasi dan kesesuaian antara berbagai putusan pengujian peraturan perundang-undangan, juga memperjelas posisi masing-masing mahkamah tersebut dalam sistem peradilan di Indonesia. Yang tidak kalah penting adalah penghapusan kewenangan ini akan mengurangi beban perkara yang harus diselesaikan oleh MA, sebab seperti kita ketahui sebagai muara dari semua peradilan di Indonesia MA setiap tahunnya harus menyelesaikan tumpukan perkara yang karena saking banyaknya menyebabkan penyelesaiannya tidak selesai setelah bertahun-tahun. Pengurangan kewenangan MA ini akan meringankan beban MA dan membuat MA lebih fokus pada tugas utamanya sebagai lembaga peradilan yang menangani perkara pada tingkat kasasi. 

Undang-Undang No. 14/1985 jo UU No. 5/2004 tentang MA pada pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa susunan MA terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Ayat (2) menyatakan bahwa pimpinan dan hakim anggota MA adalah hakim agung, dan ayat (3) menentukan jumlah hakim agung maksimal 60 orang. Jumlah yang cukup banyak ini sudah sangat sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia saat ini yaitu sebagai sebuah negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda, tentu diperlukan jumlah hakim agung yang banyak pula untuk mengimbangi jumlah penduduk yang besar tadi. Selain itu di Indonesia sebagian besar pencari keadilan sangat gigih untuk memperjuangkan keadilan sampai tingkat kasasi sekalipun sudah dikalahkan pada tingkatan peradilan sebelumnya. Hal ini tentu mengakibatkan sangat banyak perkara pada tingkat kasasi yang masuk ke MA, dan tentu dengan jumlah hakim yang sedikit tidak akan efektif untuk menyelesaikan ribuan perkara yang menumpuk itu. Selain itu MA juga merupakan muara dari empat peradilan yang ada di bawahnya, sehingga ujung dari semua perkara tersebut akan masuk ke MA. Dengan begitu banyak dan beragamnya perkara yang harus ditangani MA, maka jumlah hakim agung yang mencapai 60 orang itu merupakan suatu ketentuan yang harus dipertahankan untuk mengantisipasi banyaknya perkara yang harus ditangani MA. 

Jika kita bandingkan dengan MA di Amerika Serikat misalnya, jumlah hakim agung di sana hanya sembilan orang. Namun hal demikian wajar dapat terjadi di AS, sebab kondisinya berbeda dengan Indonesia. Di AS jumlah penduduknya memang lebih besar lagi daripada Indonesia, tapi pencari keadilan di sana tidak dengan serta merta mengajukan semua perkara yang mereka hadapi sampai ke tingkat MA. Bagi pencari keadilan yang dikalahkan pada tingkat pertama memang dapat mengajukan banding pada pengadilan banding federal yang membawahi tiap-tiap negara bagian dan putusannya sudah bersifat final. Jika masih tidak puas memang masih dapat diajukan kasasi ke MA, namun tidak semuanya melainkan perkara yang benar-benar ada kaitannya dengan keamanan nasional maupun dengan lembaga kepresidenan. Oleh karena itu dapat dipahami jumlah hakim agung MA di AS yang jauh lebih sedikit ketimbang hakim agung di Indonesia, sebab sekalipun jumlah penduduk AS lebih besar daripada Indonesia namun jumlah perkara yang masuk ke MA tidak sebanyak di Indonesia. Hal ini terjadi karena memang ada kriteria tertentu dalam mengajukan kasasi di AS, dan karakter pencari keadilan di AS yang tidak seperti di Indonesia yang mana di Indonesia hampir semua perkara pasti diusahakan terus upaya hukumnya sampai tingkat kasasi. 

Calon hakim agung menurut pasal 6B ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3/2009 jo UU No. 5/2004 jo UU No. 14/1985 tentang MA berasal dari hakim karier dan non karier. Adanya calon hakim agung yang nonkarier ini diperlukan karena dibutuhkannya keahlian yang khusus dalam menyelesaikan dan memutus perkara di MA. Mengenai pengangkatan hakim agung sendiri sudah ditentukan aturannnya dalam pasal 24A ayat (3) UUD 1945. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya dilantik oleh presiden. Dengan demikian calon hakim agung yang diusulkan KY harus melalui dulu proses uji kelayakan di DPR. Ketentuan ini terkadang menimbulkan kontroversi, seperti yang terjadi ketika salah satu anggota DPR yaitu Gayus Lumbuun mencalonkan diri sebagai hakim agung. Pencalonan ini tentu menimbulkan konflik kepentingan ketika Gayus dites oleh rekan-rekannya sendiri di DPR. Dan hasilnya kemudian memang Gayus Lumbuun lolos uji kelayakan sebagai hakim agung. Keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan hakim agung memang sarat dengan kepentingan politis, dimana DPR tentu cenderung memilih calon hakim agung yang lunak menurut pandangan mereka. Sebagai akibatnya kekuasaan kehakiman di MA menjadi tidak merdeka dan independen lagi sebab kepentingan politik sudah turut bermain sejak dari proses pengangkatan hakim agung. Selain itu kinerja hakim agung juga akan memburuk sebab DPR memilih bukan berdasarkan hal-hal yang objektif seperti keahlian hukum calon bersangkutan melainkan berdasarkan kepentingan politis semata. Oleh karena itu sebaiknya peran DPR dalam pengangkatan hakim agung dihapuskan saja. Presiden melalui sebuah seleksi yang dilakukan oleh sebuah tim independen akan menyaring nama-nama calon hakim agung, lalu nama calon tersebut diajukan ke KY untuk diuji kelayakan. Setelah lolos maka calon tersebut akan dilantik oleh presiden. Dengan demikian pengangkatan hakim agung akan bersih dari kepentingan politis sebab dites oleh sebuah komisi independen yaitu KY. Semua itu tentu dengan catatan anggota KY musti sosok yang bersih dan independen pula sehingga uji kelayakan yang mereka lakukan akan berlangsung dengan objektif.



DAFTAR PUSTAKA

Fatmawati.2005.Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia.Jakarta:Raja Grafindo Persada
Henry P. Panggabean.2001.Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari.Jakarta:Pustaka Sinar Harapan
Jimly Asshiddiqie.2006.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II.Jakarta:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
--------.2006.Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih.1980.Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945.Jakarta:Gramedia
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim.Tanpa Tahun.Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Ni’matul Huda.2009.Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta:Raja Grafindo Persada

Sabtu, Maret 26, 2011

komentar tentang keterlibatan PBB dalam kasus libia

Apa yang terjadi di Libya saat ini sangat menarik perhatian dunia internasional. Demonstrasi dan pemberontakan rakyat untuk menggulingkan rezim Moammar Khaddafi yang telah berkuasa selama kurang lebih 41 tahun, telah memakan ribuan korban jiwa. Tindakan represif dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi pemberontakan ini, sementara itu pasukan koalisi yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis telah pula menyerang balik pasukan Khadafi ini dengan dalih menjaga zona larangan terbang yang telah ditetapkan oleh PBB.

Pemberontakan rakyat Libya ini dapat dikatakan sebagai efek domino dari kejadian serupa yang terjadi di banyak negara-negara timur tengah belakangan ini. Dimulai dari Tunisia, Mesir, dan sekarang merembet ke Libya, Bahrain, yaman, dan lain-lain. Motif dari kesemua demonstrasi itu pada dasarnya sama, yaitu menggulingkan pemerintah yang berkuasa di masing-masing negara, yang mana pemimpin dari negara-negara tersebut sebagian besar sudah menjabat selama berpuluh tahun dan cenderung menjadi diktator di negaranya. Maka demi pembaharuan mereka pun melakukan demonstrasi agar pemerintahan yang berkuasa dapat digulingkan.

Di Libya, demonstrasi yang telah menelan banyak korban jiwa ini sampai membuat PBB terlibat dalam proses penyelesaian konflik ini. Menarik untuk mengamati keterlibatan PBB dalam penyelesaian konflik Libya ini, sebab sesungguhnya konflik Libya ini adalah konflik internal antara rezim Khadafi dengan rakyat yang berunjuk rasa, sehingga seharusnya hanya pemerintah Libya sendiri yang menyelesaikan urusan ini, tanpa ada campur tangan dari pihak luar tanpa diminta. Ini berkaitan juga dengan kedaulatan suatu negara, dimana untuk menegakkan pemerintahannya suatu negara berhak dan wajib memberantas setiap pemberontakan di negara tersebut. Maka tulisan ini akan mencoba sedikit mengomentari keterlibatan PBB dalam penyelesaian konflik Libya ini.

Jika alasan PBB untuk ikut serta dalam proses penyelesaian konflik ini adalah karena adanya suatu pelanggaran HAM, maka kita perlu mengetahui dulu apakah PBB memang berhak turut terlibat dalam penyelesaian suatu pelanggaran HAM di suatu negara, menurut ketentuan yang ada, PBB berwenang menangani suatu kasus pelanggaran HAM jika itu berupa suatu kejahatan HAM berat, seperti kejahatan kemanusiaan dalam perang maupun adanya suatu genosida atau pemusnahan suatu ras/etnis tertentu. Contohnya kasus genosida yang dilakukan Serbia terhadap etnis Bosnia, disini PBB berhak untuk ikut masuk menyelesaikan kasus itu. Lalu pertanyaannya, apakah yang terjadi di Libya ini sudah memenhi keadaan tersebut. Sebab di Libya yang sesungguhnya terjadi adalah adanya suatu penumpasan pemberontakan menggulingkan pemerintah, bukannya suatu genosida maupun kejahatan perang.

Kemudian, sekiranya memang kasus Libya itu sudah memenuhi kriteria untuk ditangani PBB, maka seharusnya tidak bisa langsung diserahkan kepada PBB. Menurut ketentuan, jika terjadi suatu pelanggaran HAM berat di suatu negara yang dapat berimbas pada keamanan dan perdamaian di negara tetangganya maupun di regional sekeliling negara tersebut, maka sebelum diselesaikan oleh PBB konflik tersebut musti diselesaikan dulu di tingkat regional, jika tidak ditemui jalan keluar baru dimintakan bantuan kepada PBB. Dalam konflik Libya ini, seharusnya Liga Arab sebagai organisasi regional yang menaungi wilayah Libya menyelesaikan terlebih dahulu kasus ini di tingkat regional. Namun Liga Arab malah langsung menyerahkan konflik Libya ini kepada PBB dengan meminta agar dibuatkan zona larangan terbang di wilayah udara Libya.
Kemudian berkaitan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB, seharusnya untuk mengeluarkan resolusi maka harus disetujui oleh 2/3 dari seluruh anggota DK PBB, tanpa ada yang abstain dan tanpa ada yang memveto. Namun dalam kasus ini justru ada abstain dari Cina dan Rusia mengenai tindakan PBB terhadap Libya ini. Alasan mereka adalah adanya klausula yang memperbolehkan pasukan PBB untuk melakukan segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka mengamankan zona larangan terbang tersebut. Klausula ini mereka anggap rawan disalahgunakan, karena itu china dan Rusia kemudian lebih memilih abstain. dan kemudian ternyata memang terbukti pasukan koalisi menggunakan klausula ini untuk membombardir beberapa daerah di Tripoli termasuk kediaman Khadafi dengan dalih menjaga zona larangan terbang. 

Kemudian patut diperhatikan tindakan AS dan Inggris yang begitu cepat memasuki wilayah Libya dengan mengatakan mewakili PBB. Padahal jika PBB sudah mengeluarkan resolusi untuk ikut serta menyelesaikan konflik di suatu negara, maka harus segera dibentuk suatu pasukan gabungan yang terdiri dari berbagai negara untuk dikirimkan ke negara itu. Dalam hal ini AS dan Inggris jelas menyalahi, karena mereka mengklaim mewakili PBB dalam penyelesaian konflik Libya. Padahal untuk hal ini harus ada suatu pasukan gabungan yang tidak hanya terdiri dari dua negara saja.

Jika kita lihat, tentu cepatnya reaksi AS dan Inggris ada kaitannya dengan kekayaan yang terdapat di bumi Libya. Ya, cadangan minyak bumi yang tersimpan begitu banyak di Libya membuat AS tergiur untuk menguasainya. Mereka mengulangi apa yang mereka lakukan sekitar 8 tahun lalu, yaitu menyerang Irak. Memang minyak bumi adalah magnet yang paling kuat menarik bangsa-bangsa di dunia ini, sebab mempunyai uang dan minyak adalah berarti menguasai dunia. Dan hal inilah yang coba dikejar oleh AS dan sekutunya dengan memanfaatkan konflik di Libya ini, dengan juga membawa-bawa nama PBB, demi kepentingan terselubung mereka berkaitan dengan sumber daya minyak Libya yang melimpah itu.