Senin, November 21, 2011

Konsep Ideal Perekrutan Hakim Mahkamah Agung (menurut saya)

Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Dari ketentuan tersebut dapat ditarik pengertian bahwa setiap tindakan dari pemerintah dan segala alat perlengkapan negara terhadap rakyatnya harus berdasarkan hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan oleh rakyat/wakilnya di dalam badan perwakilan rakyat. 

Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan ini kemudian berkembang menjadi suatu ajaran tentang pemisahan kekuasaan di antara berbagai cabang kekuasaan dalam suatu negara. Adanya pemisahan kekuasaan ini bertujuan agar kekuasaan tidak menumpuk di tangan satu pihak saja sehingga nantinya akan sangat berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak tersebut. Oleh karena itu kekuasaan dalam suatu negara musti dibagi ke berbagai lembaga negara untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan serta untuk menciptakan mekanisme saling kontrol di antara lembaga-lembaga yang memegang kekuasaan tersebut. Salah satu teori yang terkenal mengenai pemisahan kekuasaan ini adalah Trias Politika-nya Montesquieu, yang membagi kekuasaan dalam suatu negara itu ke dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif sebagai yang melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif yang menjalankan fungsi menghakimi. 

Negara Indonesia sedikit banyak menganut trias politika dalam sisem ketatanegaraannya. Cabang kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh DPR, cabang eksekutif dilaksanakan oleh presiden, sedangkan cabang yudikatif menurut pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Cabang yudikatif atau kekuasaan kehakiman adalah suatu hal yang penting dalam sebuah negara hukum, sebab salah satu prinsip penting negara hukum adalah penjaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 

Mahkamah Agung adalah muara dari semua peradilan di Indonesia dan merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada dalam keempat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Pada dasarnya MA ini adalah pengawal undang-undang di Indonesia (the guardian of Indonesian law). Berdasarkan pasal 24A UUD 1945, MA mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Wewenang lain yang dimaksudkan misalnya memberi pertimbangan kepada presiden dalam pemberian grasi dan rehabilitasi, dan lain-lain. 

Salah satu kewenangan MA yang patut dicermati adalah kewenangan MA dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan ini dikritisi oleh Jimly Asshiddiqie dengan mengemukakan empat alasan, yaitu: pertama, kewenangan ini mengesankan hanya sebagai tambahan perumusan terhadap materi UUD secara mudah dan tambal sulam, seakan-akan konsepsi hak menguji yang ada pada MA tidak turut terpengaruh dengan adanya hak uji yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Kedua, karena Indonesia pasca amandemen UUD 1945 menganut prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal, maka sudah seharusnya pemisahan antara materi UU dan materi peraturan di bawah undang-undang tidak dilakukan lagi. Ketiga, ada kemungkinan timbul perrtentangan antara putusan MA dengan putusan MK, misalnya Peraturan A dinyatakan tidak bertentangan dengan UU B, tapi oleh MK UU B itu dinyatakan bertentangan dengan UUD. Maka menurut Jimly sebaiknya sistem pengujian peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi diintegrasikan saja di bawah Mahkamah Konstitusi agar masing-masing mahkamah dapat memusatkan perhatian pada masalah yang berbeda, yaitu MA menangani persoalan keadilan dan ketidakadilan bagi warga negara, sedangkan MK menjamin konsitusionalitas seluruh peraturan perundang-undangan. Keempat, pembentukan MK dapat dijadikan sarana untuk mengurangi beban MA sehingga MA dapa mereformasi diri dan meningkatkan kinerjanya sebagai peradilan tertinggi di Indonesia. Selain itu hak menguji yang dipunyai MA dapat menimbulkan kekosongan hukum, sebab lembaga ini dapat membatalkan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang namun tidak berwenang membentuk peraturan yang baru. Karena itu sangat positif apabila kewenangan menguji yang dimiliki MA diserahkan saja kepada MK, karena selain dapat menjamin harmonisasi dan kesesuaian antara berbagai putusan pengujian peraturan perundang-undangan, juga memperjelas posisi masing-masing mahkamah tersebut dalam sistem peradilan di Indonesia. Yang tidak kalah penting adalah penghapusan kewenangan ini akan mengurangi beban perkara yang harus diselesaikan oleh MA, sebab seperti kita ketahui sebagai muara dari semua peradilan di Indonesia MA setiap tahunnya harus menyelesaikan tumpukan perkara yang karena saking banyaknya menyebabkan penyelesaiannya tidak selesai setelah bertahun-tahun. Pengurangan kewenangan MA ini akan meringankan beban MA dan membuat MA lebih fokus pada tugas utamanya sebagai lembaga peradilan yang menangani perkara pada tingkat kasasi. 

Undang-Undang No. 14/1985 jo UU No. 5/2004 tentang MA pada pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa susunan MA terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Ayat (2) menyatakan bahwa pimpinan dan hakim anggota MA adalah hakim agung, dan ayat (3) menentukan jumlah hakim agung maksimal 60 orang. Jumlah yang cukup banyak ini sudah sangat sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia saat ini yaitu sebagai sebuah negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda, tentu diperlukan jumlah hakim agung yang banyak pula untuk mengimbangi jumlah penduduk yang besar tadi. Selain itu di Indonesia sebagian besar pencari keadilan sangat gigih untuk memperjuangkan keadilan sampai tingkat kasasi sekalipun sudah dikalahkan pada tingkatan peradilan sebelumnya. Hal ini tentu mengakibatkan sangat banyak perkara pada tingkat kasasi yang masuk ke MA, dan tentu dengan jumlah hakim yang sedikit tidak akan efektif untuk menyelesaikan ribuan perkara yang menumpuk itu. Selain itu MA juga merupakan muara dari empat peradilan yang ada di bawahnya, sehingga ujung dari semua perkara tersebut akan masuk ke MA. Dengan begitu banyak dan beragamnya perkara yang harus ditangani MA, maka jumlah hakim agung yang mencapai 60 orang itu merupakan suatu ketentuan yang harus dipertahankan untuk mengantisipasi banyaknya perkara yang harus ditangani MA. 

Jika kita bandingkan dengan MA di Amerika Serikat misalnya, jumlah hakim agung di sana hanya sembilan orang. Namun hal demikian wajar dapat terjadi di AS, sebab kondisinya berbeda dengan Indonesia. Di AS jumlah penduduknya memang lebih besar lagi daripada Indonesia, tapi pencari keadilan di sana tidak dengan serta merta mengajukan semua perkara yang mereka hadapi sampai ke tingkat MA. Bagi pencari keadilan yang dikalahkan pada tingkat pertama memang dapat mengajukan banding pada pengadilan banding federal yang membawahi tiap-tiap negara bagian dan putusannya sudah bersifat final. Jika masih tidak puas memang masih dapat diajukan kasasi ke MA, namun tidak semuanya melainkan perkara yang benar-benar ada kaitannya dengan keamanan nasional maupun dengan lembaga kepresidenan. Oleh karena itu dapat dipahami jumlah hakim agung MA di AS yang jauh lebih sedikit ketimbang hakim agung di Indonesia, sebab sekalipun jumlah penduduk AS lebih besar daripada Indonesia namun jumlah perkara yang masuk ke MA tidak sebanyak di Indonesia. Hal ini terjadi karena memang ada kriteria tertentu dalam mengajukan kasasi di AS, dan karakter pencari keadilan di AS yang tidak seperti di Indonesia yang mana di Indonesia hampir semua perkara pasti diusahakan terus upaya hukumnya sampai tingkat kasasi. 

Calon hakim agung menurut pasal 6B ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3/2009 jo UU No. 5/2004 jo UU No. 14/1985 tentang MA berasal dari hakim karier dan non karier. Adanya calon hakim agung yang nonkarier ini diperlukan karena dibutuhkannya keahlian yang khusus dalam menyelesaikan dan memutus perkara di MA. Mengenai pengangkatan hakim agung sendiri sudah ditentukan aturannnya dalam pasal 24A ayat (3) UUD 1945. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya dilantik oleh presiden. Dengan demikian calon hakim agung yang diusulkan KY harus melalui dulu proses uji kelayakan di DPR. Ketentuan ini terkadang menimbulkan kontroversi, seperti yang terjadi ketika salah satu anggota DPR yaitu Gayus Lumbuun mencalonkan diri sebagai hakim agung. Pencalonan ini tentu menimbulkan konflik kepentingan ketika Gayus dites oleh rekan-rekannya sendiri di DPR. Dan hasilnya kemudian memang Gayus Lumbuun lolos uji kelayakan sebagai hakim agung. Keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan hakim agung memang sarat dengan kepentingan politis, dimana DPR tentu cenderung memilih calon hakim agung yang lunak menurut pandangan mereka. Sebagai akibatnya kekuasaan kehakiman di MA menjadi tidak merdeka dan independen lagi sebab kepentingan politik sudah turut bermain sejak dari proses pengangkatan hakim agung. Selain itu kinerja hakim agung juga akan memburuk sebab DPR memilih bukan berdasarkan hal-hal yang objektif seperti keahlian hukum calon bersangkutan melainkan berdasarkan kepentingan politis semata. Oleh karena itu sebaiknya peran DPR dalam pengangkatan hakim agung dihapuskan saja. Presiden melalui sebuah seleksi yang dilakukan oleh sebuah tim independen akan menyaring nama-nama calon hakim agung, lalu nama calon tersebut diajukan ke KY untuk diuji kelayakan. Setelah lolos maka calon tersebut akan dilantik oleh presiden. Dengan demikian pengangkatan hakim agung akan bersih dari kepentingan politis sebab dites oleh sebuah komisi independen yaitu KY. Semua itu tentu dengan catatan anggota KY musti sosok yang bersih dan independen pula sehingga uji kelayakan yang mereka lakukan akan berlangsung dengan objektif.



DAFTAR PUSTAKA

Fatmawati.2005.Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia.Jakarta:Raja Grafindo Persada
Henry P. Panggabean.2001.Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari.Jakarta:Pustaka Sinar Harapan
Jimly Asshiddiqie.2006.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II.Jakarta:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
--------.2006.Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih.1980.Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945.Jakarta:Gramedia
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim.Tanpa Tahun.Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Ni’matul Huda.2009.Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta:Raja Grafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar