Senin, September 23, 2013

Rangkaian Hasil Pertandingan yang Menyenangkan di 22 September 2013

Minggu 22 September 2013 rupanya menjadi minggu yang menyenangkan bagi saya ditinjau dari segi hasil pertandingan tim sepakbola yang saya dukung.

Dimulai dari tim nasional Indonesia di bawah usia 19 tahun yang bermain di partai final AFF U-19 Championship melawan Timnas U-19 Vietnam. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Delta Sidoarjo itu betul-betul berjalan sangat seru dan menarik, hingga menit demi menit terasa begitu cepat berlalu. Permainan bola begitu mengalir cepat, stamina kedua tim khususnya tim Indonesia bak tenaga kuda yang tak habis-habis membongkar pertahanan lawan. Pressing ketat pemain Vietnam selama 90 menit membuat bola sering dengan cepat direbut oleh mereka. Kedua belah pihak saling silih berganti membuat peluang emas yang masih belum bisa dikonversi menjadi gol. Skor 0-0 hingga waktu normal berakhir. Sayang stamina Vietnam kedodoran di babak perpanjangan waktu, sehingga di 2x15 menit permainan tidak semenarik pertandingan di waktu normal karena Vietnam terlalu fokus bertahan. Karena skor 0-0 bertahan hingga akhir babak perpanjangan waktu, maka dimainkanlah adu penalti. Di adu penalti, Indonesia sempat tertinggal 3x karena ada beberapa eksekutor timnas yang gagal memasukkan bola. Namun di saat-saat kritis itu para pemain muda kita ini tetap fokus dan tenang, sehingga keadaan tertinggal itu bisa dinetralisir (melalui penampilan gemilang kiper Ravi) dan skor pun disamakan, hingga akhirnya penendang kesembilan dari Vietnam gagal dan penendang kesembilan dari Indonesia sukses menjaringkan bola hingga Indonesia dinyatakan menang adu penalti 7-6. Indonesia pun menjuarai Piala AFF U-19 untuk pertama kalinya.

Ya memang seumur hidup saya baru kali ini saya melihat tim nasional sepakbola Indonesia mengangkat piala di kejuaraan resmi sepakbola antarnegara. Fakta bahwa Indonesia terakhir kali merebut gelar juara sepakbola di tahun 1991 di ajang SEA Games menguatkan ini. Tahun itu saya baru 1 tahun hadir di dunia sehingga tak akan mengerti bahwa di tahun itu tim sepakbola Indonesia juara. Setelah mulai menggemari sepakbola, dari tahun ke tahun saya tak pernah menyaksikan Indonesia berselebrasi merayakan trofi kejuaraan resmi, di semua tingkatan usia tim, apakah kelompok umur ataupun tim senior. Paling banter dan paling sering saya lihat Indonesia hanya sampai di final, kalah dan menjadi runner up, dan tragisnya kadang-kadang kekalahan itu menjadi antiklimaks sebab selama perjalanan di fase-fase awal hingga semifinal perjalanan timnas begitu mulus. Tapi di hari ini ternyata timnas muda tidak antiklimaks, justru mereka meraih klimaksnya dengan mampu menjaga stamina dan lebih-lebih menjaga mental mereka hingga akhirnya drama adu penalti yang sering menjadi momok bagi timnas di masa lalu bisa dimenangkan di hari ini dengan gemilang. Salut untuk seluruh skuad U-19 dan pelatih Indra Sjafri yang mampu menjaga kekompakan dan stabilitas mental para pemain.

Pertandingan yang berkesan, tak hanya karena permainan yang seru dan mendebarkan, tapi juga tingkah komentator pertandingan MNC TV yang atraktif dan sangat ekspresif. Si komentator berdarah Batak itu selain menjadi komentator rupanya di saat yang sama ketika memandu acara juga merangkap profesi-profesi lain. Misalnya merangkap menjadi pendeta, karena dia berulang kali mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk mendoakan agar peluang yang diperoleh Indonesia bisa berbuah gol dan kemenangan. Selain itu dia juga merangkap menjadi motivator, karena selama memandu dia sempat beberapa kali mengutip kata-kata mutiara dan petuah dari para pejuang/pahlawan nasional RI yang memang sangat cocok untuk disebarkan ke pemirsa karena momennya pas, yaitu momen ketika timnas lagi berjuang mengharumkan nama bangsa. Entah darimana dia ambil kutipan-kutipan pahlawan itu, mungkin dia browsing atau ada yang menginformasiikan ke dia, yang jelas kendati para pemain tak mungkin mendengar kata-kata mutiara itu, paling tidak pemirsa yang mendengar kata mutiara itu menjadi tergerak rasa nasionalismenya dan makin membuat jiwa pemirsa semakin terpacu untuk mendukung timnas. Selain itu, si komentator juga merangkap menjadi dukun, ini karena dia kedapatan berulang kali berteriak "jebret" tiap kali ada peluang emas yang didapatkan oleh tim Indonesia. Karena dia berulang-ulang menyebut jebret maka lama-lama ucapan itu jadi terdengar seperti rapalan mantra, dan kemudian efektif karena kata-kata jebret di babak adu penalti (digunakan ketika bola eksekusi pemain Indonesia gol) ternyata sukses mengantarkan Indonesia menjadi juara. Ya semua itu tentu sangat bagus dan kita perlu acungkan jempol kepada komentator tadi, karena dengan segala spontanitas, ekspesi, dan emosi yang dia tunjukkan selama memandu acara, mampu memberi kesan kepada kita bahwa si komentator betul-betul mendukung total timnas Indonesia dan sangat tulus mencintai timnas apa adanya.

Selain hasil timnas, minggu yang menyenangkan ini juga ditandai dengan kekalahan telak Manchester United 1-4 dari Manchester City di Liga Inggris. Walaupun saya bukan fans City tapi saya tak terlalu senang dengan MU sehingga ketika dia kalah telak hari ini, saya merasa berbahagia. Apalagi kekalahan telak itu diwarnai drama 3 gol City dalam 5 menit. Luar biasa.

Sebagai penutup adalah kemenangan telak tim kesayangan saya AS Roma dalam Derby Della Capitale. Roma menang 2-0 atas tim sekota yang tak perlu saya sebutkan namanya, dan ini menjamin posisi Roma di urutan kedua klasemen serie-A selama seminggu ke depan (bahkan Roma bisa menduduki capolista alias pemuncak klasemen jika Napoli kalah dari AC Milan malam ini). Kemenangan ini jadi pemuas dahaga karena sudah agak lama Roma tidak menang atas rival beratnya ini. Ya walaupun DDC dengan skor 2-0 itu tak disiarkan live di TVRI karena bentrok dengan siaran pembukaan Islamic Solidarity Games di Palembang oleh Presiden RI, tetap saja kemenangan ini membuat hati para romanista senang. Terima kasih Balzaretti, terima kasih Ljajic, terima kasih Rudi Garcia, terima kasih Giallorossi.

Minggu yang menyenangkan bukan?

Minggu, September 22, 2013

Diktator Rating

Sebuah opini menarik di harian Kompas yang membahas mengenai bagaimana kuatnya pengaruh "Rating" sehingga mampu mendikte isi siaran dari stasiun televisi swasta yang memakai frekuensi milik publik. Ini dia.



Isi Televisi dan Diktator “Rating”

Oleh : Amir Effendi Siregar (Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media; Dosen Komunikasi UII)


Pemilik dan pengelola televisi sering menjamin keragaman isi (diversity of content) meskipun terjadi konsentrasi kepemilikan dan sentralisasi penyiaran. Benarkah demikian?


Saat Idul Fitri lalu, secara nyata kita melihat pemberitaan mudik dari Jakarta ke daerah, terutama di Jawa, porsinya sangat besar. Berita ini sebenarnya tak bermakna bagi penonton televisi di Medan, kecuali sebagai hiburan. Azan Maghrib waktu Jakarta berkumandang di Yogyakarta yang waktu Maghrib-nya telah lewat. Sinetron dengan isi dan genre yang sama, kita lihat setiap hari. Mana keragaman itu?


Menurut Nielsen, penetrasi televisi di Indonesia 94 persen dan dikutip banyak pihak. Ini misleading karena angka ini diperoleh dari penetrasi di beberapa kota besar saja, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Yogyakarta, Denpasar, dan Palembang (Media Scene, 2012/2013).


Televisi swasta di Indonesia baru menjangkau 81 persen penduduk dan penduduk yang mempunyai akses 67 persen. Itu berarti sekitar 130 juta penduduk (Media Scene, 2012/2013). TVRI belum bisa diharapkan. Mayoritas stasiun televisi swasta---sekitar 200 dari 300---dikuasai 10 stasiun televisi Jakarta/nasional yang mendasarkan programnya kepada rating dari Nielsen tanpa lembaga pembanding.


Survei “rating”


Saat membuat rating program televisi, Nielsen mensurvei 10 kota besar yang penduduknya 48.573.782, yaitu 1. Jakarta (58,61 persen), 2. Surabaya (16,66 persen), 3. Yogyakarta (4,59 persen), 4. Bandung (4,53 persen), 5. Medan (3,86 persen), 6. Palembang (2,83 persen), 7. Semarang (3,05 persen), 8. Makassar (2,59 persen), 9. Denpasar (2,05 persen), dan 10. Banjarmasin (1,22 persen). Sampel berjumlah 8.288 orang, dengan Jakarta terbesar.


Menurut Nielsen, program hiburan paling diminati. Sebagai contoh, inilah delapan besar program paling diminati : 1. Tukang Bubur Naik Haji (RCTI), 2. X Factor (RCTI), 3. Berkah (RCTI), 4. On The Spot (Trans 7), 5. Raden Kian Santang (MNC TV), 6. SCTV Music Awards, 7. Opera Van Java (Trans 7), 8. Cinta 7 Susun (RCTI).


Di mana posisi program news? Terlempar jauh. Di peringkat 73. Liputan 6 Siang (SCTV), 78. Liputan 6 Petang (SCTV), 83. Sekilas Info (RCTI), 87. Kabar Kabari (RCTI), 97. Insert Investigasi (Trans), 125. Reportase Sore (Trans), 140. Seputar Indonesia (RCTI), 220. Lawyers Club (TV One), 223. Topik Petang (ANTV), 256. Apa Kabar Indonesia (TV One), 488. Primetime News (Metro TV) (Nielsen 28/4/2013 hingga 4/5/2013). Rating menjadi “dewa” pedoman program siaran karena terkait dengan iklan.


Market share sepuluh stasiun televisi adalah 1. RCTI (19,5 persen), 2. SCTV (15,9 persen), 3. Trans 7 (12,0 persen), 4. Trans (10,4 persen), 5. MNC TV (10,3 persen), 6. IVM (7,8 persen), 7. Global TV (6,7 persen), 8. ANTV (6 persen), 9. TV One (4,9 persen), 10. Metro TV (1,8 persen).


Selanjutnya studi Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), antara lain, menyimpulkan, praktik oligopoli media meletakkan media sebagai lembaga profit yang mudah dibentuk dan diarahkan oleh kepentingan pemilik, termasuk memperoleh kekuasaan. Isi berorientasi dan terpusat kepada Jakarta dan bersifat homogen.


Homogenitas ini memperlihatkan bahwa masyarakat dianggap semata-mata sebagai konsumen daripada kelompok yang mempunyai hak-hak. Ini berbahaya buat demokrasi dan perlu gerakan masyarakat sipil mengontrol dan memperbaiki kondisi ini (Yanuar, 2013).


Isi stasiun televisi swasta lebih melayani penduduk urban, bersifat hiburan, seragam, dan menghambat proses demokratisasi yang menuntut keragaman.


Solusi


Dalam seminar Komisi Penyiaran Indonesia akhir Juni lalu, Nina Armando mengatakan bahwa program dengan rating paling tinggi justru paling banyak melanggar pedoman perilaku penyiaran dan diadukan masyarakat. seminar mengusulkan agar Nielsen memperluas jumlah kota yang menjadi sampel. Pengelola televisi diharapkan memperbaiki program dengan memperhatikan kepentingan publik dan perlu lembaga rating baru yang dibiayai negara sebagai pembanding Nielsen.


Usulan tersebut bagus, tapi tidak memadai. Tanpa mengubah sistem penyiaran yang terkosentrasi dan tersentralisasi saat ini, perubahan isi sulit dilakukan. Jadi, langkah awal yang perlu adalah membangun sistem penyiaran yang membatasi kepemilikan dan membangun sebuah sistem siaran berjaringan. Bisa bersiaran luas menjangkau wilayah nasional, tetapi harus melalui stasiun lokal sehingga punya isi nasional dan juga lokal.
 Ini akan memicu kelahiran banyak lembaga rating lokal. Selanjutnya, memang diperlukan lembaga rating alternatif yang dibiayai negara. Lembaga ini bisa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).


Lembaga penyiaran komunitas dan lembaga penyiaran publik seperti TVRI harus diberdayakan. Di negara demokrasi semua lembaga penyiaran memang harus diatur berdasarkan prinsip keragaman kepemilikan dan isi. Semoga semua ini bisa menjadi masukan untuk pembahasan RUU Penyiaran, termasuk RUU Radio dan Televisi RI.

***
Dimuat di Harian Kompas edisi Sabtu 14 September 2013



Selasa, September 17, 2013

Mempertanyakan Ketepatan dan Kecepatan Berita Media Daring Arus Utama

Di harian Kompas hari Kamis lalu, ada sebuah opini menarik dari seorang penggiat media Indonesia, mengenai berita-berita dari media online mainstream. Check this out.



Memilih Media
Oleh : Fredy Wansyah (Mantan Editor “Online” dan Penggiat Indonesia Media Watch)

Jika harus memilih media cetak atau online, saya akan pilih media cetak sebagai media informasi saya. Walaupun media online terbilang gratis bersyarat, cukup punya telepon pintar, sementara untuk baca media cetak, uang harus tersedia manakala ingin membacanya lebih leluasa.

Alasannya mudah saja: membaca berita di media online harus mengernyitkan alis. Seperti judul berita yang saya kutip dari media online berjargon tercepat, Detik.com berikut ini : “Mudik Gratis Pemotor Masih Tersedia, Ayo Mendaftar!” (Minggu, 21 Juli 2013). Persoalan serupa juga terjadi pada judul berita yang saya kutip dari Tribunnews.com berikut ini, “Arya Wiguna Tak Merasa Cintanya Ditolak Pesinetron Rosnita” (Senin, 10 Juni 2013).

Persoalan imbuhan pe- di atas hanya salah satu dari sekian banyak persoalan. Persoalan tanda baca, persoalan istilah, persoalan gramatika yang menyebabkan makna ambigu, persoalan diksional agar eyecatching semata, hingga persoalan teknis.

Dalam tugas kecil, saya---melalui Indonesia Media Watch, akhir 2012---mendapati hampir separuh dari keseluruhan judul berita media online yang tayang pada satu hari mengalami kesalahan. Tingkat tertinggi ialah kesalahan teknis, salah ketik.

Tanda baca menjadi kesalahan terbesar setelah kesalahan teknis. Pada suatu kata seharusnya dibubuhi kutip dua atas, justru dibubuhi kutip satu atas. Sekedar contoh kecil, simak judul yang dimuat di Detik.com berikut : Menengok Pulau ‘Rp.1000’ yang Gunakan Listrik Pintar.

Bahasa jadi penanda

Di dalam pemberitaan media online, kecepatan seakan menjadi tuhan. Sama halnya seperti media elektronik. Wartawan harus mengutamakan kecepatan di atas segalanya. Kecepatan menjadi nilai jual dan daya tarik dibandingkan dengan media ragam lainnya sehingga wartawannya diminta bekerja mengutamakan kecepatan. Begitu peristiwa berlangsung semenit yang lalu, berita harus segera termuat di media online. Seakan realtime. Keunggulan media online mainstream saat ini tersohor dengan gaya kecepatannya menyajikan berita.

Mengombinasikan kecepatan dengan ketepatan itu sulit. Seumpama naik kendaraan di jalan raya, kecepatan sangat berpotensi mengabaikan rambu-rambu lalu lintas. Potensi kecelakaan itu tinggi. Rambu-rambu itu analog dari bahasa dan etika jurnalisme. Di sanalah bahasa menjadi abai manakala kecepatan harus diutamakan sehingga ketepatan bahasa dan instrumen bahasanya diabaikan.

Bahasa adalah identitas. Bahasa menjadi tanda “siapa” dan “bagaimana” penutur bahasa tersebut. Bukan sekadar penutur individu, melainkan kelompok dan kelembagaan.

Bisa diketahui cara pikir seseorang melalui penggunaan bahasanya. Apabila ia sering menggunakan kata berkonotasi negatif, sudah barang tentu pikirannya dipenuhi cara pikir yang negatif pula. Apabila seseorang berucap secara rapi dan sistematis uraiannya, sudah barang tentu ia rapi dan sistematis pula dalam menyikapi beragam persoalan dalam kehidupannya. Begitulah memahami penggunaan bahasa oleh suatu lembaga.

Di dalam agama Islam ada perintah, jika kamu berteman dengan pedagang parfum, kamu akan terkena aroma parfum. Begitu pula dalam penentuan media mana yang layak dibaca.


 * Dimuat di Kompas edisi Kamis 12 September 2013

Jumat, September 13, 2013

Tentang lagu Aek Sibulbulon

Jika anda pernah melihat siaran Deli TV (TV lokal di Sumatera Utara, jaringannya Sindo TV) barangkali anda pernah menonton program khusus yang menayangkan klip-klip lagu-lagu etnik lokal Sumut di stasiun ini. Terutama etnik Melayu, Batak Toba, Karo, Mandailing. Biasanya program ini tayang di sore hari, saya tak ingat persis antara pukul 15.30 atau pukul 16.30, pokoknya antara dua itulah.

Yang menarik bagi saya adalah musik tema program ini, yaitu semacam "potongan lagu" yang diperdengarkan baik waktu opening program maupun ketika akan jeda iklan dan re-opening program pasca iklan. Musik itu berupa potongan lagu yang saya tebak adalah sebuah lagu gondang batak modern. Musiknya terdengar "batak sekali" sehingga sangat pas jika ditempatkan sebagai "lagu tema" untuk program ini.

Karena saya tak tahu apa judul lagunya dan siapa artis dari lagu gondang batak itu, maka saya pun seperti biasa mencari tahu di internet. Melalui penelusuran di situs Youtube, didapatlah informasi bahwa lagu tersebut berjudul "Aek Sibulbulon" yang dibawakan oleh seorang musisi Batak yang cukup familiar dalam dunia "pergondangan", yaitu Posther Sihotang. Posther ini diketahui telah mengeluarkan beberapa album gondang batak, termasuk album yang berisi lagu Aek Sibulbulon ini. Adapun untuk penata musik lagu ini bernama Andolin Sibuea.

Terus terang saya cukup suka dengan musik gondang batak modern, walaupun saya sama sekali bukan orang Batak. Tapi karena saya pada dasarnya memang senang dengan musik etnik, maka musik gondang ini pun sangat saya gemari. Yang paling kentara dari musik gondang ini (dan sebenarnya juga ada pada lagu-lagu batak lainnya) adalah suasana ataupun nuansa yang mampu diciptakan setiap kali lagu-lagu jenis ini diputar. Setiap lagu Batak terdengar, bagi saya pribadi seakan-akan suasana di sekitar Tanah Batak itu hadir di diri saya saat itu. Saya seakan-akan berpindah ke daerah Tapanuli sekitarnya, dengan alamnya yang sejuk itu. Barangkali sensasi seperti ini bisa muncul di saya karena saya lumayan sering pulang pergi melewati daerah Tapanuli untuk keperluan pendidikan, sudah sering menyaksikan alam, penduduk, dan suasananya, sehingga sensasi seperti ini pun menjadi wajar.

Kembali ke lagu Aek Sibulbulon yang dibawakan Posther. Lagu berdurasi sekitar 6 menit yang diciptakan oleh Marco Sitompul ini diawali dengan semacam "kata pengantar" dari Posther (?). Saya yang tak mengerti bahasa Batak menduga bahwa dia sedang menerangkan mengenai daerah di sekitar Aek Sibulbulon, karena saya menangkap dia ada menyebutkan beberapa nama daerah/negeri/desa dalam kata pengantar tersebut. Setelah selesai kata pengantar, maka masuklah gondang, alat musik tiup yang terdengar seperti saxophone/terompet?, dan tentunya suling batak (yang secara melodik menggantikan posisi vokal di lagu ini) dan kecapi (hasapi?) batak. Musik berjalan dinamis dengan paduan instrumental 4 alat musik itu, sambil sesekali ditimpali ocehan-ocehan dari Posther. Sungguh sebuah lagu yang bagus, kendati sesungguhya selama 6 menit itu lagu ini hanya terdiri dari pengulangan-pengulangan bait irama dan melodi yang sama, dengan beberapa kali selipan-selipan melodi baru, tentu saja agar lagu ini tidak menjadi monoton.

Selain dibawakan oleh Posther, sesungguhnya lagu ini juga mempunyai lagu versi vokalnya, atau lagu versi "pop"-nya. Di antaranya yang dibawakan oleh Trio Santana. Di versi vokal ini tentu lagunya menjadi ada liriknya, dan dari situs gobatak.com saya mendapatkan liriknya sebagai berikut :

DI AEK SIBULBULON NI
HUTA SI ONOM HUDON NI
DISI DO PARLAO NI OMPU I
SISINGAMANGARAJA I

DIHAOL MA BORUNAI
BORU LOPIAN NA ULI
DUNGI TARMUDAR OMPU I
SUBANG NA SO HALAOSAN NI

REFF :
RAJA NA SIAN BAKKARA
RAJA NI BANGSO BATAK KI
RAJA NA MARSAHALA I
MULAK TU NAMPUNASAI

PODA DOHOT TONA NAI
IKKON INGOT DIROHAI
HITA NA TINADINGKONNA
TAIHUTTON NA NIDOKNAI

 Dari lirik di atas, cukup menarik bagi saya karena ada kata-kata Sisingamangaraja-nya. Berdasarkan hipotesis saya (karena saya tak mengerti bahasa Batak) lagu Aek Sibulbulon ini pada dasarnya berisi ungkapan untuk mengenang Sisingamangaraja, si Raja Batak yang mulia, menjadi kebanggaan orang Batak dan juga orang Indonesia pada umumnya karena keberaniannya dalam menentang penjajahan Belanda di Tanah Batak. Lagu ini bercerita mengenai bahwa di Aek Sibulbulon-lah Sisingamangaraja "pergi" ataupun wafat. Digambarkanlah bagaimana jenazahnya kemudian dirangkul oleh anak perempuannya. Dan digambarkan pula mengenai janji para kerabat dan rakyat Sisingamangaraja untuk tetap selalu mengingat pesan dan ajaran Sisingamangaraja di hati dan pikiran kerabat dan rakyat. Hipotesis saya tentu saja sangat mungkin salah, karena itu mohon maaf jika sekiranya saya salah memaknai lirik lagu ini.

Begitulah cerita mengenai lagu "Aek Sibulbulon" , semoga lagu-lagu etnik dapat terus dilestarikan serta semoga tetap selalu bermunculan generasi-generasi muda yang mau menetapkan hatinya untuk berkarya dalam jalur kesenian etnik, termasuk musik, agar kearifan lokal yang terkandung dalam seni tradisional bisa terus dapat dinikmati oleh generasi-generasi selanjutnya di Indonesia ini.


Minggu, September 08, 2013

Vania Larissa di Sosialita Kompas Minggu

Rubrik Sosialita di Harian Kompas Minggu (8/9/2013)kali ini mengangkat sosok Vania Larissa, pemenang Miss Indonesia 2013 yang kali ini maju sebagai perwakilan Indonesia di ajang Miss World 2013 di Bali. Terlepas dari pro kontra penyelenggaraan Miss World di Indonesia, sosok Vania sendiri adalah sosok yang cukup menarik untuk ditelusuri. tak hanya karena wajahnya yang sensual dan eksotik tapi juga seputar perjalanan karir gadis kelahiran Pontianak ini. Berikut artikel tentang Vania Larissa yang dimuat di Rubrik Sosialita Kompas 8 September 2013.

VANIA MENJAWAB TANTANGAN

Tantangan, kerja keras, dan sentuhan kemanusiaan ada di balik gemerlap kontes kecantikan. Itu yang disukai Vania Larissa, remaja 17 tahun bergelar Miss Indonesia 2013.
 Oleh : Nur Hidayati

 Hari Senin (2/9), Vania baru selesai berkemas untuk terbang ke Bali dan ikut berkompetisi di ajang Miss World 2013. Masih ada beberapa agenda yang harus ia kerjakan hingga larut malam itu. Begitu pun, Vania tiba tepat waktu seperti yang ia janjikan untuk berbincang dengan Kompas. Ia riang bertutur meski suaranya sedikit parau karena flu. "Agak kecapekan, nih," ujarnya.

 Sejak dinobatkan sebagai Miss Indonesia 2013 pada Februari lalu, Vania belum sempat pulang ke Pontianak, kota asalnya. Dalam enam bulan terakhir sejak menyandang gelar itu, ia hanya sempat "libur" empat hari saat Lebaran. Selebihnya, padat agenda kegiatan.

 Kata Vania, sebagai Miss Indonesia, ia dituntut bisa melakukan banyak hal. Ia jadi duta merek yang aktif dalam kampanye sejumlah produk. Ia harus bisa mempresentasikan acara, jadi juri beragam kompetisi, dan memberi motivasi positif. Tak ketinggalan, ia aktif pula dalam beragam kegiatan sosial, mulai dari penyuluhan pelestarian sumber daya alam pada anak-anak SD, mengunjungi anak-anak tunanetra, hingga menghibur penghuni panti wreda.

"Sebelum jadi Miss Indonesia, aku tahunya cuma bisa nyanyi saja. Ternyata banyak hal yang harus dan bisa kulakukan.  Tetap kalem saat jadi pusat perhatian, misalnya. Tetapi, yang paling menyentuh, ternyata kita bisa memberi sesuatu kepada masyarakat, bukan sekadar tampil glamor."
  
Pada saat yang sama, Vania juga harus belajar banyak untuk mewakili Indonesia dalam ajang Miss World 2013 yang digelar di Bali dan Jakarta mulai pekan ini. Belajar menari dan memainkan alat musik tradisional, seperti sasando, bukan hal mudah buat Vania.

Namun, tuntutan paling berat sebagai Miss Indonesia, kata Vania, adalah mengenakan sepatu bertumit tinggi sepanjang hari, tujuh hari dalam sepekan. Gadis bertinggi badan 171 cm ini mengingat pengalamannya yang menyakitkan ketika "berkenalan" dengan sepatu bertumit tinggi itu. "Hari pertama karantina Miss Indonesia, kakiku sudah bengkak sampai ke betis karena enggak biasa pakai high heels.  Lensa kontak mataku yang minus juga robek. Dalam keadaan kayak gitu harus shooting video dan terus senyum."

Karena kesakitan, Vania sempat berniat mundur dari kompetisi itu. Akan tetapi, ia urungkan niat tersebut setelah keesokan harinya berkunjung ke sebuah panti wreda dalam rangkaian kegiatan pada masa karantina. "Aku bertukar cerita dengan seorang ibu. Aku bacakan buku renungan dan  nyanyi lagu rohani untuk ibu itu. Beliau menangis terharu, seperti bahagia banget."

Pengalaman itu membuat Vania menyadari kompetisi yang ia ikuti adalah peluang untuk meraih kesempatan berbuat lebih banyak serta menyentuh lebih banyak orang. "Dari situ, mulailah aku memotivasi diri sendiri, melanjutkan kompetisi. Kalau kalah, ya, enggak apa, tetap jadi pengalaman. I have nothing to lose.
 
Tanpa ia duga, gadis yang baru berusia 17 tahun ini justru menyabet mahkota sebagai Miss Indonesia 2013. Dengan begitu, ia juga mewakili Indonesia dalam ajang Miss World 2013 yang diikuti wakil-wakil dari sekitar 130 negara.

Mengikuti kontes kecantikan bisa sangat melelahkan. Kata Vania, selalu tampil cantik juga bisa menyakitkan. Meski begitu, ia merasa harus bertahan. Kenapa? "Karena Tuhan sudah memberikan kesempatan satu tahun ini kepada aku. Enggak semua remaja 17 tahun bisa mendapatkannya. Jadi, setahun ini aku harus berbuat sebaik mungkin supaya setelah ini berlalu, aku enggak melihat ke belakang dengan menyesal."

Pilih klasik

Vania memang masih belia, tapi ia tahu apa yang ia mau. Bungsu dari empat bersaudara ini lahir dan melewatkan masa kecilnya di Kota Pontianak. Di sana, sejak usia 9-10 tahun, ia sudah rajin memboyong penghargaan lomba menyanyi. Pada usia 13 tahun, ia menjuarai lomba menyanyi klasik tingkat nasional, hanya bermodal belajar lagu-lagu klasik itu dari situs Youtube.

Masuk SMA, pada usia 14 tahun, Vania pindah ke Jakarta.  Bersamaan dengan itu, ia menjajal tampil dalam kompetisi yang ditayangkan penuh oleh televisi nasional, Indonesia Got Talent.  Dari situ ia mulai serius belajar teknik menyanyikan lagu klasik sekaligus belajar bahasa Italia yang banyak digunakan pada jenis lagu-lagu ini. Sekali lagi, Vania membuktikan bakatnya. Ia menjadi pemenang pertama.

Sebagai pemenang, ia sempat merilis album rekaman pop. Namun, Vania belakangan menyimpulkan, ia tak hendak berkarier di dunia hiburan. "Aku akan lebih fokus menyanyi klasik. Itu enggak ada pasarnya di Indonesia. Jadi, bukan untuk popularitas."

Di bangku kelas II SMA, Vania lolos tes untuk langsung melanjutkan studi pada jurusan keuangan di Green River Community College, Seattle, Amerika Serikat. Ketika mengisi liburan kuliah itulah, ia ikut kontes Miss Indonesia. "Sekarang cuti kuliah dulu," ujar gadis yang hobi berenang dan badminton ini.

Berkompetisi seperti hobi buat Vania karena ia menyukai tantangan. "Aku bekerja lebih baik di bawah tekanan. Kalau nyanyi ditonton tiga atau empat orang, rasanya malah lebih deg-degan daripada kalau yang nonton ratusan atau ribuan orang."

Menurut Vania, kompetisi selalu memberikan pengalaman dan menjadi pelajaran baginya, lepas dari soal kalah dan menang. Seusai menuntaskan tugas sebagai Miss Indonesia 2013 dan kompetisi Miss World 2013, gadis belia ini berencana segera kembali ke AS untuk menuntaskan kuliahnya.

 Vania mengaku terinspirasi perjalanan hidup orangtua, kakak perempuan, juga Celine Dion, penyanyi favoritnya. Dari para idolanya itu, ia belajar untuk tidak mudah menyerah, tidak mudah ikut-ikutan terbawa zaman, dan konsisten dengan hal terbaik yang bisa ia lakukan.

Vania memang belia, tetapi ia siap menyambut tantangan...

********

Mini Biodata Vania Larissa
  •  Lahir : Pontianak, 18 November 1995
  • Orangtua : Yohannes Tjhai & Rusmina Fardimin
  • Pendidikan :    -SMP Santo Petrus, Pontianak
                               -Sekolah Pelita Harapan, Jakarta
                               -Green River Community College, Seattle, Washington, AS
  • Pengalaman : -Pemenang Indonesia Got Talent 2010
                               -Pemenang Miss Indonesia 2013







Daftar Skuad Peserta Liga Champions Eropa musim 2013/2014

karena kalau dipaste dari MS Word 2007 ke blogger maka tampilannya menjadi berantakan, maka daftar skuad ini bisa anda dapatkan di sini :

Daftar Skuad Liga Champions 2013/14

silakan login/register di scribd dan anda bisa mengunduh ribuan dokumen yang mungkin berharga untuk diri anda.

daftar skuad juga bisa didapatkan di sini

Daftar Skuad Liga Champions 2013/14 (4shared)


previewnya di bawah ini

Daftar Skuad Liga Champions 2013-2014 by ekho109

sumber : UEFA.com

2 Kutipan Unik Cak Lontong

Tadi malam (Sabtu, 7/9/2013) di Stand Up Comedy Show on Saturday Metro TV menghadirkan Cak Lontong sebagai comicnya. Tapi kali ini agak berbeda, karena seluruh segmen full diisi Cak Lontong semata, tepatnya berisi pemutaran ulang show Cak Lontong yang pernah tampil di SUC Metro. Walaupun beberapa di antara shownya itu sudah pernah saya lihat, namun tetap lucu saja bagi saya karenaCak Lontong termasuk comic yang cukup berkelas dan tidak garing karena lawakannya cenderung butuh pemikiran untuk mencernanya. Berikut dua kutipan ringan dari show Cak Lontong tadi malam (kutipan tentunya tidak sama persis dengan verbal Cak Lontong, karena ditulis dengan bahasa penulis sendiri dengan beberapa modifikasi) :

Kutipan 1
jadi orang jangan mudah terharu, tapi jadilah orang yang mudah tersentuh dan mudah tergerak hatinya untuk membantu. Orang terharu, kalau melihat ada kesusahan di depan matanya maka yang pertama dia keluarkan dari kantongnya adalah saputangan (untuk menyeka air mata). Tapi kalau orang tersentuh dan tergerak hatinya, jika dia melihat kesusahan maka yang pertama dia keluarkan dari kantongnya adalah dompetnya (untuk membantu yang kesusahan tadi). Maka jadilah kalian orang yang mudah tergerak hatinya, bukan orang yang mudah terharu. Tapi jangan pula kalian menjadi jenis orang yang lain lagi, yaitu seseorang yang ketika berada di keramaian, maka hatinya tergerak untuk mengeluarkan dompet dari kantong orang. Itu namanya copet. Jangan sekali-sekali kalian melakukan itu. Jangan ulangi pengalaman saya.

Kutipan 2
Murid-murid sekolah sering dimarahi gurunya karena malas belajar. Sekarang saya tanya, sebenarnya yang pemalas itu siapa, guru atau murid.
-Guru membacakan buku pelajaran dan menyuruh murid mencatatnya, siapa yang malas?
-Murid-murid ketika jam istirahat, bermain-main, berolahraga, makan di kantin, dan lain-lain. Sedangkan guru justru duduk diam di ruang guru kumpul sama rekannya sambil ngobrol. Siapa yang malas?
-ketika ujian, guru memberikan soal dan menyuruh siswa berpikir keras mengerjakan. Sedangkan guru cukup duduk diam mengawasi siswa. Siapa yang malas?
-ketika ujian sudah selesai, maka guru pun mengkoreksi jawaban siswa. Ketika ada jawaban siswa yang salah, maka guru akan menyalahkannya/mengurangi nilainya. seharusnya seorang guru, jika ada jawaban siswa yang salah maka guru tersebut wajib membetulkan jawaban siswa tersebut, ataupun mengganti jawaban siswa yang salah tadi dengan jawaban yang benar. Sebab bukankah salah satu tugas guru adalah membenarkan yang keliru? tapi kenapa guru tidak mau melakukannya? siapa yang malas, murid atau guru?
Nah, saya berharap kalian ke depannya tidak diperdaya lagi oleh orang-orang yang pemalas. Tapi saya yakin, penonton di sini semuanya bukan termasuk siswa yang pemalas, walau memang kurang pintar.