Memilih Media
Oleh : Fredy Wansyah (Mantan Editor “Online” dan Penggiat
Indonesia Media Watch)
Jika harus memilih media cetak atau online, saya akan pilih
media cetak sebagai media informasi saya. Walaupun media online terbilang
gratis bersyarat, cukup punya telepon pintar, sementara untuk baca media cetak,
uang harus tersedia manakala ingin membacanya lebih leluasa.
Alasannya mudah saja: membaca berita di media online harus
mengernyitkan alis. Seperti judul berita yang saya kutip dari media online
berjargon tercepat, Detik.com berikut ini : “Mudik Gratis Pemotor Masih
Tersedia, Ayo Mendaftar!” (Minggu, 21 Juli 2013). Persoalan serupa juga terjadi
pada judul berita yang saya kutip dari Tribunnews.com berikut ini, “Arya Wiguna
Tak Merasa Cintanya Ditolak Pesinetron Rosnita” (Senin, 10 Juni 2013).
Persoalan imbuhan pe- di atas hanya salah satu dari sekian
banyak persoalan. Persoalan tanda baca, persoalan istilah, persoalan gramatika
yang menyebabkan makna ambigu, persoalan diksional agar eyecatching semata,
hingga persoalan teknis.
Dalam tugas kecil, saya---melalui Indonesia Media Watch,
akhir 2012---mendapati hampir separuh dari keseluruhan judul berita media
online yang tayang pada satu hari mengalami kesalahan. Tingkat tertinggi ialah
kesalahan teknis, salah ketik.
Tanda baca menjadi kesalahan terbesar setelah kesalahan
teknis. Pada suatu kata seharusnya dibubuhi kutip dua atas, justru dibubuhi
kutip satu atas. Sekedar contoh kecil, simak judul yang dimuat di Detik.com
berikut : Menengok Pulau ‘Rp.1000’ yang Gunakan Listrik Pintar.
Bahasa jadi penanda
Di dalam pemberitaan media online, kecepatan seakan menjadi
tuhan. Sama halnya seperti media elektronik. Wartawan harus mengutamakan
kecepatan di atas segalanya. Kecepatan menjadi nilai jual dan daya tarik
dibandingkan dengan media ragam lainnya sehingga wartawannya diminta bekerja
mengutamakan kecepatan. Begitu peristiwa berlangsung semenit yang lalu, berita
harus segera termuat di media online. Seakan realtime. Keunggulan media online
mainstream saat ini tersohor dengan gaya kecepatannya menyajikan berita.
Mengombinasikan kecepatan dengan ketepatan itu sulit.
Seumpama naik kendaraan di jalan raya, kecepatan sangat berpotensi mengabaikan
rambu-rambu lalu lintas. Potensi kecelakaan itu tinggi. Rambu-rambu itu analog
dari bahasa dan etika jurnalisme. Di sanalah bahasa menjadi abai manakala
kecepatan harus diutamakan sehingga ketepatan bahasa dan instrumen bahasanya
diabaikan.
Bahasa adalah identitas. Bahasa menjadi tanda “siapa” dan
“bagaimana” penutur bahasa tersebut. Bukan sekadar penutur individu, melainkan
kelompok dan kelembagaan.
Bisa diketahui cara pikir seseorang melalui penggunaan
bahasanya. Apabila ia sering menggunakan kata berkonotasi negatif, sudah barang
tentu pikirannya dipenuhi cara pikir yang negatif pula. Apabila seseorang
berucap secara rapi dan sistematis uraiannya, sudah barang tentu ia rapi dan
sistematis pula dalam menyikapi beragam persoalan dalam kehidupannya. Begitulah
memahami penggunaan bahasa oleh suatu lembaga.
Di dalam agama Islam ada perintah, jika kamu berteman dengan
pedagang parfum, kamu akan terkena aroma parfum. Begitu pula dalam penentuan
media mana yang layak dibaca.
* Dimuat di Kompas edisi Kamis 12 September 2013
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)