Obat itu diskriminatif. Ambil contoh, perbedaan harga obat
sakit kepala dengan obat sakit paru. Harga obat sakit paru jauh lebih mahal
daripada harga obat sakit kepala. Padahal kan sama-sama obat, tapi kok beda-beda harganya, ini kan
diskriminatif namanya.
Anda tahu obat anti mabuk? Itu juga termasuk obat yang
diskriminatif. Obat anti mabuk itu mampu mencegah mabuk laut, darat, dan udara.
Nah lalu bagaimana dengan polisi? Padahal mereka kan bisa mabuk juga?
Dari survei yang saya lakukan , ternyata tidak semua orang
yang ke rumah sakit adalah orang yang sakit. Hanya 25% orang yang pergi ke RS
karena alasan sakit. 25% lagi pergi ke RS karena menjenguk orang yang sakit.
25% lagi pergi ke RS karena mengantar orang yang pergi menjenguk orang sakit.
25% lagi adalah orang yang bekerja di RS. Jadi jangan kira semua orang yang ke
RS adalah orang sakit.
Agar anda tidak sakit, maka anda perlu melakukan gaya hidup
sehat, misalnya berolahraga. Ada olahraga yang murah dan tak perlu biaya,
misalnya berlari. Dengan sering lari maka anda akan sehat. Contohlah saya, saya
sering lari, lari dari kenyataan hidup, lari dari masalah, lari dari
tanggungjawab....
Saya pernah mengalami diperlakukan diskriminatif oleh
seorang dokter. Ketika itu saya pergi memeriksakan kesehatan saya dan anak saya
ke dokter yang sama. Diskriminatifnya, anak saya setelah diperiksa disuruh
rawat inap, sedangkan saya rawat jalan. Ini kan diskriminatif dan sekaligus
menambah beban saya. Masak saya yang lagi sakit disuruh rawat jalan. Itu kan
pekerjaannya Dinas PU, kok dibebankan ke saya.
Saya sering sebal kalau mencek kesehatan ke dokter. Setiap mulai berobat, saya selalu ditanya begini "Bapak ada gula?" Lho saya pergi ke dokter kan untuk berobat dan cek kesehatan, bukan mau ngerujak.
Sekarang ini sudah ada BPJS yang merupakan asuransi
kesehatan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi yang mengiur Rp 25.500
per bulan per kepala, maka ia akan mendapat jaminan perawatan di ruang kelas
III. Sedangkan yang mengiur Rp 42.500 per bulan per kepala, ia berhak dirawat
di ruang kelas II. Bagi yang mengiur Rp 59.500 per bulan per kepala, berhak
dirawat di ruang kelas I. Ini kan penetapan tarif yang aneh, kelas III kok
iurannya lebih murah daripada kelas I. Anda perhatikan, pinteran mana, anak
yang duduk di kelas I atau yang duduk di kelas III? Tentu lebih pintar yang duduk
di kelas III. Karena lebih pintar tentu biayanya lebih tinggi. Lha di BPJS ini
kok kelas yang lebih kecil biayanya justru lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar