Jumat, April 04, 2014

Kata Cak Lontong soal sakit dan berobat

Obat itu diskriminatif. Ambil contoh, perbedaan harga obat sakit kepala dengan obat sakit paru. Harga obat sakit paru jauh lebih mahal daripada harga obat sakit kepala. Padahal kan sama-sama obat, tapi kok beda-beda harganya, ini kan diskriminatif namanya.

Anda tahu obat anti mabuk? Itu juga termasuk obat yang diskriminatif. Obat anti mabuk itu mampu mencegah mabuk laut, darat, dan udara. Nah lalu bagaimana dengan polisi? Padahal mereka kan bisa mabuk juga? 

Dari survei yang saya lakukan , ternyata tidak semua orang yang ke rumah sakit adalah orang yang sakit. Hanya 25% orang yang pergi ke RS karena alasan sakit. 25% lagi pergi ke RS karena menjenguk orang yang sakit. 25% lagi pergi ke RS karena mengantar orang yang pergi menjenguk orang sakit. 25% lagi adalah orang yang bekerja di RS. Jadi jangan kira semua orang yang ke RS adalah orang sakit.

Agar anda tidak sakit, maka anda perlu melakukan gaya hidup sehat, misalnya berolahraga. Ada olahraga yang murah dan tak perlu biaya, misalnya berlari. Dengan sering lari maka anda akan sehat. Contohlah saya, saya sering lari, lari dari kenyataan hidup, lari dari masalah, lari dari tanggungjawab....

Saya pernah mengalami diperlakukan diskriminatif oleh seorang dokter. Ketika itu saya pergi memeriksakan kesehatan saya dan anak saya ke dokter yang sama. Diskriminatifnya, anak saya setelah diperiksa disuruh rawat inap, sedangkan saya rawat jalan. Ini kan diskriminatif dan sekaligus menambah beban saya. Masak saya yang lagi sakit disuruh rawat jalan. Itu kan pekerjaannya Dinas PU, kok dibebankan ke saya.

Saya sering sebal kalau mencek kesehatan ke dokter. Setiap mulai berobat, saya selalu ditanya begini "Bapak ada gula?" Lho saya pergi ke dokter kan untuk berobat dan cek kesehatan, bukan mau ngerujak.
 
Sekarang ini sudah ada BPJS yang merupakan asuransi kesehatan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi yang mengiur Rp 25.500 per bulan per kepala, maka ia akan mendapat jaminan perawatan di ruang kelas III. Sedangkan yang mengiur Rp 42.500 per bulan per kepala, ia berhak dirawat di ruang kelas II. Bagi yang mengiur Rp  59.500 per bulan per kepala, berhak dirawat di ruang kelas I. Ini kan penetapan tarif yang aneh, kelas III kok iurannya lebih murah daripada kelas I. Anda perhatikan, pinteran mana, anak yang duduk di kelas I atau yang duduk di kelas III? Tentu lebih pintar yang duduk di kelas III. Karena lebih pintar tentu biayanya lebih tinggi. Lha di BPJS ini kok kelas yang lebih kecil biayanya justru lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar