Kasasi Kasus Rahudman Dikabulkan
MEDAN- Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi Jaksa
Penuntut Umum terhadap vonis bebas Rahudman Harahap yang diberikan
Pengadilan Tipikor Medan. Saat itu Rahudman bebas dari tuntutan terkait
kasus korupsi tunjangan penghasilan aparatur pemerintah desa (TPAPD)
Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) tahun anggaran (TA) 2005.
Kepastian ini dipublikasikan di situs resmi MA, nomor register perkara 236 K/PID.SUS/2014, yang ditangani trio hakim agung yang dikenal keras menangani kasus korupsi yakni Mohammad Askin, MS Lumme, dan Artidjo Alkostar yang menyatakan permohonan JPU dengan terdakwa Rahudman Harahap dikabulkan.
“Amar putusan, kabul,” demikian informasi perkara yang dipublikasikan di situs resmi MA.
Perkara dengan Panitera Pengganti Mariana Sondang Pandjaitan itu
diputuskan pada 26 Maret 2014. Hingga berita ini ditulis, Artidjo belum
bisa dimintai keterangan. Dihubungi lewat ponselnya tidak menjawab,
begitu juga pertanyaan yang diajukan lewat layanan pesan singkat (SMS)
juga tidak direspon hakim ‘galak’ itu. Kabiro Hukum dan Humas MA Ridwan
Mansur, ponselnya malah tidak aktif.
Hanya saja, seorang hakim agung menjelaskan, jika permohonan JPU yang
dikabulkan, maka berarti dakwaan dan tuntutan JPU yang menjadi acuan
vonis. “Kabul berarti sesuai dengan dakwaan JPU,” ujar hakim agung yang
meminta namanya tidak ditulis koran ini dengan alasan dirinya tidak ikut
menangani perkara itu.
Seperti diketahui, Pengadilan Tipikor Medan, pada 15 Agustus 2013,
menyatakan Rahudman, dalam kapasitasnya sebagai mantan Sekda Pemkab
Tapsel tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi atau
menyalahgunakan kewenangannya. Rahudman dinyatakan bebas murni.
Dalam perkara ini, JPU menyatakan terdakwa melanggar Pasal 2 ayat 1
Jo Pasal 18 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah
Undang-undang nomor 20 tahun 2001 Jo 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Dalam
tuntutannya, jaksa meminta kepada majelis hakim agar menjatuhkan hukuman
pidana selama 4 tahun penjara denda Rp500 juta serta uang penganti
Rp480 juta kepada Rahudman.
Menyikapi hal itu, Hasrul Benny Harahap sebagai kuasa hukum Rahudman
Harahap, saat dikonfirmasi Sumut Pos, Senin (31/3) malam, mengatakan
belum menerima salinan resmi putusan pengabulan JPU dalam kasasi kasus
ini. “Kita belum berani berkomentar. Karena, belum menerima surat
salinan resmi putusan itu,” ungkap Hasrul.
Ditanyakan, apa langkah selanjutnya upaya hukum atas putusan MA ini,
Hasrul enggan berkomentar. “Kita masih mencari data itu (putusan MA).
Bagaimana isi putusan itu, kita belum melihat. Itu putusan keluar pada
26 Maret kemarin. Jadi belum bisa memberikan komentar lebih
banyak,”sebutnya.
Di sisi lain, Marcos Simaremare, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam
perkara tersebut mengaku belum mengetahui terkait putusan kasasi perkara
itu di MA. “Saya belum tahu apakah putusannya sudah keluar atau belum.
Karena sampai saat ini kami juga belum ada menerima salinan putusan dari
MA. Karena putusan dari MA yang bisa kita laksanakan,” katanya.
Namun, Kasi I Asintel Kejati Sumut ini mengaku siap melakukan
eksekusi terhadap Rahudman bila nantinya putusan tersebut sudah inkrah.
“Mengenai eksekusi itu siap kita jalankan. Tentunya kita lihat dulu apa
bunyi putusan kasasi. Tapi sampai saat ini kita juga belum tahu apa
putusannya,” jelasnya.
Terpisah, Juru Bicara Pengadilan Tipikor Medan, Nelson Marbun
mengatakan dikabulkannya pengajuan kasasi jaksa oleh hakim MA, masih
sebatas pengabulan administrasi atau memenuhi syarat formalitasnya. “Itu
berarti permohonan kasasi dari jaksa diterima. Pengajuan kasasi itu
memenuhi ketentuan. Jadi kalau lewat tenggang waktu ataupun berkas
mereka tidak memenuhi syarat, bisa tidak diperiksa perkaranya,” terang
Nelson.
Lanjutnya bila putusan kasasi hakim telah final, harusnya ada
pencantuman apakah putusan Pengadilan Tipikor dibatalkan atau
sebaliknya. “Seperti saya bilang tadi, kalau dalam putusan tidak ada
bunyi seperti itu (yang menyatakan membatalkan atau menguatkan putusan
Pengadilan Tipikor Medan), maka itu belum putusan kasasi. Putusannya
bagaimana, kita kan belum tahu apakah menguatkan putusan Pengadilan
Tipikor Medan atau malah sebaliknya,” urainya.
Begitupun, sambungnya, jika nantinya Rahudman terbukti bersalah, dia
masih ada kesempatan mengajukan PK (Peninjauan Kembali) dengan catatan
ada novum atau bukti baru dalam kasus itu. Namun pengajuan PK tentunya
tidak menghambat eksekusi yang dilakukan Jaksa.
“Dia (Rahudman) masih bisa mengajukan PK asal ada bukti baru.
Tentunya PK tidak menghambat eksekusi. Di sini juga harus dilihat,
apakah dalam putusan hakim kasasi ada memerintahkan agar dilakukan
penahanan. Jika dalam putusan itu ada, jaksa bisa melakukan eksekusi
setelah putusan itu inkrah,” urainya.
Sementara itu, Rurita Ningrum, Direktur eksekutif Forum Indonesia
Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumut, mengatakan jika putusan sudah
inkrah Rahudman Harahap wajib dieksekusi. “Seharusnya Kejaksaan segara
melakukan eksekusi terhadap Rahudman dengan cepat. Dan ini membuktikan
keadilan yang tepat untuk menetapkan dan mengabulkan putusan kasasi
terhadap kasus Rahudman itu,”ungkap Rurita. (sam/far/gus/rbb)
Artidjo Alkostar Masuk Majelis Hakim
Kasus Rahudman Harahap memasuki babak baru. Mahkamah Agung telah menunjuk tiga hakim untuk menangani kasus ini. Mereka adalah Mohammad Askin, MS Lumme, dan Artidjo Alkostar. Nama terakhir ini adalah sosok yang cukup "mengerikan" bagi tokoh yang tersangkut dalam kasus korupsi.
Bagaimana tidak, alumnus Universitas Islam Indonesia Yogyakarta ini merupakan hakim agung yang mendapat banyak sorotan atas keputusan dan pernyataan berbeda pendapat (dissenting opinion)-nya dalam banyak kasus besar. Namanya terangkat saat memperberat vonis 4 tahun penjara menjadi 12 tahun kepada politikus Angelina Sondakh.
Bahkan hakim kelahiran Situbondo ini sempat berkoar siap menghukum mati koruptor. Tapi keinginannya terhambat UU yang mensyaratkan hukuman mati diberikan kepada korupsi yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, krisis moneter, dan bencana alam nasional.
Bagi kalangan praktisi hukum , Ketua Muda Kamar Bagian Pidana Mahkamah Agung (MA) ini dikenal sebagai hakim agung yang zero tolerance dalam menghukum. Tidak segan-segan dia menghukum koruptor dengan ancaman maksimal UU.
Selain kasus Angelina Sondakh, pada tahun 2012 Artidjo menghukum Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M Najamuddin 4 tahun penjara karena terbukti sah dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) senilai Rp 21 miliar. Putusan ini membalik kehidupan Agusrin sebab sebelumnya Agusrin diputus bebas oleh PN Jakarta Pusat yang diketuai oleh Syarifuddin. Syarifuddin belakangan duduk di kursi pesakitan karena didakwa korupsi menerima suap. Agusrin terkena hukuman minimal sesuai pasal 2 UU PTPK.
Selain ingin memvonis mati koruptor, Artidjo mengatakan ada banyak cara untuk memiskinkan koruptor. Salah satu caranya dengan mengambil semua uang negara yang dikorupsi. "Jika sudah ada yang terpakai, ambil asetnya," kata Artidjo.
Artidjo berpendapat angka rakyat miskin dapat berkurang banyak jika uang negara yang dikorupsi diambil kembali. "Dengan catatan, dikelola negara dengan baik," ujar pria asal Situbondo itu.
Istilah memiskinkan koruptor, Artidjo melanjutkan, tak ada dalam ranah hukum dan pengadilan. Itu hanya istilah sosial untuk perilaku koruptor yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi. "Arti gamblangnya, memberikan hukuman maksimal bagi para koruptor," kata dia.
Dia mengklaim belum pernah meringankan hukuman terdakwa korupsi manapun. Alasannya, ia tidak menemukan poin-poin yang layak untuk dijadikan pertimbangan keringanan hukuman. "Belum pernah sama sekali," tegasnya.
Malah dia sering menggandakan hukuman. Pertimbangannya, membetulkan atau meluruskan pasal yang diterapkan pengadilan negeri serta pengadilan tinggi merupakan hak Mahkamah Agung. "Misalnya mereka memakai pasal suap pasif, tapi yang tepat sebetulnya pasal suap aktif. Itu saya luruskan," ujarnya. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar