Sabtu, Maret 29, 2014

Earth Hour

Pekan kemarin, saya membaca info dari running text Metro TV, bahwa pada 29 Maret (hari ini) belasan kota di Indonesia akan berpartisipasi dalam peringatan Earth Hour. Earth Hour ini sebagaimana diketahui adalah suatu bentuk kegiatan mematikan lampu dan penerangan serta berbagai peralatan elektronik lain yang tak diperlukan selama satu jam, yang diselenggarakan di seluruh dunia. Tahun ini, belasan kota di Indonesia akan ikut berpartisipasi dalam suatu gerakan yang katanya merupakan salah satu bentuk nyata dari upaya 'menyelamatkan bumi'. 

Jika mematikan lampu selama 1 jam dianggap bentuk penyelamatan bumi, maka kami para warga Provinsi Sumatera Utara harus dianggap sebagai pahlawan sejati penyelamat bumi dari ancaman kerusakan bumi akibat emisi karbon yang dikeluarkan pembangkit-pembangkit listrik. Sebab, jauh sebelum kalian para peserta Earth Hour melakukan kegiatan itu hari ini, kami sudah melakukannya jauh-jauh hari, bahkan dalam skala yang lebih dahsyat. Kalian mungkin bangga, dengan mematikan lampu selama 1 jam setahun sekali maka kalian merasa sudah menyelamatkan bumi. Tapi kami di Sumut, lebih dari kalian. Kami 'mematikan' listrik kami selama 3 jam (bahkan lebih), dan intensitasnya bukan sekali setahun seperti yang kalian lakukan, tapi sebulan lebih (lebih dari 40 hari secara berturut-turut), tepatnya sejak awal Februari 2014 hingga awal Maret ini. Bahkan kalau ditarik ke belakang, kami berulang kali dengan sukarela melakukan kegiatan mematikan listrik ini, sudah bertahun-tahun lamanya. Kegiatan kami mematikan listrik ini disponsori oleh salah satu BUMN yang memegang hak monopoli di salah satu sektor ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak. 

Bisa dibayangkan betapa besar jasa warga Sumut dalam menyelamatkan bumi karena di sini berulang kali kegiatan sejenis Earth Hour ini dilakukan. Dan bisa dibayangkan juga betapa rendah hatinya warga Sumut dalam melakukan kegiatan ini, sebab mereka tidak menggembar gemborkannya ke media seperti yang kalian (kota-kota peserta Earth Hour) lakukan. Saking rahasianya kegiatan ini, presiden pun seperti tidak tahu bahwa ada kegiatan mematikan listrik secara massal di Sumut sebulan belakangan. Pun media-media nasional seperti tidak mencium adanya kegiatan ini, mereka rupanya lebih tertarik membahas pesawat hilang dan kampanye parpol ketimbang meliput kegiatan ini.

Bagi kota-kota di Indonesia yang mengikuti Earth Hour, barangkali ada dua motif yang melatarbelakangi keikutsertaan mereka itu. Motif pertama adalah mereka memang sungguh-sungguh ingin berpartisipasi dalam kegiatan menghemat energi serta menyelamatkan bumi, karena mereka memang sadar bahwa upaya mereka itu sekalipun kecil, tapi karena dilakukan serentak di seluruh Indonesia, mampu menciptakan suatu penghematan energi yang cukup besar (menurut Koran Sindo edisi 29 Maret, pada tahun 2012 kegiatan Earth Hour di Indonesia mampu menghemat listrik sebesar 214 MW). Termasuk dalam kelompok dengan motif ini nampaknya adalah Kota Bandung. Mengapa demikian, sebab Walikota Ridwan Kamil berencana setelah kegiatan Earth Hour ini akan secara rutin menggelar aksi mematikan lampu. Ini adalah suatu bukti bahwa Ridwan Kamil mempunyai pandangan yang visioner dan ia tak terjebak pada popularitas serta kegiatan seremonial belaka. Ia mampu mengambil makna dari kegiatan Earth Hour ini, dan karena ia tahu akan manfaat dari kegiatan ini, ia lantas tidak terpaku pada kegiatan seremonial tahunan saja melainkan berencana akan membuat kegiatan ini menjadi kegiatan rutin di kota itu. Ini merupakan suatu rencana yang patut kita apresiasi dan kita harapkan Ridwan Kamil betul-betul merealisasikan rencana bagus tersebut.

Motif kedua adalah kota-kota yang sekadar ingin mendapat popularitas serta ingin diliput media internasional saja karena telah berpartisipasi dalam Earth Hour. Kota-kota ini dipimpin oleh pemimpin yang oportunistik, yang melihat kegiatan ini sebagai sarana untuk numpang tenar dan meraih keuntungan politis, syukur-syukur bisa diliput media internasional. Setelah kegiatan usai, maka semua hilang tak berbekas, di kotanya pemborosan energi terjadi secara masif, dan warganya pun seolah tidak peduli. Mereka-mereka inilah (kota, pemimpin, dan warganya) yang bisa kita sebut sebagai kaum yang hipokrit serta berpikiran pendek, yang mengira bahwa dengan kegiatan mematikan lampu selama 1 jam setiap tahunnya sudah bisa dianggap sebagai bentuk menyelamatkan bumi. Padahal, untuk menyelamatkan bumi, tidak cukup hanya dengan kegiaan seremonial tahunan, melainkan harus ada kegiatan lanjutannya secara berkesinambungan, seperti yang akan dilakukan oleh Walikota Ridwan Kamil.


2 komentar:

  1. pak beye patut berterima kasih kepada warga sumut karena sudah sering membantu menyelamatkan bumi

    BalasHapus