Rubrik Bahasa di Majalah Tempo edisi 23 Februari 2014 halaman 74 memuat tulisan menarik dari sastrawan Sapardi Djoko Damono mengenai polemik pengubahaan ejaan (sekaligus pengubahan pengucapan) kata "Cina" menjadi "China". Saya sepenuhnya setuju dengan apa yang diungkapkan beliau dalam tulisan itu, dan beberapa hal sudah terpikir di kepala saya sebelum tulisan itu terbaca oleh saya, tepatnya sejak isu ini dicuatkan oleh budayawan Remy Sylado, Oktober tahun lalu. Saya sudah terpikir mengenai yang namanya "intervensi" berbahasa setelah membaca pemberitaan soal ini tahun lalu (saya mikirnya: kedaulatan bangsa kita dalam hal berbahasa diganggu oleh RRC).
Selain intervensi, perubahan ejaan dan --lebih-lebih-- perubahan pengucapan kata "cina" itu juga sesungguhnya menimbulkan pertanyaan, mau sampai kapan WNI peranakan Tionghoa di Indonesia merasa "tertindas" terus menerus sehingga ucapan "cina" pun harus di"larang"? katanya setelah reformasi, apalagi setelah Gus Dur menjadi presiden keempat RI, segala macam bentuk diskriminasi terhadap peranakan Tionghoa dihapuskan secara resmi. Kenyataannya, dengan adanya "kebijakan" untuk mengubah "cina" menjadi "china" (dengan alasan kata "cina" mempunyai konotasi negatif dan bisa menyinggung perasaan WNI peranakan tionghoa) justru mengungkit "luka lama" jaman Orba dulu. Jika Indonesia sudah mantap memasuki era baru yang anti diskriminasi terhadap ras/etnis manapun, sesungguhnya tak perlu ada yang dikhawatirkan dengan pengucapan "cina" atau apapun bentuknya.
Selain intervensi, perubahan ejaan dan --lebih-lebih-- perubahan pengucapan kata "cina" itu juga sesungguhnya menimbulkan pertanyaan, mau sampai kapan WNI peranakan Tionghoa di Indonesia merasa "tertindas" terus menerus sehingga ucapan "cina" pun harus di"larang"? katanya setelah reformasi, apalagi setelah Gus Dur menjadi presiden keempat RI, segala macam bentuk diskriminasi terhadap peranakan Tionghoa dihapuskan secara resmi. Kenyataannya, dengan adanya "kebijakan" untuk mengubah "cina" menjadi "china" (dengan alasan kata "cina" mempunyai konotasi negatif dan bisa menyinggung perasaan WNI peranakan tionghoa) justru mengungkit "luka lama" jaman Orba dulu. Jika Indonesia sudah mantap memasuki era baru yang anti diskriminasi terhadap ras/etnis manapun, sesungguhnya tak perlu ada yang dikhawatirkan dengan pengucapan "cina" atau apapun bentuknya.
Himbauan untuk mengucapkan "cina" dengan "china" dikeluarkan oleh Kedubes RRC di Jakarta. Dari sinilah nuansa intervensi berbahasa (yang bisa dimaknai menganggu kedaulatan bangsa Indonesia dalam hal berbahasa) menjadi amat kentara. Yang agak menyedihkan, banyak media massa yang manut saja menuruti himbauan ini. Bisa jadi karena media massa itu pemiliknya adalah pengusaha keturunan Tionghoa yang merasa mendapat angin dengan adanya intervensi berbahasa ini. Atau bisa jadi pula media-media itu menuruti himbauan itu karena alasan yang lain, misalnya karena alasan secara internasional "China" memang dilafalkan dengan "Chaina". Tapi jika ini yang dijadikan alasan, maka sesungguhnya media tidak konsisten karena nama-nama negara lain tidak mereka lafalkan secara "internasional". Anda pasti tahu contohnya, bandingkan saja ketika mereka (media asal Indonesia) mengucapkan Iran, Italia, Malaysia, Portugal ( dan lain-lain negara yg nama internasional dgn nama "versi indonesia"-nya tidak ada perbedaan huruf sama sekali) dengan ketika stasiun radio/televisi asing mengucapkan nama negara yang sama.
Di bawah ini saya salinkan tulisan Sapardi Djoko Damono seperti yang telah saya singgung di atas.
===========================
Tjina, Cina, China
oleh: Sapardi Djoko Damono, sastrawan
Sejak
beberapa tahun lalu, kata “Cina” harus (?) dihapus (juga dari kamus?) dan
diganti dengan “China”. Alasan di balik penggantian itu adalah kata “Cina”
mengandung konotasi negatif, bahwa dalam kalimat “Dia itu Cina” terkandung
ejekan atau hinaan atau bahkan permusuhan terhadapnya. Mari kita bicarakan
(sekali) lagi penggantian yang, setidaknya bagi saya, aneh itu. Tidak usahlah
kita mengaitkannya (lagi) dengan “petai cina” harus diubah menjadi “petai china”
atau “Pecinan”, nama sebuah kampung, harus diganti dengan “Pechinan”.
Cara
mengeja yang kita ikuti adalah EYD. Cara yang “disempurnakan” itu telah
mengubah “Tjina” menjadi “Cina”. Sama sekali tidak ada perubahan pengucapan
dalam proses penggantian itu, persis seperti perubahan “Tjirebon” menjadi “Cirebon”
dan “tjakar” menjadi “cakar”. Tidak adanya perubahan ejaan itu juga berarti
tidak adanya pergeseran arti kata, baik denotatif maupun konotatif. Namun,
ketika kita harus mengubah “Cina” menjadi “China”, tampaknya perubahan itu
dianggap telah terjadi: “Cina” dikatakan mengandung sikap negatif sehingga
harus diganti dengan “China” yang tentu dianggap netral.
Sepengetahuan
saya, EYD telah mengganti gugus konsonan “ch” menjadi “kh”, kecuali untuk nama
diri, seperti “Chairil Anwar” atau “Chaidir Rachman”—bergantung pada yang
memiliki nama. Sebelum EYD ditetapkan, tentu nama “Jokowi” dieja “Djokowi”,
tapi si empunya nama lebih suka menuliskannya sesuai dengan EYD, tentu tanpa
perubahan ucapan. Kalau “Cina” harus diganti ejaan menjadi “China”, apakah
ucapannya tetap sama? Apakah “ch” dalam kata itu harus diucapkan sebagai “tj”
atau “c”, sedangkan “i” tetap diucapkan “i”? Kalau demikian halnya, perubahan
itu hanya menyangkut ejaan, bukan ucapan. Dan kalau ucapannya sama, mengapa
harus ada perubahan? Kalau diucapkan, konotasi negatif yang dianggap ada dalam “Cina”
tetap saja terbawa meskipun ejaannya sudah diubah menjadi “China”.
Kalau
perubahan penulisan itu juga menyangkut perubahan pengucapan, “China” harus
diucapkan sebagai “Chaina” dan itulah yang sering kita dengar dari radio dan
televisi. Masalahnya, apakah perubahan cara mengucapkan itu tidak bertentangan
dengan prinsip tata ejaan dan tata bunyi bahasa Indonesia? Kalau demikian
halnya, pengubahan ejaan itu telah mengganggu (kerennya: mengintervensi) sistem
kebahasaan kita. Demikianlah, “China” telah berhasil melakukan intervensi
dengan persetujuan kita.
Namun
mengapa kita tidak diganggu kalau menyebut beberapa negeri sebagai Belanda,
Inggris, Jerman, Jepang, Selandia Baru, dan Afrika Selatan? Orang New Zealand
dan warga negara South Africa juga tidak akan melancarkan protes atas
penyebutan itu, saya kira. Belum pernah juga saya dengar protes kalau ada
mahasiswa Jawa berteriak kepada teman kuliahnya yang berasal dari Tarutung, “He,
Batak lu!” Kalau ada mahasiswa Sunda
bertanya pada temannya, “Kamu Cina, ya?” apa juga harus diganti dengan “Kamu
China (ucapannya Chaina), ya?”
Mengapa
kita harus menyebut negeri yang sangat tua kebudayaannya itu Republik Rakyat
China dan bukan Republik Rakyat Cina? Siapa gerangan yang memiliki kekuasaan
untuk menentukan hal itu? Kalau perubahan itu didiktekan dari “sana”, mengapa
pula kita selama ini mengikutinya? Selanjutnya, apalah memang benar-benar ada konotasi
negatif dalam penyebutan “Cina”? Menurut seorang peranakan Tionghoa kenalan
saya, di Singkawang ada konotasi negatif dalam kata “Baba”, tapi di Solo
konotasi negatif sama sekali tidak ada, seperti yang jelas tampak pada nama
toko roti “Babah Setoe” di kota kelahiran saya itu.
Atau
begini saja: kata “Cina” kita ganti saja dengan kata “Tionghoa”, yang bisa saja
dianggap netral meskipun bisa berakibat berubahnya “petai cina” menjadi “petai
tionghoa” dan “Kampung Pecinan” menjadi “Kampung Tionghoaan”. Atau tidak
usahlah kita ganti ejaan dan ucapan kata ini karena, kalaupun benar ada
konotasi (baik negatif maupun positif) dalam sepatah kata, hal itu sama sekali
bergantung pada situasi pembicaraannya. Dan itu wajar saja. bukankah kita tidak
harus mengikuti kehendak pihak atau bangsa lain kalau hal itu mengintervensi
sistem kebahasaan (dan sistem berpikir) kita?
********************
(ini salinan berita di situs Tempo mengenai pendapat Remy soal kata 'china' ini, diakses dari sini )
Minggu, 20 Oktober 2013 | 18:39 WIB
waoooo awesome post regarding "cina, china, chaina"
BalasHapusThanks,
Crude Oil Jackpot Calls