Dikutip dari buku "Wajah Retak Media", terbitan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Mei 2009.
================
GEGER DI SISMINBAKUM, SUNYI DI RCTI DAN OKEZONE
oleh: Widiyanto
Kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum yang menjadi headline di hampir semua media tidak nongol di RCTI. Ada intervensi pemilik modal?
Hari itu barangkali patut dirayakan sebagai salah satu hari kemenangan
gerakan anti korupsi. Pagi hari seorang mantan pejabat tinggi dirjen
ditangkap. Romli Atmasasmita, mantan direktur jendral pada Departemen Hukum dan
HAM ditahan kejaksaan atas tuduhan korupsi. Pada hari yang sama, giliran Danny
Setiawan, bekas Gubernur Jawa Barat yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
gara-gara kasus penggelembungan harga mobil kebakaran.
Perang melawan korupsi memang tengah marak. Kejaksaan Agung dan KPK
seperti adu cepat membekuk koruptor. Dan gerak cepat seperti ditunjukkan pada
10 November 2008 itu, agaknya perlu dicatat khusus: penahanan Romli bisa
menjadi awal terbongkarnya kasus Sisminbakum (Sistem Informasi Badan Hukum,
yang memungkinkan pendaftaran badan hukum dilakukan on-line), yang ukurannya sungguh kolosal. Skandal ini diduga
melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara, termasuk menteri, dan merugikan negara hingga hampir setengah triliun rupiah. Tak
mengherankan jika Romli menjadi ‘bintang’ media masa. Sejak pagi hari sejumlah
stasiun televisi, radio dan jaringan berita on-line
(newswires) terus menggebernya
sebagai sajian utama. Malamnya, penahanan Romli ditempatkan sebagai headline oleh hampir semua stasiun
televisi. Hampir semua, tapi tidak Seputar Indonesia. Siaran berita andalan
stasiun RCTI itu tak menayangkan penahanan Romli, tidak pula
Danny.
Ada apa? Apakah Seputar Indonesia kecolongan? Pertanyaan sepele ini
ternyata perlu jawaban panjang lebar.
Rapat Redaksi RCTI
malam itu lebih hangat dari biasanya. Di seputar meja
rapat berbentuk bulat, duduk belasan anggota redaksi: manajer produksi berita,
produser pelaksana, kepala liputan, beberapa produser.Pemimpin Redaksi Arief
Suditomo tidak hadir. Begitu juga wakil pemimpin redaksi Putra Nababan. Rapat
yang dipimpin Produser Eksekutif Seputar Indonesia Avida Virya itu memasuki
area paling genting: mengapa RCTI tak punya liputan
soal penahanan Romli.
Kepala Liputan Dandhy Dwi Laksono mengatakan, Sisminbakum jelas masuk
kriteria layak berita – diukur dengan pertimbangan apapun. Perhatian publik
luar biasa, kejaksaan telah pula menetapkan tiga dirjen sebagai tersangka, dan
kerugian negara ekstrabesar. Tak ada alasan untuk tak meliput penahanan Romli.
Lalu mengapa materinya tak nongol? “Apa kita dilarang meliput kasus ini?”
katanya.
Beberapa saat sebelum rapat Dandhy mengontak Tunggal Siregar, reporter
yang biasa mangkal di Kejaksaan Agung. Ia menanyakan mengapa Tunggal tak punya
bahan liputan Romli. Awalnya Tunggal berkilah ia harus meng-cover agenda lain. Tapi Dandhy tak
percaya. Setelah dicecar, reporter ini mengaku diminta Pemimpin Redaksi Arief
Suditomo agar tak meliput penahanan Romli.
Dandhy terkejut. Ia meradang mendengar pengakuan itu. Ia mengingatkan,
sebagai reporter Tunggal seharusnya melapor kepada Koordinator Liputan,
atasannya langsung. “Sensor tak boleh terjadi sejak di lapangan,” katanya.
Keterangan Tunggal inilah yang dibawa Dandhy ke ruang rapat malam itu.
“Jika kita dilarang menayangkan Sisminbakum,” katanya, “Kita juga tak bisa
memberitakan kasus korupsi yang lain.” Logikanya, jika Sisminbakum “disensor”
dan kasus korupsi lain diliput, berarti RCTI main tebang pilih. “Sama
halnya kita melindungi maling, sambil menelanjangi maling yang lain,” tambah
Dandhy.
Dilihat dari struktur kepemilikan, RCTI memang termasuk
dalam keluarga besar kelompok yang terserempet kasus Sisminbakum. Program komputerisasi
di Departemen Hukum dan HAM ini dikelola PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) yang
merupakan ‘sepupu’ RCTI. Bersama-sama PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC,
holding yang memiliki RCTI), Sarana adalah ‘cucu’ dari PT Bhakti Investama, perusahaan yang dikuasai
keluarga Tanoesoedibjo.
Rapat malam itu kemudian sedikit melebar. Jika kasus yang melibatkan kelompok
usaha tak bisa diliput, sebagian anggota redaksi menuntut manajemen segera
membuat rambu-rambu: daftar apa saja yang haram ditayangkan. Namun Dandhy
menolak gagasan ini. Ia tetap ngotot agar RCTI memperlakukan kasus
Sisminbakum sama seperti kasus-kasus korupsi yang lain. “Kita harus tetap fight,” katanya.
Hingga malam rapat selesai, tak ada kesepakatan yang bulat, kecuali: tak
ada berita korupsi yang naik tayang. Tidak Romli, tidak juga Danny. Semua kena
embargo. Sampai kapan? Tak ada batas waktu yang ditetapkan. Yang pasti, sejak
malam itu, Seputar Indonesia memang bersih dari berita korupsi. Namun entah
mengapa, dua hari kemudian, berita-berita korupsi, termasuk kasus Sisminbakum
sudah muncul kembali.
Di sela-sela rapat malam itu, Dandhy sempat berkirim pesan kepada Pemimpin
Redaksi Arief Suditomo. Ia menanyakan alasan mengapa liputan Sisminbakum
dilarang. Jawaban Arief–juga melalui pesan pendek lewat handphone—merisaukan
Dandhy, “Jelas, karena milik HT”.
HT adalah sebutan sehari-hari untuk Hary Tanoesoedibjo, pemegang kontrol
Bhakti Investama, kapal induk yang membawahi aneka macam usaha mulai dari media
sampai telekomunikasi, keuangan hingga penyewaan pesawat. Di anak-anak
perusahaan itu, Hary menempatkan abang dan adiknya sebagai pengurus dan
pengelola. Pada PT Bhakti Asset Management, yang membawahi PT Sarana (pengelola
Sisminbakum), duduklah Hartono Tanoesoedibjo, salah satu kakak Hary.
Kala itu, nama Hartono memang mulai disebut-sebut dalam kasus Sisminbakum.
Yohannes Waworuntu, Direktur Utama PT Sarana, yang ditetapkan sebagai tersangka
mengaku ia hanya boneka Hartono. “Saya dipaksa menjadi dirut dengan imbalan
utang saya yang besarnya Rp 1 milyar dianggap lunas,” katanya kepada media.
Sejauh ini, status Hartono dalam kasus itu masih sebatas saksi.
Bagi Dandhy, pesan pendek Arief itu tiba-tiba tak membuat semuanya menjadi
terang benderang. Ia tak pasti betul apakah pelarangan itu order langsung dari
HT atau kebijakan Arief semata. Tapi bagi Dandhy, dan anggota redaksi RCTI, ini bukan campur tangan yang pertama. Ia hanya mengatakan, “Tiap
kali ada pemberitaan yang dianggap merugikan, Hary selalu ikut campur.” Yang
jelas, beberapa pekan kemudian, intervensi manajemen terjadi lagi: RCTI dilarang menayangkan berita kutipan wawancara dengan Menteri Keuangan
Sri Mulyani yang ‘berbau’ Sisminbakum.
Ceritanya, akhir 2008, Menteri Keuangan terpilih sebagai “People of
the Year 2008” versi harian Seputar Indonesia (untuk membedakan dengan nama
acara di RCTI, selanjutnya disebut Sindo), koran yang juga
dimiliki MNC. Reporter RCTI
Bima Marzuki yang meliput acara itu sempat minta
pendapat Menteri Sri Mulyani tentang rekening liar yang memang tengah
dihebohkan. Konteksnya biaya perkara di Mahkamah Agung. Menteri menegaskan,
semua penerimaan dari dari kegiatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat
pemerintah, mestinya masuk ke pos penerimaan negara bukan pajak alias PNBP.
Mendengar penjelasan ini, Hary yang berada tak jauh dari Ibu Menteri lantas
bergegas mendekati Sururi Alfaruq, Pemimpin Redaksi Sindo. Hary, orang yang
menurut Forbes memiliki kekayaan US$ 250 juta (sekitar Rp 2,5 triliun) itu
meminta Sururi menemui Bima. Begitu wawancara selesai, Bima dicolek Sururi
Alfaruq, Pemimpin Redaksi Sindo.
“Bim, untuk wawancara yang tadi, Pak HT minta jangan tayang,” katanya Sururi
seperti ditirukan Bima Marzuki.
“Bagian yang mana?” tanya Bima.
“Semuanya,” jawab lelaki ceking yang dikenal sebagai orang kepercayaan
Hary itu.
“Loh kenapa?” Bima mencoba menawar.
“Pak HT khawatir wawancara itu menimbulkan salah persepsi.”
‘Persepsi’ yang dimaksud Sururi tentu berkaitan dengan PNBP. Biaya akses
Sisminbakum yang merupakan salah satu bentuk pelayanan pemerintah semestinya
masuk ke kas negara seperti PNBP yang lain. Selama ini, dari Rp 1.685.000 biaya
yang dibayarkan notaris untuk mendapat pelayanan Sisminbakum, hanya Rp 200.000
yang masuk PNBP. Selebihnya, Rp 135.000 untuk PPN dan, yang paling gede, Rp
1.350.000 masuk sebagai ‘biaya akses’. Pos terakhir inilah yang kemudian dibagi-bagi:
90 persen masuk ke kantong PT Sarana dan sisanya ke koperasi pegawai Departemen
Hukum dan HAM.
Laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menunjukkan,
sejak 1 Januari 2001 – 30 September 2002, terdapat 54.400 permohonan pengesahan
lewat Sisminbakum. Artinya, selama periode 21 bulan tersebut, PT Sarana meraup
Rp 66 miliar lebih, sedangkan negara hanya memungut tak sampai Rp 11 miliar.
Kejaksaan Agung menilai, pembagian yang timpang ini disepakati karena Sarana ‘membujuk’
pejabat negara menyetujui proyek ini. “Mereka tak hanya menggunakan fasilitas
negara untuk memungut uang rakyat. Tapi juga menikmatinya,” kata Jaksa Agung
Muda bidang Pidana Khusus Marwan Effendi.
Kekhawatiran adanya salah ‘persepsi’ dan larangan tayang itu
dilaporkan Bima kepada bosnya, Wakil Pemimpin Redaksi RCTI Putra Nababan. Menurut Bima, saat itu juga Putra mengontak Sururi.
Tapi Sururi tetap mendesak RCTI
agar memenuhi permintaan Hary.
Meskipun dilarang, Bima tetap membuat naskah liputan. Melalui
koordinator liputan, naskah itu diserahkan kepada Pemimpin Redaksi Arief Suditomo.
Setelah diberi catatan, naskah tersebut dikirim Arief kepada Hary melalui
faksimil. Bima sempat mengintip catatan itu: pemimpin redaksi minta izin agar
liputan Bima dapat ditayangkan. Hasilnya? Berita kutipan wawancara Bima tentang
PNBP dengan Menteri Keuangan itu tak pernah tayang di RCTI.
Kisah pelarangan ini tak dibantah oleh Sururi, tapi juga tak
dibenarkan. Ia menolak memberikan jawaban. “Kami sedang konsolidasi internal,” katanya
ketika ditemui di kantornya, Kompleks Menara Kebon Sirih. “Saya tak mau ngomong
kalau menyangkut kasus itu,” tambahnya ketika ditemui di kantornya, Kompleks
Menara Kebon Sirih dengan muka mengkerut sambil Sururi ngeloyor pergi ke sebuah
ruang pertemuan .
Pemimpin Redaksi Arief Suditomo juga tak mau berkomentar. Setelah berkali-kali
menolak permohonan wawancara, Arief akhirnya dapat ditemui di lobi salah satu
kantornya, di Menara Kebon Sirih. Dia berbaju putih mengenakan celana gelap.
Meskipun sudah bertemu muka, ia masih enggan memberi keterangan. “I don’t have anything untuk di-share. Maaf, mas,” katanya sambil memasuki kantor, melewati dua orang
petugas keamanan.
Campur tangan pemberitaan pemilik dalam kasus Sisminbakum bukan hanya
dialami RCTI tapi juga pada portal berita Okezone, juga milik MNC. Di portal ini, berita Sisminbakum pertama kali
nongol pada 14 Oktober 2008. Isinya: rencana kejaksaan mengungkap indikasi
korupsi. “Biaya akses Sisminbakum tak mengalir ke kas negara, tapi ke rekening PT
SRD,” demikian penggalan berita tersebut. Tampaknya, pada awal-awal munculnya
isu Sisminbakum, Okezone
relatif berimbang.
Tapi belakangan, apalagi sejak Romli ditahan dan peran Hartono
diributkan, menurut keterangan sumber di Okezone, saat itulah Pemimpin Umum
David Fernando Audy mulai ‘menyetir’ arah pemberitaan. Reporter diminta untuk
lebih banyak memberikan porsi kepada Sarana atau Yusril Ihza Mahendra, bekas
Menteri Hukum dan HAM yang mengambil keputusan tentang program komputerisasi
itu. Dari 80 berita Sisminbakum yang ditulis Okezone, 16
menggunakan Sarana sebagai narasumber utama dan 15 memanfaatkan Yusril. Hanya
10 yang mengutip jaksa. Itu pun separohnya dimuat sebelum Romli ditahan.
Selain ‘banting setir’, Okezone juga mencabut
berita-berita yang dianggap merugikan Sarana. Pencabutan dilakukan hingga ke
tembolok, sehingga berita yang pernah tayang tak bisa lagi dikorek-korek lagi
meskipun menggunakan mesin pencari yang canggih. Melalui mesin pencari internal
di Okezone, tercatat ada 81 berita yang memakai kata “sisminbakum”. Namun
ketika ditelusuri di mesin pencari publik, hanya tersisa 48 saja yang masih
tayang. Sisanya lenyap secara misterius.
Selain menempatkan David (ipar istrinya) sebagai pemimpin umum, Hary
juga memperbantukan Sururi, Pemimpin Redaksi Sindo, sebagai Ketua Sidang
Redaksi di Okezone. Menurut lembaga pemeringkat internet, Alexa
Internet, April 2009, Okezone
yang relatif muda usia ini, menempati urutan
ke-23 situs yang paling dikunjungi di Indonesia. Rata-rata Okezone menaikkan 300 berita per hari, termasuk berita dari tim redaksi RCTI dan Sindo.
Sama seperti Arief dan Sururi, David juga menolak memberikan
keterangan soal campur tangan Hary dalam kasus Sisminbakum. Meskipun posisinya
sebagai kepala hubungan investor MNC, anak muda yang belum berumur 30 tahun itu
sangat irit berkata-kata. “Mengapa Anda menulis soal itu?” katanya. Selebihnya,
David bungkam. Tiap kali dihubungi, telepon genggamnya tak pernah diangkat.
Sekretarisnya mengatakan jadwal rapatnya penuh. n
Catatan:
Akhir
November 2008, Dandhy mengundurkan diri dari RCTI. Manajemen RCTI menerima pengunduran
dirinya akhir
Januari 2009. Sejak Februari 2009, Dandhy menempuh jalan hidup baru sebagai
penulis lepas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar