Program Tempo Hari di Tvone (16/10)
menghadirkan perbincangan menarik dengan menghadirkan narasumber penceramah
kondang Mamah Dedeh. Program yang dipandu presenter berwajah eksotik, Fentin
Oktavi, itu membahas seputar ibadah haji.
Pertama, dibahas mengenai hukum
orang yang berhaji dengan menggunakan utang. Apakah orang boleh melakukan haji
dengan dibiayai oleh utang? Sementara orang tersebut beranggapan bahwa ia di
masa mendatang akan sanggup melunasi utangnya tersebut, yang dengan demikian ia
berarti sudah dapat digolongkan ke dalam “golongan mampu menunaikan ibadah
haji”? mengenai pertanyaan ini Mamah Dedeh memakluminya dengan menyebut bahwa
di jaman sekarang sudah ada program-program seperti yang ada di bank tertentu,
memberikan semacam “dana talangan haji” yang pada intinya adalah bank itu
memberi pinjaman uang untuk pergi haji kepada orang yang ingin berhaji (Artinya
memberikan piutang). Menurut Mamah Dedeh, selagi si pengutang itu mempunyai
harta yang nilainya setara atau lebih besar dari besaran utang untuk pergi haji
itu, maka peminjaman uang untuk pergi haji itu diperbolehkan. Sebab berarti
jika sewaktu-waktu ketika si pengutang meninggal ketika sedang berhaji, maka
utangnya tersebut bisa segera langsung dilunasi dengan menggunakan harta si pengutang
tadi. Dengan demikian si pengutang yang berhaji tadi tidak lagi mempunyai
urusan utang piutang setelah ia meninggal. Contohnya, jika untuk pergi haji
perlu duit sekitar Rp 35 juta. Maka jika seseorang ingin berhutang sebesar Rp
35 juta itu agar bisa pergi haji, ia minimal harus punya harta pula sebesar Rp
35 juta itu untuk dijadikan semacam “jaminan”, apakah itu rumah, tanah,
kendaraan, emas, dll. Jadi jika si pengutang meninggal, atau tidak dapat
melunasi utangnya, maka harta jaminan tadi dapat diambil oleh si pemberi utang
untuk dijadikan alat pelunasan utang. Jadi ibadah hajinya itu tidak dinodai
dengan segala macam sengketa utang piutang. Kendati dibolehkan pergi haji
dengan utang, tentu lebih baik dan lebih aman jika berhaji menggunakan dana tabungan sendiri
yang berasal dari sumber-sumber yang halal tentunya. Sebab bukankah panggilan
berhaji terutama dikhususkan bagi “orang-orang yang mampu”?
Sebaliknya, jika orang itu tidak
ada jaminan dapat melunasi utangnya untuk berhaji, maka ia tak boleh pergi
berhaji menggunakan utang. Sebab dengan demikian ia berarti “memaksakan diri”
untuk berhaji, karena kesanggupan untuk berangkat haji belum terpenuhi pada
dirinya.
Kedua, Mamah Dedeh bercerita
mengenai musibah yang terjadi di Mina pada musim haji tahun 1990. Ketika itu
ada sekitar 1000 lebih jamaah haji meninggal dunia dalam “chaos” yang terjadi
di sebuah terowongan di Mina yang dari dan menuju ke tempat melempar jumrah.
Beberapa ratus di antaranya adalah jamaah asal Indonesia. Mamah Dedeh yang juga
berhaji pada musim haji itu menceritakan, ia dan beberapa temannya selesai
melontar jumrah setelah salat subuh, kemudian kembali ke tenda. Beberapa waktu
kemudian, massa yang sedang melintasi terowongan sepanjang k.l. 3 km itu
setelah selesai melontar jumrah mendadak mendapati hal buruk, yaitu pasokan gas
oksigen di terowongan itu mati/terhenti. Karena pasokan oksigen makin menipis,
sementara jumlah orang di terowongan itu ribuan, maka sesak napaslah para
jamaah itu. Banyak yang kemudian pingsan dan tergeletak di jalanan terowongan
itu. Situasi makin parah karena terjadi pertemuan titik konsentrasi massa. Jamaah
yang baru masuk terowongan dengan tujuan melontar jumrah justru tersandung
badan-badan para jemaah yang pingsan itu, sehingga mereka tersungkur, panik, lalu
terinjak-injak, dan begitu seterusnya sehingga akhirnya timbullah suatu musibah
yang menelan korban jiwa begitu banyak. Petugas dari Arab Saudi sendiri saking
banyaknya korban jiwa terpaksa mengevakuasi jenazah itu menggunakan sekop besar
dan ribuan jenazah itu ditumpuk-tumpuk di luar terowongan, dengan beberapa di
antaranya ternyata ada yang masih hidup dan bernapas sehingga kemudian
cepat-cepat ditarik dari tumpukan dan diberi pertolongan pertama.
Mamah Dedeh lalu menyebut bahwa
setelah tragedi 1990 itu di tahun –tahun berikutnya masih terjadi beberapa kali
musibah, terutama di sekitar area melempar jumrah. Di dekade 90-an tempat
melempar jumrah masih satu lantai saja, sehingga massa terkonsentrasi di satu
lantai itu. Padahal di tempat yang sama ada banyak jamaah asal kawasan Timur
Tengah yang “ngemper” di sekitar lokasi melempar jumrah itu karena mereka tidak
menyewa hotel selama berhaji. Para jamaah asal Timur Tengah yang berbadan besar
itu sering tidur di sekitar lokasi melempar jumrah dengan meletakkan koper gede
di atas badan mereka. Keberadaan para jamaah asal Timur Tengah itu rupanya
menghambat jamaah yang akan melontar jumrah. Sangat sering terjadi jamaah yang
akan menuju tempat melontar jumrah harus tersandung badan para jamaah yang
tidur itu, sehingga ia akan tersungkur, jatuh ke depan, kemudian menimpa yang
di depannya, lalu terinjak-injak massa yang ada di belakangnya, lalu begitu
seterusnya sehingga akhirnya peristiwa itu menimbulkan korban bahkan termasuk
korban jiwa. Pemerintah Arab Saudi lalu mengatasi problem ini dengan membangun
tempat melontar jumrah menjadi bertingkat. Sekarang tempat melontar jumrah
terdiri atas beberapa lantai, sehingga lebih lega dan penumpukan massa di satu
titik tidak terjadi lagi.
Ketiga, masih mengenai ibadah haji
di masa lalu. Sampai akhir dekade 80-an, jamaah asal Indonesia pergi berhaji
dengan menggunakan kapal laut. Perjalanan dengan kapal laut ini bukan hal yang
gampang dan bukan sebentar pula. Setidaknya sekali perjalanan membutuhkan waktu
2,5 bulan pelayaran, artinya seorang jamaah haji menghabiskan waktu setidaknya
5 bulan hanya untuk perjalanan pergi-pulang ke Arab Saudi saja. Belum lagi
dihitung lama mereka menunaikan ibadah inti di Makkah dan sekitarnya. Maka tak
heran jika di masa lalu para jamaah asal Indonesia sering membawa semacam
keranjang superbesar (bernama “Sahra” atau
“Sahara”) yang berisi segala macam keperluan untuk sehari-hari, apakah
itu kompor, pakaian, bahan makanan, dan sebagainya yang kira-kira diperlukan
untuk bertahan hidup selama perjalanan di laut dan selama di Arab Saudi.
Begitulah beratnya menjalankan ibadah haji di masa lalu. Namun jika kita
mencermati, sesungguhnya hal ini adalah hal yang normal saja karena Nabi
Muhammad sudah memprediksinya di masa lalu. Nabi menyebut dalam haditsnya bahwa
siapa saja umat Islam yang mengetahui keutamaan berhaji, maka ia akan berusaha
mendatangi Masjidil Haram dari negeri-negeri yang sangat jauh, dengan melintasi
padang gurun yang panas dan tandus, dengan menaiki unta-unta yang kurus kering.
Prediksi itu terbukti benar jika kita melihat beratnya perjalanan ibadah haji
di Indonesia di era sebelum 90-an. Itulah beratnya perjalanan ibadah haji,
namun jika kita tahu berkah yang dijanjikan dalam ibadah tersebut maka kita
akan berlomba-lomba untuk bisa hadir di sana.
Sekarang di masa modern ini, ibadah
haji menjadi relatif lebih nyaman dan lebih ringan karena sudah ada pesawat
terbang yang hanya memakan waktu beberapa jam untuk terbang dari Tanah Air
sampai ke Arab Saudi. Maka tak heran ada beberapa orang yang punya kelapangan
rezeki bisa berhaji berkali-kali karena sekarang sudah nyaman. Ini sebenarnya
tak perlu dipersoalkan karena memang sekali orang datang ke Baitullah dan
berhaji dengan benar, maka seterusnya setelah ia pulang akan selalu merasa rindu
untuk kembali ke Baitullah itu. Maka berhajilah orang-orang itu kembali. Memang
orang dibolehkan berhaji sampai berapa kali ia mampu, namun sesungguhnya ada
yang lebih mulia dari itu, yaitu jika orang tersebut mampu menolong orang lain
(apakah itu keluarganya, temannya, atau orang di sekitarnya yang tidak mampu)
yang tidak mampu berhaji menjadi mampu berhaji dengan dibiayai olehnya.
Ketika ditanya mengenai ritual apa
yang perlu dilakukan seseorang sebelum berangkat haji, Mamah Dedeh mengatakan
sesungguhnya tak ada rangkaian perbuatan yang diharuskan sebelum pergi haji.
Yang dianjurkan hanyalah calon jamaah haji meminta maaf kepada keluarga,
kerabat, rekan kerja, tetangga, dan lain-lain sebelum pergi haji. Ritual
seperti pengajian, selamatan, dan lain-lain itu sebenarnya boleh-boleh saja
asal tidak berlebihan dan tidak sampai menimbulkan riya atau pamer kekayaan.
Masih terkait dengan pamer, Mamah
Dedeh mengatakan bahwa orang yang setelah selesai berhaji justru meminta orang
lain memanggil dirinya dengan “Pak Haji” atau “Bu Haji”, adalah tergolong ke
dalam orang yang tak mengerti agama. Dalam Islam tak ada disebutkan bahwa orang
yang telah berhaji wajib dipanggil haji atau muhajji. Tolok ukur kesuksesan
berhaji bukan pada panggilannya, tapi pada tingkah laku orang tersebut setelah
selesai berhaji. Jika ia telah berhaji dengan benar, kemudian setelah pulang ke
tanah air ia makin rajin beribadah dan makin rajin meningkatkan kesalehan
sosial kepada lingkungan sekitarnya, maka ialah yang sesungguhnya mendapat haji
yang mabrur.
Orang yang meminta dipanggil haji
setelah ia pulang haji adalah orang yang sombong, padahal sombong itu adalah
sikap setan. Haji itu adalah kewajiban umat Islam, kalau mau konsisten
seharusnya setiap ibadah lain yang telah orang itu lakukan juga dicantumkan
dalam nama/panggilannya, apakah itu solat, puasa, zakat, dst. Nabi Muhammad,
para shahabat dan kerabat nabi pun berhaji, namun tak pernah kita mendengar
Nabi Muhammad disebut dengan panggilan “Haji Muhammad”, Ali Bin Abi Thalib tak
pernah kita dengar disebut dengan “Haji Ali” dan seterusnya. Jelaslah tradisi
orang Indonesia yang menabalkan sebutan haji di depan namanya adalah suatu
sikap yang tidak mengerti agama dan suatu sikap yang tak pernah ada tuntunannya
dari Nabi Muhammad. Sebab kalau ia mengerti agama tentu ia sadar bahwa haji itu
adalah kewajibannya, dan karenanya sesudah kewajiban dilaksanakan tentu tak ada
hak dia untuk memamer-mamerkan bahwa ia telah selesai melakukan kewajiban itu.
Bukankah hakikat dari kewajiban adalah sesuatu yang harus kita lakukan, dan
setelahnya kita tunggu dengan tawakal apa ganjaran yang akan kita terima dari
selesainya kewajiban kita tersebut? Ikhlas hanya karena Allah, itulah inti dari
semua ibadah.
share dong liputan "Tempo Hari" yang tayang 13 november 2013
BalasHapuswah saya gak nonton yg episode itu mbak...lagian sebenarnya saya juga jarang nonton program ini...mungkin mbak bisa search aja videonya di youtube. makasih komennya :D
Hapus