Kamis, Oktober 17, 2013

Membahas Haji di Program Tempo Hari TVOne



Program Tempo Hari di Tvone (16/10) menghadirkan perbincangan menarik dengan menghadirkan narasumber penceramah kondang Mamah Dedeh. Program yang dipandu presenter berwajah eksotik, Fentin Oktavi, itu membahas seputar ibadah haji.

Pertama, dibahas mengenai hukum orang yang berhaji dengan menggunakan utang. Apakah orang boleh melakukan haji dengan dibiayai oleh utang? Sementara orang tersebut beranggapan bahwa ia di masa mendatang akan sanggup melunasi utangnya tersebut, yang dengan demikian ia berarti sudah dapat digolongkan ke dalam “golongan mampu menunaikan ibadah haji”? mengenai pertanyaan ini Mamah Dedeh memakluminya dengan menyebut bahwa di jaman sekarang sudah ada program-program seperti yang ada di bank tertentu, memberikan semacam “dana talangan haji” yang pada intinya adalah bank itu memberi pinjaman uang untuk pergi haji kepada orang yang ingin berhaji (Artinya memberikan piutang). Menurut Mamah Dedeh, selagi si pengutang itu mempunyai harta yang nilainya setara atau lebih besar dari besaran utang untuk pergi haji itu, maka peminjaman uang untuk pergi haji itu diperbolehkan. Sebab berarti jika sewaktu-waktu ketika si pengutang meninggal ketika sedang berhaji, maka utangnya tersebut bisa segera langsung dilunasi dengan menggunakan harta si pengutang tadi. Dengan demikian si pengutang yang berhaji tadi tidak lagi mempunyai urusan utang piutang setelah ia meninggal. Contohnya, jika untuk pergi haji perlu duit sekitar Rp 35 juta. Maka jika seseorang ingin berhutang sebesar Rp 35 juta itu agar bisa pergi haji, ia minimal harus punya harta pula sebesar Rp 35 juta itu untuk dijadikan semacam “jaminan”, apakah itu rumah, tanah, kendaraan, emas, dll. Jadi jika si pengutang meninggal, atau tidak dapat melunasi utangnya, maka harta jaminan tadi dapat diambil oleh si pemberi utang untuk dijadikan alat pelunasan utang. Jadi ibadah hajinya itu tidak dinodai dengan segala macam sengketa utang piutang. Kendati dibolehkan pergi haji dengan utang, tentu lebih baik dan lebih aman jika berhaji menggunakan dana tabungan sendiri yang berasal dari sumber-sumber yang halal tentunya. Sebab bukankah panggilan berhaji terutama dikhususkan bagi “orang-orang yang mampu”?

Sebaliknya, jika orang itu tidak ada jaminan dapat melunasi utangnya untuk berhaji, maka ia tak boleh pergi berhaji menggunakan utang. Sebab dengan demikian ia berarti “memaksakan diri” untuk berhaji, karena kesanggupan untuk berangkat haji belum terpenuhi pada dirinya.

Kedua, Mamah Dedeh bercerita mengenai musibah yang terjadi di Mina pada musim haji tahun 1990. Ketika itu ada sekitar 1000 lebih jamaah haji meninggal dunia dalam “chaos” yang terjadi di sebuah terowongan di Mina yang dari dan menuju ke tempat melempar jumrah. Beberapa ratus di antaranya adalah jamaah asal Indonesia. Mamah Dedeh yang juga berhaji pada musim haji itu menceritakan, ia dan beberapa temannya selesai melontar jumrah setelah salat subuh, kemudian kembali ke tenda. Beberapa waktu kemudian, massa yang sedang melintasi terowongan sepanjang k.l. 3 km itu setelah selesai melontar jumrah mendadak mendapati hal buruk, yaitu pasokan gas oksigen di terowongan itu mati/terhenti. Karena pasokan oksigen makin menipis, sementara jumlah orang di terowongan itu ribuan, maka sesak napaslah para jamaah itu. Banyak yang kemudian pingsan dan tergeletak di jalanan terowongan itu. Situasi makin parah karena terjadi pertemuan titik konsentrasi massa. Jamaah yang baru masuk terowongan dengan tujuan melontar jumrah justru tersandung badan-badan para jemaah yang pingsan itu, sehingga mereka tersungkur, panik, lalu terinjak-injak, dan begitu seterusnya sehingga akhirnya timbullah suatu musibah yang menelan korban jiwa begitu banyak. Petugas dari Arab Saudi sendiri saking banyaknya korban jiwa terpaksa mengevakuasi jenazah itu menggunakan sekop besar dan ribuan jenazah itu ditumpuk-tumpuk di luar terowongan, dengan beberapa di antaranya ternyata ada yang masih hidup dan bernapas sehingga kemudian cepat-cepat ditarik dari tumpukan dan diberi pertolongan pertama.

Mamah Dedeh lalu menyebut bahwa setelah tragedi 1990 itu di tahun –tahun berikutnya masih terjadi beberapa kali musibah, terutama di sekitar area melempar jumrah. Di dekade 90-an tempat melempar jumrah masih satu lantai saja, sehingga massa terkonsentrasi di satu lantai itu. Padahal di tempat yang sama ada banyak jamaah asal kawasan Timur Tengah yang “ngemper” di sekitar lokasi melempar jumrah itu karena mereka tidak menyewa hotel selama berhaji. Para jamaah asal Timur Tengah yang berbadan besar itu sering tidur di sekitar lokasi melempar jumrah dengan meletakkan koper gede di atas badan mereka. Keberadaan para jamaah asal Timur Tengah itu rupanya menghambat jamaah yang akan melontar jumrah. Sangat sering terjadi jamaah yang akan menuju tempat melontar jumrah harus tersandung badan para jamaah yang tidur itu, sehingga ia akan tersungkur, jatuh ke depan, kemudian menimpa yang di depannya, lalu terinjak-injak massa yang ada di belakangnya, lalu begitu seterusnya sehingga akhirnya peristiwa itu menimbulkan korban bahkan termasuk korban jiwa. Pemerintah Arab Saudi lalu mengatasi problem ini dengan membangun tempat melontar jumrah menjadi bertingkat. Sekarang tempat melontar jumrah terdiri atas beberapa lantai, sehingga lebih lega dan penumpukan massa di satu titik tidak terjadi lagi.

Ketiga, masih mengenai ibadah haji di masa lalu. Sampai akhir dekade 80-an, jamaah asal Indonesia pergi berhaji dengan menggunakan kapal laut. Perjalanan dengan kapal laut ini bukan hal yang gampang dan bukan sebentar pula. Setidaknya sekali perjalanan membutuhkan waktu 2,5 bulan pelayaran, artinya seorang jamaah haji menghabiskan waktu setidaknya 5 bulan hanya untuk perjalanan pergi-pulang ke Arab Saudi saja. Belum lagi dihitung lama mereka menunaikan ibadah inti di Makkah dan sekitarnya. Maka tak heran jika di masa lalu para jamaah asal Indonesia sering membawa semacam keranjang superbesar (bernama “Sahra” atau  “Sahara”) yang berisi segala macam keperluan untuk sehari-hari, apakah itu kompor, pakaian, bahan makanan, dan sebagainya yang kira-kira diperlukan untuk bertahan hidup selama perjalanan di laut dan selama di Arab Saudi. Begitulah beratnya menjalankan ibadah haji di masa lalu. Namun jika kita mencermati, sesungguhnya hal ini adalah hal yang normal saja karena Nabi Muhammad sudah memprediksinya di masa lalu. Nabi menyebut dalam haditsnya bahwa siapa saja umat Islam yang mengetahui keutamaan berhaji, maka ia akan berusaha mendatangi Masjidil Haram dari negeri-negeri yang sangat jauh, dengan melintasi padang gurun yang panas dan tandus, dengan menaiki unta-unta yang kurus kering. Prediksi itu terbukti benar jika kita melihat beratnya perjalanan ibadah haji di Indonesia di era sebelum 90-an. Itulah beratnya perjalanan ibadah haji, namun jika kita tahu berkah yang dijanjikan dalam ibadah tersebut maka kita akan berlomba-lomba untuk bisa hadir di sana.

Sekarang di masa modern ini, ibadah haji menjadi relatif lebih nyaman dan lebih ringan karena sudah ada pesawat terbang yang hanya memakan waktu beberapa jam untuk terbang dari Tanah Air sampai ke Arab Saudi. Maka tak heran ada beberapa orang yang punya kelapangan rezeki bisa berhaji berkali-kali karena sekarang sudah nyaman. Ini sebenarnya tak perlu dipersoalkan karena memang sekali orang datang ke Baitullah dan berhaji dengan benar, maka seterusnya setelah ia pulang akan selalu merasa rindu untuk kembali ke Baitullah itu. Maka berhajilah orang-orang itu kembali. Memang orang dibolehkan berhaji sampai berapa kali ia mampu, namun sesungguhnya ada yang lebih mulia dari itu, yaitu jika orang tersebut mampu menolong orang lain (apakah itu keluarganya, temannya, atau orang di sekitarnya yang tidak mampu) yang tidak mampu berhaji menjadi mampu berhaji dengan dibiayai olehnya.

Ketika ditanya mengenai ritual apa yang perlu dilakukan seseorang sebelum berangkat haji, Mamah Dedeh mengatakan sesungguhnya tak ada rangkaian perbuatan yang diharuskan sebelum pergi haji. Yang dianjurkan hanyalah calon jamaah haji meminta maaf kepada keluarga, kerabat, rekan kerja, tetangga, dan lain-lain sebelum pergi haji. Ritual seperti pengajian, selamatan, dan lain-lain itu sebenarnya boleh-boleh saja asal tidak berlebihan dan tidak sampai menimbulkan riya atau pamer kekayaan.

Masih terkait dengan pamer, Mamah Dedeh mengatakan bahwa orang yang setelah selesai berhaji justru meminta orang lain memanggil dirinya dengan “Pak Haji” atau “Bu Haji”, adalah tergolong ke dalam orang yang tak mengerti agama. Dalam Islam tak ada disebutkan bahwa orang yang telah berhaji wajib dipanggil haji atau muhajji. Tolok ukur kesuksesan berhaji bukan pada panggilannya, tapi pada tingkah laku orang tersebut setelah selesai berhaji. Jika ia telah berhaji dengan benar, kemudian setelah pulang ke tanah air ia makin rajin beribadah dan makin rajin meningkatkan kesalehan sosial kepada lingkungan sekitarnya, maka ialah yang sesungguhnya mendapat haji yang mabrur. 

Orang yang meminta dipanggil haji setelah ia pulang haji adalah orang yang sombong, padahal sombong itu adalah sikap setan. Haji itu adalah kewajiban umat Islam, kalau mau konsisten seharusnya setiap ibadah lain yang telah orang itu lakukan juga dicantumkan dalam nama/panggilannya, apakah itu solat, puasa, zakat, dst. Nabi Muhammad, para shahabat dan kerabat nabi pun berhaji, namun tak pernah kita mendengar Nabi Muhammad disebut dengan panggilan “Haji Muhammad”, Ali Bin Abi Thalib tak pernah kita dengar disebut dengan “Haji Ali” dan seterusnya. Jelaslah tradisi orang Indonesia yang menabalkan sebutan haji di depan namanya adalah suatu sikap yang tidak mengerti agama dan suatu sikap yang tak pernah ada tuntunannya dari Nabi Muhammad. Sebab kalau ia mengerti agama tentu ia sadar bahwa haji itu adalah kewajibannya, dan karenanya sesudah kewajiban dilaksanakan tentu tak ada hak dia untuk memamer-mamerkan bahwa ia telah selesai melakukan kewajiban itu. Bukankah hakikat dari kewajiban adalah sesuatu yang harus kita lakukan, dan setelahnya kita tunggu dengan tawakal apa ganjaran yang akan kita terima dari selesainya kewajiban kita tersebut? Ikhlas hanya karena Allah, itulah inti dari semua ibadah.

2 komentar:

  1. share dong liputan "Tempo Hari" yang tayang 13 november 2013

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah saya gak nonton yg episode itu mbak...lagian sebenarnya saya juga jarang nonton program ini...mungkin mbak bisa search aja videonya di youtube. makasih komennya :D

      Hapus