Jumat, Agustus 19, 2016

IMPLIKASI SOSIAL-KEAGAMAAN MUHAMMAD SEBAGAI PENUTUP UTUSAN ALLAH oleh M. Yunan Yusuf

IMPLIKASI SOSIAL-KEAGAMAAN MUHAMMAD
SEBAGAI PENUTUP UTUSAN ALLAH
 
M. Yunan Yusuf
 
 
 
Kaum muslim, apa pun mazhab dan firqah mereka, bersepakat dalam  keyakinan bahwa rasul-rasul Allah yang dikirim kepada umat manusia berakhir pada diri Nabi Muhammad SAW. Beliaulah nabi dan rasul penutup (khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in). Keyakinan seperti ini didasarkan pada firman Allah dalam al-Qur'an:  "Bukanlah Muhammad itu bapak dari salah seorang di antara kalian, dia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir." (QS Al-Azhab/33: 40).

Keyakinan bahwa Muhammad SAW penutup utusan Allah berimplikasi bahwa rentetan wahyu-wahyu Allah yang diberikan, kepada para rasul, semenjak  Nabi Adam AS, dipandang telah sempurna diturunkan di tangan Nabi Muhammad  SAW. Dengan demikian sesudah ayat terakhir dalam al-Qur'an turun, "Hari ini Aku (Allah) sempurnakan bagimu agamamu, lengkaplah untukmu nikmat-Ku dan Aku  rida bagimu Islam sebagai agama" (QS. al-Maidah: 3), berakhirlah proses penurunan wahyu dari Allah. Penjelasan ini menunjukkan bahwa terdapat evolusi di dalam agama, di mana Islam dimunculkan sebagai bentuk terakhir dan dengan demikian Islam merupakan agama yang paling memadai dan sempurna.

Di saat Nabi Muhammad masih hidup, umat Islam di zaman itu, bila  menghadapi masalah, baik dalam bidang kehidupan sosial maupun dalam bidang kehidupan keagamaan, pergi bertanya kepada Nabi bagaimana cara mengatasi dan  menyelesaikannya. Nabi Muhammad menyelesaikan masalah-masalah umat dengan  petunjuk wahyu yang beliau terima dari Allah. Namun bila wahyu tidak memberikan penjelasan apa-apa tentang masalah yang dihadapi tersebut, Nabi terkadang  menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapi dengan pemikiran dan pendapat  beliau sendiri atau terkadang melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Pemikiran dan pendapat Nabi dijumpai dalam hadits. Hadits pada hakikatnya tidak hanya mengandung pemikiran dan pendapat Nabi saja, tetapi juga perbuatan serta ketetapan Nabi tentang suatu perkara. 
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, lebih-kurang satu tahun setelah Nabi Muhammad wafat, ayat-ayat al-Qur'an yang ditulis di pelepah-pelepah tamar,  tulang, dan daun korma dikumpulkan menjadi satu kesatuan. Pada masa  pemerintahan Usman, kumpulan ayat-ayat tersebut dikodifikasi ke dalam satu kitab, dan dari kitab yang satu disalin lagi beberapa kitab untuk dikirimkan ke beberapa ibu kota daerah sebagai pegangan umat Islam di tempat mereka masing-masing. Al-Qur'an yang ada di tangan kita dewasa ini berasal dari kodifikasi masa Usman yang secara populer dikenal dengan nama Al-Mushaf al-Usmani. Sementara itu hadits dikumpulkan menjadi buku pada abad ke-3 Hijrah, 200 tahun sesudah Nabi wafat.

Setelah Nabi Muhammad wafat, tempat bertanya umat Islam bila menghadapi   masalah-masalah dalam kehidupan sosial dan keagamaan tidak ada lagi, umat di  kala itu mempunyai dua pegangan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang  mereka hadapi. Kedua pegangan ini, yakni al-Qur'an dan hadits Nabi, dipergunakan    oleh umat Islam generasi pertama itu menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Di masa beliau masih hidup, Nabi Muhammad memang pernah memperingatkan mereka tentang kedua pegangan ini: "Aku tinggalkan bagimu bagi pedoman, dan kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang pada keduanya,  yakni Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya."

Predikat Muhammad sebagai khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in, penutup para nabi dan rasul, dengan kitab suci al-Qur'an di tangan beliau, juga sebagai  pamungkas wahyu-wahyu Allah, oleh manusia dipandang sudah mencapai tingkat  kedewasaan rasional dan oleh karena itu wahyu tidak akan diturunkan lagi. Namun di balik itu umat manusia, demikian Fazlur Rahman, masih mengalami  kebingungan moral, dan karena moral mereka tidak dapat mengimbangi derap   kemajuan sains dan teknologi yang perkembangannya begitu cepat dan mencakup  berbagai bidang kehidupan, maka setiap orang, agar tercapai kedewasaan moral, selalu tergantung kepada perjuangannya yang terus-menerus untuk mencari  petunjuk dari kitab-kitab Allah --khususnya al-Qur'an-- yang di dalamnya seluruh   wahyu Allah sudah disempurnakan turunnya.

Bila pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, umat muslim menjadikan beliau narasumber, tempat bertanya, untuk menjawab persoalan-persoalan sosial dan keagamaan mereka. Dan ketika beliau sudah tidak ada lagi yang dijadikan sebagai tempat bertanya masalah-masalah sosial dan keagamaan umat Islam, maka umat Islam haruslah senantiasa merujuk dua pedoman yang ditinggalkan oleh beliau, yakni al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Malah bukan itu saja, semasa beliau masih hidup, beliau pernah berpesan, bila menghadapi masalah-masalah "technical know how" dalam kehidupan, itu menjadi wewenang kaum muslim. Tidak ada sangkut pautnya dengan tugas risalah yang beliau bawa. Hadits mengatakan, "Kamu lebih tahu tentang masalah-masalah duniamu."

Sesuai dengan petunjuk yang ditinggalkan oleh Nabi, maka umat Islam paska-Nabi, mengacu penyelesaian ke dalam al-Qur'an dan Sunnah atas masalah-masalah yang mereka jumpai. Tetapi dengan cepat dapat dirasakan dan diketahui oleh mereka bahwa banyak sekali masalah yang dijumpai dalam kehidupan mereka sehari-hari tidak diberikan penyelesaiannya dalam al-Qur'an dan Sunnah. Bahkan  tidak jarang masalah-masalah yang muncul tersebut tidak disebut oleh al-Qur'an dan Sunnah.

Situasi seperti itu ditemui oleh kaum muslim generasi pertama tersebut manakala Islam sudah meluas ke luar Semenanjung Arabia dan masuk ke Suriah, Palestina, Mesopotamia, Persia, Mesir, dan Afrika Utara. Problema-problema yang dihadapi oleh kaum muslim bertambah banyak, bertambah ragamnya, dan    bertambah kepelikannya.

Secara geografis, daerah kekuasaan Islam pada waktu kewafatan Nabi Muhammad tahun 632 M hanya Semenanjung Arabia yang tandus, dengan etnis  Arab yang mempunyai kehidupan dan kebudayaan sederhana sekali. Tetapi ketika  berbagai kawasan sudah ditaklukkan oleh kekuatan politik Islam terutama di masa
pemerintahan Umar bin Khattab serta dua dinasti besar Umayyah dan Abbasiyah,  daerah kekuasaan Islam tidak lagi hanya penduduk yang satu kebangsaannya, yakni  Arab, dan satu agamanya, yaitu Islam, tetapi penduduknya terdiri dari berbagai bangsa dan menganut berbagai agama, terutama Kristen, Yahudi, Zoroaster, di samping juga memakai bahasa yang saling berbeda dengan satu sama lain. Maka  masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat yang beraneka ragam itu sangat berbeda dengan masalah-masalah yang timbul tatkala umat Islam masih berada di Madinah.

Inilah yang digambarkan oleh Ali Hasan Abdul Qadir yang mengatakan,  "Sekiranya bangsa Arab tetap tinggal di semenanjung mereka dan tidak keluar dari sana, mereka tidak akan menghadapi masalah-masalah yang pelik. Tetapi  kekuasaan Islam dengan tiba-tiba meluas ke seberang batas-batas Semenanjung Arabia dan tunduk kepadanya umat dan bangsa yang berbeda-beda yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang berlainan dengan apa yang dimiliki oleh bangsa  Arab. Dengan adanya kontak dan perang dengan bangsa-bangsa itu timbullah banyak masalah baru, baik dalam bidang keakhiratan maupun dalam bidang  keduniaan, masalah-masalah yang tak pernah terlintas dalam pikiran mereka."

Demikianlah setelah Muhammad Rasulullah sudah tiada lagi, petunjuk Allah  hanya bisa diperoleh dengan selalu melakukan rujukan pada al-Qur'an dan Hadits  yang ditinggalkan oleh Muhammad s.a.w. itu. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh beliau, selama umat Islam berpegang teguh dengan kedua sumber tersebut umat  Islam tidak akan sesat. Oleh sebab itu setiap kaum beriman mempunyai kewajiban  untuk secara terus-menerus mempelajari dan memahami al-Qur'an dan hadits  untuk mendapatkan kebenaran yang dikandungnya, yang dengan kebenaran itu arah moral kehidupan menjadi jelas.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa posisi Muhammad sebagai penutup utusan Allah tersebut mengandung makna penyerahan mandat kepada kaum muslim untuk mengatur kehidupan sosial dan keagamaan mereka dengan selalu merujuk  kepada dua sumber, al-Qur'an dan hadits. Malah bila al-Qur'an dan hadits tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi, kaum muslim boleh mempergunakan al-ra 'yu atau ijtihad mereka.

Segera setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islam dihadapkan kepada masalah yang cukup pelik, yang tak pernah timbul di kala Nabi masih hidup serta tak dijumpai cara penyelesaiannya dalam al-Qur'an, yakni masalah suksesi. Siapa yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah. Sebagai diketahui Madinah telah menjadi ibu kota dari negara yang bercorak konfederasi dari suku-suku bangsa Arab yang terdapat di Semenanjung Arabia di kala itu. Jadi ketika beliau wafat, beliau mempunyai kedudukan bukan saja sebagai Rasul Allah, tetapi juga sebagai kepala negara.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, para mutasrikh mencatat, telah terjadi  pertemuan antara pemuka-pemuka Muhajirin dan Anshar di Saqirah Bani Sa'adah. Karena tidak adanya petunjuk yang jelas dalam al-Qur'an tentang siapa pengganti  Nabi sebagai kepala negara Madinah tersebut, nyaris pertemuan itu menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.

Kaum Anshar memajukan argumen pertolongan yang mereka berikan kepada Nabi sehingga beliau berhasil menaklukkan Makkah dan menyebarkan Islam di   seluruh Semenanjung Arabia. Kaum Muhajirin mengajukan pula argumentasi  mereka, yakni karena merekalah orang yang pertama-tama mendukung dakwah  Nabi Muhammad. Andaikata mereka tidak ada, tidak akan mungkin Islam berkembang dari jumlah yang sangat kecil, namun lama-kelamaan bertambah besar. Di samping argumen di atas, kaum Muhajirin juga membawa perkataan Nabi "al-Aimmah min Quraisy" (Para pemimpin itu dari suku Quraisy) serta perbuatan Nabi,  yakni mewakilkan pelaksanaan tugas menjadi imam salat kepada Abu Bakar, yang orang Quraisy itu, ketika beliau sakit. Terhadap argumen-argumen yang diajukan  oleh kaum Muhajirin itu, kaum Anshar mundur, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai  khalifah pertama, pengganti Nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara. Jabatan itu pun ketika itu disebut dengan khalifatu Rasulillah.

Di sini timbul pertanyaan, kenapa orang-orang Anshar mundur dari maksud mereka untuk menjadi khalifah? Karena di dalam memajukan argumen, maka  argumen yang dianggap kuat adalah argumen yang mempunyai referensi al-Qur'an  dan hadits. Kaum Anshar tidak mempunyai argumen itu, mereka hanya mempunyai argumen rasional. Sebaliknya kaum Muhajirin mempunyai argumen perkataan dan perbuatan Nabi. Hadits "para pemimpin harus dari suku Quraisy'" ternyata mendominasi pemikiran Islam semenjak Abu Bakar sebagai khalifah, sampai berabad-abad lamanya, dan pemikiran ini dianut di kalangan Sunni.

Bagaimana sebenarnya penjelasan al-Qur'an tentang suksesi tersebut?  Karena tidak ada penjelasan yang tegas, timbullah berbagai pendapat, sebagai lawan dari pendapat yang menyatakan bahwa para pemimpin dari suku Quraisy. Kaum Syi'ah umpamanya, lebih spesifik dalam pandangan mereka tentang suksesi ini yakni  haruslah dari keluarga sedarah yang terdekat dengan Nabi. Maka para imam dari  kaum Syi'ah, memang rentetan keturunan yang mempunyai hubungan darah  dengan Nabi, yang dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi sendiri. Berbeda dengan kedua pandangan Sunni dan Syi'ah tersebut, kaum Khawarij mengatakan bahwa pengganti Nabi tidaklah mesti dari suku Quraisy atau pun dari keturunan Nabi sendiri. Siapa saja dari kaum muslim, bukan Arab sekalipun, kalau memenuhi persyaratan sebagai pemimpin ia boleh menggantikan Nabi sebagai kepala negara tersebut. Pendapat Khawarij ini, dalam perkembangan berikutnya, terutama  sesudah abad XVI M, dianut oleh Sunni.

Masalah pelik kedua yang dihadapi oleh kaum muslim masa awal itu adalah  masalah siapa yang disebut mukmin dan siapa yang disebut kafir. Al-Qur'an dan  hadits Nabi memang memberikan kriteria-kriteria tentang mukmin dan kufur. Namun karena tidak adanya penjelasan yang pasti tentang itu, menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda pula.

Persoalan mukmin dan kafir dimunculkan oleh kaum Khawarij ke permukaan. Berawal dari terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin Affan, yang   kemudian memunculkan protes keras terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib selaku khalifah keempat, karena tidak mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan. Malah lebih ekstrem lagi, Ali bin Abi Thalib dituduh berkolaborasi dengan para pemberontak yang menggulingkan Usman bin Affan.

Persengketaan itu kemudian diselesaikan dengan jalan tahkim antara Ali bin Abi Thalib dengan wakilnya Abu Musa al-Asy'ari dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dengan wakilnya Amr bin 'Ash. Jalan tahkim yang dipergunakan menyelesaikan  persoalan tersebut ditolak oleh sebagian dari pasukan Ali yang kemudian dikenal dengan nama Khawarij. Menurut mereka tahkim itu adalah tradisi jahiliyah, bukan penyelesaian dengan jalan berpedoman kepada apa yang diturunkan oleh Allah, yakni al-Qur'an. Maka dengan membawa ayat 44 surat al-Maidah, "Siapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, mereka adalah orang kafir." Dengan dasar pandangan itu Khawarij kemudian memutuskan bahwa Ali, Mu'awiyah, Amr, dan Abu Musa sudah kafir. Orang muslim yang kemudian beralih  menjadi kafir berarti murtad. Pesan Nabi orang murtad darahnya halal dan wajib dibunuh. Maka mereka memutuskan untuk membunuh keempat-empat tokoh tersebut.

Dalam perkembangannya timbul masalah baru, apakah orang mukmin yang  melakukan dosa besar tetap mukmin? Karena mereka merupakan kelompok  sempalan dalam Dinasti Umayyah, mereka menganggap bahwa pemuka-pemuka  Dinasti Bani Umayyah sudah berbuat kezaliman dan oleh karena itu telah berbuat dosa besar. Para penguasa Islam bila sudah berbuat dosa besar, itu berarti tidak sah  lagi menjadi khalifah. Demikian kaum Khawarij memasukkan semua perbuatan  dosa besar, seperti berzina, bersumpah palsu, mendurhakai ibu-bapa, syirik, mengakibatkan seseorang sudah menjadi kafir. 

Sebagai reaksi terhadap pendapat sempit dan ekstrem di atas, sebagian kaum muslim berpendapat bahwa yang disebut mukmin dan muslim adalah orang-orang  yang sudah mengucap dua kalimat syahadat "La ilaha illa 'l-Lah wa Muhammad Rasul-u 'l-Lah" (Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah). Dosa besar yang dilakukan tidak mempengaruhi imannya. Dalam sejarah teologi  Islam, golongan yang menganut paham ini dikenal dengan nama Murji'ah. Kaum Murji'ah memandang orang yang telah melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak  menjadi kafir. Berbeda dengan Khawarij, Murji'ah memandang pemuka-pemuka Bani Umayyah tetap sah menjadi khalifah.

Kemudian timbul paham ketiga, yakni bila seseorang yang mengucap dua  kalimat syahadat itu melakukan dosa besar, ia hanya boleh disebut muslim. Di sini  dibedakan antara mukmin dengan muslim. Mukmin adalah muslim yang tidak melakukan dosa besar, sedangkan muslim adalah orang Islam yang melakukan dosa
besar. Paham ini dianut oleh Mu'tazilah. Mereka memberi predikat orang muslim itu dengan fasiq, yang menempati posisi antara tidak mukmin dan tidak kafir. Paham ini kemudian masuk dalam doktrin dasar mereka al-Ushul al-Khamsah, yakni al-Manzilat bayn al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi).
Dua kasus di atas, pertama tentang masalah politik kenegaraan dan masalah teologi, memperlihatkan, betapa generasi muslim pertama itu menunjukkan  bagaimana cara mereka menghadapi masalah-masalah sosial dan keagamaan, di  kala Nabi Muhammad tidak ada lagi.

Wahyu memang sudah berhenti turun. Allah tidak akan menurunkan wahyu baru lagi dan tidak membangkitkan seorang rasul utusan sesudah Muhammad. Oleh  sebab itu tidak ada otoritas pribadi mana pun yang mengatasnamakan Tuhan bahwa dialah pembawa dan penterjemah yang paling sah dari wahyu-wahyu Tuhan dalam al-Qur'an dan segala perkataan dan perbuatan serta ketetapan Nabi sebagai yang termaktub dalam hadits beliau.


Dengan tetap berpedoman pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, kaum muslim   telah diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam  kehidupan sosial dan keagamaan mereka dengan mengerahkan ra'yu atau pemikiran dalam bentuk ijtihad. Dan memang Muhammad SAW, penutup utusan Allah itu, pernah berkata, bahwa tidak ada yang salah (kerugian) dalam ber-ijtihad. Bila  ijtihad-nya benar akan mendapat dua pahala, dan bila ijtihad-nya salah masih  diberi satu pahala. Persoalan angkatan kita sekarang ini adalah bagaimana memunculkan orang-orang yang mempunyai kapasitas untuk mampu melakukan ijtihad tersebut.


sumber: buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah; media ISNET

Senin, Juli 07, 2014

yang dilakukan orang ketika menunggu berbuka menurut Cak Lontong

Dari 100 orang yang saya survei ketika sedang menunggu waktu berbuka/ngabuburit, didapat 3 alasan mengapa mereka ngabuburit.

60 orang mengatakan alasannya adalah menunggu waktu berbuka. 30 orang mengatakan alasannya adalah menunggu azan maghrib. Sedangkan 10 orang mengatakan alasannya adalah menunggu waktu azan maghrib.

Anda salah jika mengira 3 alasan di atas maksudnya sama semua, yaitu sama-sama menunggu waktu berbuka. Hanya yang 60 orang saja yang betul-betul menunggu waktu berbuka puasa. Sedangkan 30 orang yang menunggu azan magrib bukan karena mau berbuka puasa, tapi karena ketika azan magrib tiba dia disuruh pulang ke rumah.

Sedangkan 10 orang yang menunggu waktu azan magrib bukan berarti menunggu waktu berbuka. Tetapi mereka menunggu waktu azan magrib karena mereka ditugasi untuk mengumandangkan azan di mesjid.

Survei saya selanjutnya menanyakan apa yang 100 orang tersebut lakukan ketika sedang menunggu waktu berbuka. 50 orang menjawab ngobrol, sedangkan 50 orang lainnya menjawab ngobrol dengan 50 orang tadi.

Sabtu, Mei 17, 2014

Rasa malu, rasa bersalah

ANTARA KEJUJURAN DAN RASA MALU


Oleh: M Zaid Wahyudi 

(Harian Kompas, 3 Mei 2014)

=====

Az, salah satu tersangka kekerasan seksual di Jakarta International School, tewas setelah meminum cairan pembersih lantai di toilet Polda Metro Jaya, Sabtu (26/4). Polisi menduga, ia bunuh diri, malu atas perbuatannya. Pada secarik kertas yang ditunjukkan polisi, Az menulis pernah melakukannya sekali.



Secara universal, dorongan seksual terhadap anak dan bunuh diri adalah sesuatu yang terlarang, tak bisa dibenarkan. Namun, pengakuan Az seperti yang ditunjukkan polisi memperlihatkan masih adanya rasa malu dan kejujuran dalam dirinya.


Kondisi berbeda dipertontonkan sebagian tersangka korupsi. Dengan tersenyum dan melambaikan tangan, mereka keluar gedung Komisi Pemberantasan Korupsi seusai pemeriksaan. Dalam persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi, mereka pun enggan mengakui perbuatannya meski sudah disumpah berdasar kitab suci.


Psikolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmad Hidayat, Rabu (30/4), mengatakan, rasa malu dan bersalah merupakan fenomena yang berbeda pada setiap budaya. Mengutip disertasi Seger Breugelmans di Universitas Tillburg, Belanda, berjudul Cross-cultural Non (Equivalence) in Emotion: Studies of Shame and Guilt, 2004, bangsa Barat dan Timur punya persepsi berbeda atas rasa malu.


Masyarakat Eropa (studi di Belgia) mengaitkan rasa malu dengan sesuatu yang normatif, benar atau salah berdasar norma yang berlaku. Sementara masyarakat timur (studi di DI Yogyakarta) menempatkan rasa malu berdasar relasi sosialnya, apakah bisa diterima atau ditolak lingkungannya. Bukan perkara benar-salah.

“Ukurannya patut atau tidak secara sosial. Rujukannya, apakah perbuatan itu biasa dilakukan orang lain di lingkungannya atau tidak,” katanya. Pada konteks itu, sikap kelompok afiliasinya menjadi penting.


Pada kasus Az, Rahmat menduga rasa malu lebih dominan menjadi pendorong bunuh diri, bukan rasa bersalah. Dasarnya, budaya Indonesia memandang membuka bagian tubuh orang lain, apalagi sampai melakukan kekerasan seksual adalah hal memalukan.


Malu adalah aspek emosi, sedangkan rasa bersalah merupakan aspek kognisi yang terkait dengan kemampuan berpikir.


Sementara, bagi koruptor, hal yang memalukan bukanlah perbuatan korupsinya. Namun, apakah ia masih diterima atau tidak oleh lingkungannya. Inilah yang akhirnya jadi persoalan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. “Korupsi tak lagi dianggap aib diri,” ujarnya.


Pada banyak kasus, uang hasil korupsi tak dinikmati pelaku sendiri, tetapi juga lingkungan sekitarnya, langsung atau tidak langsung. Meski koruptor telah dipenjara, dukungan dari orang-orang di sekitarnya, baik keluarga maupun rekan-rekan di partai politik, tetap mengalir dan dielu-elukan. Bahkan, ada koruptor yang bisa melantik anak buah dalam penjara.


Otak


Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak mengatakan, rasa malu dan kejujuran diproses pada bagian otak yang sama, yaitu korteks prefrontal, khususnya daerah orbitofrontal. Bagian itu di belakang mata dan secara umum mengatur moral manusia.


Pada Az, rasa malu muncul sebagai buah konflik batin karena ia dikenal lingkungannya sebagai orang taat beragama. Namun, Az tidak berusaha merasionalkan atau mencari pembenaran atas perbuatannya, misalnya karena dipaksa teman.


Sementara, pada koruptor, rasa malunya hilang karena tertekan upaya rasionalisasi atau pembenaran tindak pidana korupsinya. Pembenaran korupsi itu biasanya berdasar dalih uang hasil korupsinya untuk partai, keluarga, atau disumbangkan.


Taufiq menegaskan, rasionalisasi atau proses pembenaran tindakan sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan diri saat manusia terancam. Proses itu bertujuan positif, misalnya sebagian orang yang kemalingan atau kecopetan memaknai musibah itu sebagai teguran Tuhan untuk lebih banyak beramal.


Namun, pada sebagian orang termasuk koruptor, pembenaran justru dilakukan untuk tindakan yang jelas salah. Contohnya, seseorang korupsi karena keluarga, lingkungan sosial, atau partai politiknya butuh uang itu.


“Proses rasionalisasi dan mekanisme bertahan diri dimaknai berbeda oleh Az dan koruptor,” katanya.


Budaya korupsi


Amich Alhumami dalam "Korupsi, Perspektif Antropologi" (Kompas, 15 Desember 2008) menulis, dalam konteks budaya yang berlainan, korupsi bisa dimaknai berbeda. Pada wacana modern, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, lembaga publik, dan kewenangan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi, manfaat ekonomi, atau keuntungan finansial lainnya.


Pada konteks budaya negara patrilineal, pengertian korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi tak berlaku. Pada masyarakat patrinileal itu, kekuasaan telah mengalami personalisasi, jabatan publik dianggap milik pribadi. Karena itu, mengalokasikan sumber daya publik (aset ekonomi, pekerjaanm dan dana) kepada keluarga, kerabat, teman, dan kroni dianggap lumrah.


Selain itu, dalam masyarakat tradisional, pemberian barang atau uang yang dalam wacana korupsi disebut gratifikasi merupakan simbolisasi dan pengikat relasi sosial. Budaya saling memberi bukan dianggap sebagai sogokan, melainkan wujud terima kasih.


Namun, masyarakat modern memaknainya berbeda. Gratifikasi dimaknai sebagai korupsi karena dimanfaatkan untuk memperlancar urusan dan mempermudah penyelesaian masalah. Fungsi sosial tukar hadiah diselewengkan menjadi uang suap/pelicin yang jelas bertentangan dengan moral publik dan etika sosial.


Kondisi itu membuat pemberantasan korupsi di Indonesia makin sulit karena budaya masyarakat belum mendukung. Sebagian masyarakat justru menganggap koruptor sebagai “pahlawan” dan korupsi sebagai hal biasa. Tidak memalukan.


Meski demikan, Rahmat menilai pandangan masyarakat terhadap korupsi bisa diubah. Pandangan korupsi sebagai aib, sebuah tindakan memalukan yang menghilangkan harga diri, bisa dibangun. Sikap malu itu berlaku bukan hanya bagi koruptor, melainkan juga bagi orang-orang yang berhubungan dengan koruptor.


“Jika rasa malu menjenguk koruptor bisa dibangun, itu akan lebih efektif sebagai sanksi moral dan sosial bagi koruptor dibandingkan dengan memberi koruptor pakaian khusus,” tuturnya.


Upaya membangun rasa malu itu akan lebih efektif melalui sistem, bukan dengan membangun karakter masyarakat. Menurut Rahmat, pembangunan karakter dengan pendekatan psikologis selalu lebih sulit.


Taufiq menambahkan, masyarakat tak terbiasa dengan rasa malu karena sistem yang belum mendukung. Hukuman bagi koruptor dianggap masih terlalu rendah. Selain itu, rasa malu individu sulit ditumbuhkan karena korupsi banyak yang dilakukan bersama-sama.


Pendidikan memegang peranan penting dalam menumbuhkan rasa malu atas dasar benar salah sesuai norma yang berlaku. Namun, pendidikan di Indonesia belum mampu menumbuhkan rasa malu itu sebagai bagian dari perilaku publik.


Budaya patrilineal masyarakat Indonesia membuat kekerabatan antarmasyarakat sangat kuat. Pada sistem kekerabatan itu, upaya penyamaan atau meniru orang lain mudah dilakukan, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu, untuk mengubah budaya dengan membangun perilaku positif, butuh figur teladan yang sangat kuat.


Persoalannya, masyarakat saat ini kekurangan figur teladan baik dalam masyarakat. Bahkan, guru-guru di sekolah yang seharusnya jadi panutan siswa agar punya rasa malu atas pelanggaran terhadap norma justru mendorong siswa mencontek dalam ujian nasional.


“Budaya malu tak bisa diajarkan karena bukan teori. Tapi harus dicontohkan sebagai keterampilan hidup,” ujarnya.


Selain itu, penegakan hukum juga perlu diperkuat. Hukuman bagi koruptor pun perlu diperberat. Gerakan sosial masyarakat yang anti korupsi juga perlu terus dibangun sebagai alat kontrol masyarakat. Tak sebatas menunggu penegakan hukum.

Minggu, Mei 11, 2014

Pekan Penentuan

Sebelum Liga Utama Inggris musim 2013/2014 bergulir, saya pesimis di musim ini liga Inggris akan berjalan seru. Hal ini didasari pada hasil liga Inggris musim sebelumnya yaitu 2012/13, dimana di musim itu secara menjemukan sang juara Manchester United begitu mendominasi dari awal hingga akhir musim. Saya yakin kondisi itu akan berulang di 2013/14, karena walaupun nahkoda MU sudah berganti dari Alex Ferguson ke tangan David Moyes, toh pemainnya kan pemain yang itu-itu juga, bahkan ada tambahan pemain bintang baru yang didatangkan. Tapi pemikiran saya itu ternyata salah, terbukti musim 2013/14 ini amat seru, dan mungkin menjadi salah satu musim liga Inggris yang paling ketat sepanjang sejarah.

Kepastian siapa yang akan menjuarai Liga Inggris musim ini ternyata baru bisa diketahui pada pekan terakhir liga, yaitu pekan ini (10 Mei zona waktu Inggris). Klub yang masih berpeluang menjadi juara sekarang tinggal 2 klub, yaitu si pemuncak klasemen sementara Manchester City, atau runner up sementara Liverpool. City sekarang unggul 2 poin atas Liverpool, dan di partai penentuan minggu ini (melawan West Ham United di kandang sendiri), City cukup mencari hasil seri atas lawannya tersebut. Jika City bermain imbang, maka hampir pasti mereka akan merengkuh gelar juara Liga Inggris 2013/2014. Sebab sekalipun di waktu yang bersamaan Liverpool menang atas Newcastle United (yang akan membuat poin City dan Liverpool menjadi sama banyak), perbedaan selisih gol City dengan Liverpool yang mencapai 13 gol akan menyulitkan Liverpool. Liverpool harus menang dengan selisih 13 gol ke atas dari Newcastle, baru mereka bisa menjadi juara jika di tempat lain City imbang dengan West Ham. Dan menang dengan skor 13-0 di era sepakbola profesional modern kasta tertinggi saat ini, walaupun bukan mustahil, tapi amat jarang terjadi. Maka wajarlah apabila pelatih City Manuel Pellegrini mulai berkoar-koar bicara soal juara liga setelah mereka mengambil alih pucuk klasemen dari tangan Liverpool tengah pekan lalu.

Liga Inggris musim ini memang menunjukkan persaingan yang amat ketat dan sering menghadirkan kejutan-kejutan. Sang juara bertahan, MU, babak belur di sepanjang musim, dan siapa sangka untuk menggapai tiket ke Liga Champions musim depan saja pun mereka tak mampu. Persaingan menuju gelar juara Liga Inggris, untuk pertama kalinya sejak belasan tahun lalu, tidak mengikutsertakan MU sebagai salah satu kuda pacunya.

Persaingan menuju gelar juara musim ini secara umum dikuasai oleh 3 tim, yaitu City, Liverpool, dan Chelsea. Di awal musim sebenarnya Arsenal cukup bagus performanya dan sempat bersaing memperebutkan posisi puncak klasemen. Tapi seperti musim-musim sebelumnya, Arsenal selalu kedodoran menjelang pertengahan musim. Dan akhirnya seperti biasa pula, apa yang Arsenal dapatkan di akhir musim tak lebih dari selembar tiket ke Liga Champions.

Yang amat mengejutkan, dan betul-betul di luar ekspektasi adalah Liverpool. Tim asuhan Brendan Rodgers ini di awal musim hanya menargetkan posisi 4 besar, agar musim depan dapat lolos ke Liga Champions, suatu kompetisi yang sudah cukup lama mereka tak berpartisipasi di dalamnya. Namun pencapaian Liverpool musim ini ternyata melebihi target yang mereka tetapkan sendiri. The Reds secara tak terduga muncul sebagai salah satu penantang utama dalam perebutan gelar juara Liga Inggris 2013/14. Mereka saat ini tinggal menunggu takdir untuk memutus puasa gelar Liga, yang terakhir kali mereka raih 14 tahun lalu. Waktu yang begitu lama, bahkan Raheem Sterling dan Philippe Coutinho, dua pemain muda andalan Liverpool musim ini, belum lahir ketika Liverpool menjuarai Liga terakhir kali.

Musim ini harus saya katakan sebagai momentum terbaik Liverpool untuk menjadi juara Liga Inggris. Tak seperti tim-tim seperti MU atau Chelsea, jika Liverpool gagal juara musim ini, saya ragu musim depan Liverpool bakal bisa terus bersaing memperebutkan gelar liga seperti yang mereka lakukan musim ini. Di musim ini, Liverpool melaju begitu mulus sejak awal musim dan mencatat sejumlah rekor. Kekompakan tim juga terjaga dengan cukup baik di bawah kendali Rodgers dan kapten Steven Gerrard. Duet SAS--(Luis) Suarez and (Daniel) Sturridge--tampil begitu tajam musim ini, bahkan Suarez saat ini memimpin daftar pencetak gol Liga Inggris dan telah dinobatkan sebagai pemain terbaik Liga Inggris musim ini versi pilihan pemain-pemain Liga Inggris. Secara penampilan mereka juga amat meyakinkan dengan mencatat kemenangan-kemenangan atas sesama tim kandidat juara maupun atas sesama tim papan atas. Artinya Liverpool amat kompetitif musim ini.

Sayangnya sekarang momentum tidak berada di tangan Liverpool. Untuk menjadi juara, mereka tidak bisa bergantung pada usaha sendiri, melainkan masih harus menggantungkan harapan pada hasil akhir pertandingan sang rival, Manchester City. Saya amat menyayangkan jika musim ini Liverpool gagal juara Liga. Sebab sesungguhnya laju Liverpool begitu mulus, bahkan mereka sempat tak terkalahkan di liga sejak  2014. Sampai akhirnya datanglah momen ketika satu kekalahan memutus rekor ciamik tersebut, sekaligus menjatuhkan mental Liverpool.

Kekalahan itu adalah kekalahan Liverpool dari sesama kandidat juara, Chelsea, di kandang sendiri dengan skor 2-0, akhir April lalu. Itulah kekalahan pertama Liverpool di tahun 2014, mengakhiri rentetan laga tanpa ternodai kekalahan yang susah payah mereka pertahankan sejak awal tahun. Sedihnya, kekalahan itu justru dituai di kandang sendiri (stadion Anfield), dan ketika mereka dalam momentum yang begitu bagus untuk merebut 3 angka pada pertandingan itu. Momentum bagus, karena Chelsea di saat itu harus terbelah konsentrasinya antara Liga Inggris dengan semifinal Liga Champions. Pelatih Chelsea Jose Mourinho akhirnya lebih memprioritaskan Liga Champions dan memutuskan menurunkan pemain lapis kedua untuk melawan Liverpool. Namun, di luar prediksi justru skuad lapis kedua ini (yang sempat dikritik oleh pelatih City Pellegrini karena menganggap Mou melepas laga dan merusak persaingan) mampu memetik tiga poin atas Liverpool. Kekalahan dari Chelsea inilah yang menurut saya menjadi titik balik perubahan peruntungan Liverpool musim ini, dari menjemput takdir menjadi juara menjadi menunggu takdir. Memang setelah laga versus Chelsea itu ada satu laga lagi yang mengharu birukan Liverpool , yaitu ketika imbang 3-3 versus Crystal Palace. Laga yang merupakan kebalikan drama Istanbul ketika Liverpool juara Liga Champions 2004/05 itu mampu membuat Suarez meneteskan air mata karena nasib sial betul-betul menimpa Liverpool saat itu, dan parahnya nasib sial itu justru menimpa mereka di pekan-pekan kritis Liga Inggris, dan membuat langkah Liverpool menuju gelar juara makin berat. Tapi secara keseluruhan saya beranggapan, kekalahan 0-2 dari Chelsea-lah yang patut dicatat sebagai faktor utama kegagalan Liverpool musim ini (jika tak berhasil juara Liga).

Adapun Manchester City, sekalipun di musim ini mulai melakukan "Spanyolisasi" tapi tidak terlalu terlihat progresnya di sepanjang musim ini. Betul produktivitas gol Manchester City begitu mengerikan musim ini, dan mereka sering berpesta gol atas lawan-lawan mereka, tapi secara keseluruhan baru di akhir musim inilah Manchester City stabil di puncak klasemen. Di awal musim saja City pernah secara mengejutkan dibekuk tim promosi Cardiff City kandang sendiri. The Citizens boleh dibilang berada di bawah bayang-bayang persaingan ketat Chelsea dan Liverpool, dan secara tak terduga di akhir musim Citizens menyeruak sebagai penyandang pole position dalam balapan merebut gelar liga Inggris. Keberhasilan City merebut puncak klasemen memang tak terjadi secara meyakinkan, boleh dikata mereka bisa meraihnya hanya gara-gara nasib sial yang menimpa dua rival mereka, terutama nasib sial Liverpool. 

Hari ini, Liverpool akan menantang Newcastle, dan City menghadapi West Ham. Dua-duanya sama-sama di kandang si kandidat juara. Rekor pertemuan Liverpool maupun City dalam menghadapi lawan-lawannya itu cukup baik, dimana mereka sering mencatat kemenangan atas lawan mereka tersebut. Dari lima pertandingan terakhir, baik Newcastle maupun West Ham juga sama-sama tidak meyakinkan, yaitu lebih sering kalah ketimbang menang. Jadi patut diprediksi bahwa Liverpool dan City sama-sama akan merebut 3 poin nanti malam. Dengan kondisi seperti itu, maka City-lah yang akan menjuarai liga musim ini.

Kondisi ini akan mengulang musim 2011/12, dimana ketika itu City dan MU bersaing sampai pekan terakhir. Poin City dan MU ketika itu sama, dan City unggul selisih gol. MU yang menghadapi Sunderland sukses memenangi laga tersebut, dan di tempat lain di Etihad Stadium (kandang City), City hampir saja gagal menjadi juara liga Inggris karena tertinggal 1-2 dari tim juru kunci  Queens Park Rangers sampai menit-menit akhir. Sampai akhirnya terjadi keajaiban, muncullah Edin Dzeko yang mencetak gol di masa injury time untuk membuat skor 2-2, dan Sergio Aguero menjadi pahlawan City dengan mencetak gol terpenting City di musim 2011/12 di detik akhir pertandingan. Keajaiban itu menurut saya memang harus diupayakan oleh City, sebab musim itu adalah musim terbaik City untuk menjuarai liga Inggris. Jika mereka tak juara di musim itu, belum tentu musim depan mereka bisa dalam posisi yang sama baiknya dalam bersaing di Liga Inggris. Dan jika mereka tak juara di musim itu karena kalah dari QPR di kandang, tentu itu amat menyakitkan. Sebab pertandingan dilangsungkan di Etihad di mana sepanjang 2011/12 City sama sekali tidak terkalahkan di situ, dan lawan yang mereka hadapi juga sebenarnya adalah tim calon degradasi. Jika mereka kalah dari QPR , Betapa sakitnya kalau satu-satunya kekalahan yang mereka derita di kandang itu justru menjadi kekalahan yang menggagalkan mereka merebut gelar liga Inggris untuk pertama kalinya sejak lebih dari 40 musim yang lalu. Dan anak asuh Roberto Mancini ternyata sukses mengupayakan keajaiban tersebut.

Di musim ini, sama seperti 2011/12, momentum ada di tangan City. Sama seperti 2011/12, mereka tak perlu menggantungkan nasib pada tim lain untuk menjadi juara. Bola ada di tangan City. Jika pun ada keajaiban yang akan diupayakan, maka sepertinya bukan City yang harus mengejarnya, melainkan Liverpool. Liverpool akan berharap West Ham mengulangi cerita QPR, kendati posisi West Ham saat ini tidak sekritis QPR 2011/12. West Ham memang tidak punya kepentingan apa-apa lagi di laga nanti sebab mereka sudah aman dari ancaman degradasi, tapi justru tim yang bermain tanpa beban seperti ini yang patut diwaspadai. Liverpool boleh berharap bahwa pelatih West Ham Sam Allardyce akan menepati janjinya untuk merusak pesta City. Selalu ada kemungkinan West Ham akan bisa mengalahkan City, sebab City sudah pernah kalah kandang sekali musim ini. Jika itu terjadi, tinggal Liverpool yang harus memastikan bahwa di saat bersamaan mereka juga telah meraup tiga poin atas Newcastle United. Itu akan memastikan putusnya puasa gelar liga yang telah mereka tahankan sejak 14 tahun lalu.

Selasa, Mei 06, 2014

Pembebas Pemadaman Kena Biarpet

Harian Tribun Medan, 6 Mei 2014

===

MEDAN, TRIBUN – Entah kebetulan atau tidak, sidang terdakwa korupsi pengadaan Flame Tube GT-12, Ermawan Arif Budiman, Senin (5/5), berlangsung di tengah biarpet. Padahal terdakwa yang juga mantan Manajer PLN Sektor Belawan ini, sudah mendapat status tahanan kota, dengan dalih keahliannya diperlukan untuk mengatasi biarpet yang melanda Sumut.

Bahkan untuk “membebaskan” Ermawan, PLN rela menitipkan uang jaminan Rp 23,9 miliar pada PN Medan, ditambah jaminan dari Dirut PLN Nur Pamudji, GM PLN Pembangkitan Sumbagut Bernardus Sudarmanto, dan sang istri terdakwa.

Sidang Ermawan yang digelar sejak pukul 14:00 WIB hingga usai pukul 17:00, diganggu tiga kali biarpet listrik. Yakni pukul 15:00, 15:15, dan 16:30. Biarpet listrik ini pun sempat membuat riuh suasana sidang. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan pengacara terdakwa kepada para saksi tidak terdengar dengan baik karena matinya pengeras suara. Apalagi suasana di luar ruang sidang utama siang itu cukup gaduh karena banyaknya sidang yang digelar pada saat bersamaan.

Namun Bernadus berdalih status tahanan kota yang disandang Ermawan tak otomatis membuat biarpet habis.

“Ya bukan berarti karena dia (Ermawan) dijamin dan dipekerjakan untuk mengatasi ‘masalah listrik’, lantas biarpet langsung hilang. Dia kan hanya membantu secara teknis saja,” ujar Bernadus, Senin malam.

Ia memastikan status Ermawan yang merupakan tahanan kota membuatnya bisa dengan mudah membantu pekerjaan teknis yang dibutuhkan di Pembangkit Belawan. Namun sekali lagi ia menegaskan bukan berarti masalah biarpet lantas bisa dengan mudah diatasi. “Sekarang kan masalahnya bukan di Belawan saja. Tapi di Labuanangin juga.”

Sumut mengalami defisit listrik 380 MW, sejak minggu keempat April. Lonjakan defisit sebesar 230 MW bersumber dari kerusakan Blok 1 GT 1.2 dan ST 1.0 PLTGU Belawan dan ST 2.0 PLTGU Belawan dan juga PLTU Labuanangin Unit 1 dan 2. Praktis pembangkit listrik skala besar yang beroperasi dengan sehat di PLTGU Belawan hanya GT 2.1. dan GT 2.2., yang sudah selesai menjalani overhaul atau Life Time Extension oleh perusahaan Mapna dari Iran.

Saat ini, pengadilan masih menyita GT 1.2 yang berkapasitas netto sekitar 100 MW, yang kini perkaranya sedang bergulir di Pengadilan Tipikor Medan. Pengadilan Tinggi Sumut sudah menolak permohonan PLN agar melepaskan barang bukti ini untuk diperbaiki.

Sedangkan PLTU Labuanangin tak kunjung mengalami perbaikan. Sejak 29 Maret, hanya pembangkit Unit Dua yang menghasilkan daya 85 MW. Sedangkan Unit Satu tak beroperasi akibat oli masuk ke boiler.

Celakanya, setelah PLN berhasil memperbaiki boiler tersebut, kini muncul masalah baru.

“Sebenarnya kita sudah targetkan untuk menyelesaikan persoalan yang ada di bagian boiler itu hari ini. Hasilnya memang cukup bagus karena persoalan boiler sudah bisa diatasi tadi. Tapi justru persoalan lain kembali muncul. Sekarang justru turbinnya yang bocor,” ujar Manajer Sektor Labuhanangin, Oak Habibullah via seluler, Senin malam.

Kebocoran turbin membuat perbaikan mesin kembali akan memakan waktu yang cukup lama.

Oak mengatakan bahwa persoalan seperti itu tidak akan terjadi jika mesin yang digunakan berkualitas lebih baik. Karena penggunaannya akan lebih efektif dan kualitasnya juga lebih terjamin.

“Saya tidak katakan kalau mesin dengan kualitas baik tidak akan rusak. Tapi setidaknya masa pemakaiannya bisa lebih lama. Begitu juga saat mengalami masalah, masa perbaikan bisa lebih cepat. Jadi jelas sangat membantu dalam perbaikannya.”

Padahal mesin pembangkit PLTU Labuanangin baru berusia enam tahun.

Oak tak menjamin jika persoalan bocornya turbin sudah teratasi maka penggunaan mesin pembangkit bisa dilakukan. “Kalau turbinnya sudah bagus belum tentu juga mesinnya bisa dipakai bang. Soalnya kan sudah kita lihat sendiri kualitas mesinnya. Mungkin setelah persoalan di turbin selesai, persoalan lain akan muncul. Tapi kita tetap berharap perbaikan ini bisa segera diselesaikan. Hingga saat ini tim kita juga masih terus bekerja di lapangan.”

Dicecar

Pengadilan Tipikor Medan menggelar sidang lanjutan untuk mendengarkan keterangan tiga saksi untuk terdakwa Ermawan, Senin (5/5).

Ermawan didakwa melakukan korupsi pada pengadaan Flame Tube GT-12 senilai Rp 23,94 miliar pada 2007. Ketiga saksi yang dihadirkan adalah Tugino Ponisan dari PLN Sektor Belawan, Rahmad Riyadi dari PLN Wilayah Sumut, dan Rodi Cahyawan, Manajer Sektor Belawan Mei 2011-2013.

Dari ketiga saksi, Rahmad Riyadi adalah orang yang paling banyak dicecar pertanyaan. Mulai dari pertanyaan yang diajukan JPU, hakim, pengacara terdakwa, hingga terdakwa Ermawan cukup intens menanyainya.

Pasalnya ia adalah orang yang dinilai cukup bertanggungjawab dalam penerimaan barang Flame Tube GT 1.2 yang disuplai oleh rekanan CV Sri Makmur itu. Tugasnya menerima barang tersebut teralih karena Ermawan secara kebetulan harus dinas di Jakarta untuk keperluan PLN.

“Saya memang yang menerima. Tapi itu karena posisi saya Asisten Manajer Operasi. Jadi ya bertugas menggantikan,” kata Rahmad menceritakan kejadian yang bermula sejak 19 Desember 2007 itu. Ia mengaku tidak terlalu memperhatikan barang yang dimaksud dan hanya menandatanganinya saja.

Adanya perbedaan barang yang diterima dengan yang seharusnya, kata Rahmad, baru diketahui setelah pada 22 Januari ada surat yang dikonsep oleh Ermawan. Meskipun surat itu dikonsep oleh Ermawan, namun Rahmad mengakui dirinya-lah yang menandatangani.

“Ya betul, saya yang tanda tangan. Tapi yang konsep itu ya terdakwa,” katanya sambil menunjuk Ermawan.

Tidak banyak hal yang bisa dikorek jaksa, hakim, maupun pengacara Ermawan dari Rahmad yang bertugas di Belawan sejak 1988.
 
Rahmad sering melontarkan kata “lupa” untuk beberapa pertanyaan yang sebenarnya penting. Sementara untuk Tugino dan Rodi Cahyawan, pertanyaan yang diberikan hanya seputar teknis Pembangkit Belawan. Termasuk kepastian bahwa sejak tahun 2011 hingga 2013 tidak pernah dilakukan pemeliharaan untuk GT 1.2, hanya pengecekan saja. *

===

Lokalisir Perkara
 

News Analysis by Farid Wajdi, Direktur LAPK Sumut





Sejak awal upaya penjaminan terhadap tersangka korupsi PLN ini salah kaprah. Bahkan melawan takdir. Jarang sekali kejahatan luar biasa, dalam hal ini korupsi, mendapatkan penangguhan penahanan. Dan Tipikor Medan, setahu saya, adalah yang paling sering melakukan penangguhan. Kalau penangguhan dengan nominal penjaminan tertinggi, saya belum tahu apakah Rp 23,9 miliar ini adalah yang tertinggi atau bukan.


Apalagi uang yang digelontorkan ini dari uang kas PLN. Dalam artian ini kan uang perkara. Ini kasus korupsi, kejahatan luar biasa. Kalau tadi karena sakit, ya silakan dibantarkan. Tapi ini alasannya kan berbeda.


Yang harus kita soroti juga adalah alasan penjaminan yang dilakukan oleh PLN. Katanya tenaga si terdakwa (Ermawan) dibutuhkan untuk menangani sistem kelistrikan di Sumut. Apakah memang cuma dia yang ahli untuk itu? Apa dia satu-satunya orang di PLN yang bisa menangani masalah listrik di Sumut? Saya kira tidak.


Apalagi faktanya, pemadaman listrik bergilir tetap saja terjadi. Kalaulah memang tenaganya sangat ahli, seharusnya ada efeknya. Tapi kan tidak. Atau mungkin keahlian yang dimaksud PLN adalah ahli dalam memadamkan listrik?


Penjaminan yang dilakukan PLN juga menimbulkan banyak spekulasi. Karena betapa “bersemangatnya” jajaran PLN untuk menjadikan terdakwa sebagai tahanan kota. Dan bahkan memberikan uang yang besar untuk itu. Kesan yang muncul justru ada upaya untuk melokalisir kasus. Untuk menutupi kemungkinan supaya tidak melebar kemana-mana. Biasanya kan korupsi memang tidak pernah berdiri sendiri. Ini hanya asumsi. Tapi ada kesan yang ingin dilindungi.
 
Walau bagaimanapun, masalah penangguhan adalah domain hakim. Walaupun di kasus korupsi jarang sekali ada penangguhan. Tapi di Medan ini memang beda. Saya berharap ada atensi yang lebih baik dari Mahkamah Agung untuk kasus ini. Termasuk upaya Komisi Yudisial kalau memang ada yang mencurigakan. Intinya hanya satu, kita berharap putusannya nanti tidak kontroversial.