Jumat, Agustus 19, 2016

IMPLIKASI SOSIAL-KEAGAMAAN MUHAMMAD SEBAGAI PENUTUP UTUSAN ALLAH oleh M. Yunan Yusuf

IMPLIKASI SOSIAL-KEAGAMAAN MUHAMMAD
SEBAGAI PENUTUP UTUSAN ALLAH
 
M. Yunan Yusuf
 
 
 
Kaum muslim, apa pun mazhab dan firqah mereka, bersepakat dalam  keyakinan bahwa rasul-rasul Allah yang dikirim kepada umat manusia berakhir pada diri Nabi Muhammad SAW. Beliaulah nabi dan rasul penutup (khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in). Keyakinan seperti ini didasarkan pada firman Allah dalam al-Qur'an:  "Bukanlah Muhammad itu bapak dari salah seorang di antara kalian, dia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir." (QS Al-Azhab/33: 40).

Keyakinan bahwa Muhammad SAW penutup utusan Allah berimplikasi bahwa rentetan wahyu-wahyu Allah yang diberikan, kepada para rasul, semenjak  Nabi Adam AS, dipandang telah sempurna diturunkan di tangan Nabi Muhammad  SAW. Dengan demikian sesudah ayat terakhir dalam al-Qur'an turun, "Hari ini Aku (Allah) sempurnakan bagimu agamamu, lengkaplah untukmu nikmat-Ku dan Aku  rida bagimu Islam sebagai agama" (QS. al-Maidah: 3), berakhirlah proses penurunan wahyu dari Allah. Penjelasan ini menunjukkan bahwa terdapat evolusi di dalam agama, di mana Islam dimunculkan sebagai bentuk terakhir dan dengan demikian Islam merupakan agama yang paling memadai dan sempurna.

Di saat Nabi Muhammad masih hidup, umat Islam di zaman itu, bila  menghadapi masalah, baik dalam bidang kehidupan sosial maupun dalam bidang kehidupan keagamaan, pergi bertanya kepada Nabi bagaimana cara mengatasi dan  menyelesaikannya. Nabi Muhammad menyelesaikan masalah-masalah umat dengan  petunjuk wahyu yang beliau terima dari Allah. Namun bila wahyu tidak memberikan penjelasan apa-apa tentang masalah yang dihadapi tersebut, Nabi terkadang  menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapi dengan pemikiran dan pendapat  beliau sendiri atau terkadang melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Pemikiran dan pendapat Nabi dijumpai dalam hadits. Hadits pada hakikatnya tidak hanya mengandung pemikiran dan pendapat Nabi saja, tetapi juga perbuatan serta ketetapan Nabi tentang suatu perkara. 
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, lebih-kurang satu tahun setelah Nabi Muhammad wafat, ayat-ayat al-Qur'an yang ditulis di pelepah-pelepah tamar,  tulang, dan daun korma dikumpulkan menjadi satu kesatuan. Pada masa  pemerintahan Usman, kumpulan ayat-ayat tersebut dikodifikasi ke dalam satu kitab, dan dari kitab yang satu disalin lagi beberapa kitab untuk dikirimkan ke beberapa ibu kota daerah sebagai pegangan umat Islam di tempat mereka masing-masing. Al-Qur'an yang ada di tangan kita dewasa ini berasal dari kodifikasi masa Usman yang secara populer dikenal dengan nama Al-Mushaf al-Usmani. Sementara itu hadits dikumpulkan menjadi buku pada abad ke-3 Hijrah, 200 tahun sesudah Nabi wafat.

Setelah Nabi Muhammad wafat, tempat bertanya umat Islam bila menghadapi   masalah-masalah dalam kehidupan sosial dan keagamaan tidak ada lagi, umat di  kala itu mempunyai dua pegangan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang  mereka hadapi. Kedua pegangan ini, yakni al-Qur'an dan hadits Nabi, dipergunakan    oleh umat Islam generasi pertama itu menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Di masa beliau masih hidup, Nabi Muhammad memang pernah memperingatkan mereka tentang kedua pegangan ini: "Aku tinggalkan bagimu bagi pedoman, dan kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang pada keduanya,  yakni Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya."

Predikat Muhammad sebagai khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in, penutup para nabi dan rasul, dengan kitab suci al-Qur'an di tangan beliau, juga sebagai  pamungkas wahyu-wahyu Allah, oleh manusia dipandang sudah mencapai tingkat  kedewasaan rasional dan oleh karena itu wahyu tidak akan diturunkan lagi. Namun di balik itu umat manusia, demikian Fazlur Rahman, masih mengalami  kebingungan moral, dan karena moral mereka tidak dapat mengimbangi derap   kemajuan sains dan teknologi yang perkembangannya begitu cepat dan mencakup  berbagai bidang kehidupan, maka setiap orang, agar tercapai kedewasaan moral, selalu tergantung kepada perjuangannya yang terus-menerus untuk mencari  petunjuk dari kitab-kitab Allah --khususnya al-Qur'an-- yang di dalamnya seluruh   wahyu Allah sudah disempurnakan turunnya.

Bila pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, umat muslim menjadikan beliau narasumber, tempat bertanya, untuk menjawab persoalan-persoalan sosial dan keagamaan mereka. Dan ketika beliau sudah tidak ada lagi yang dijadikan sebagai tempat bertanya masalah-masalah sosial dan keagamaan umat Islam, maka umat Islam haruslah senantiasa merujuk dua pedoman yang ditinggalkan oleh beliau, yakni al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Malah bukan itu saja, semasa beliau masih hidup, beliau pernah berpesan, bila menghadapi masalah-masalah "technical know how" dalam kehidupan, itu menjadi wewenang kaum muslim. Tidak ada sangkut pautnya dengan tugas risalah yang beliau bawa. Hadits mengatakan, "Kamu lebih tahu tentang masalah-masalah duniamu."

Sesuai dengan petunjuk yang ditinggalkan oleh Nabi, maka umat Islam paska-Nabi, mengacu penyelesaian ke dalam al-Qur'an dan Sunnah atas masalah-masalah yang mereka jumpai. Tetapi dengan cepat dapat dirasakan dan diketahui oleh mereka bahwa banyak sekali masalah yang dijumpai dalam kehidupan mereka sehari-hari tidak diberikan penyelesaiannya dalam al-Qur'an dan Sunnah. Bahkan  tidak jarang masalah-masalah yang muncul tersebut tidak disebut oleh al-Qur'an dan Sunnah.

Situasi seperti itu ditemui oleh kaum muslim generasi pertama tersebut manakala Islam sudah meluas ke luar Semenanjung Arabia dan masuk ke Suriah, Palestina, Mesopotamia, Persia, Mesir, dan Afrika Utara. Problema-problema yang dihadapi oleh kaum muslim bertambah banyak, bertambah ragamnya, dan    bertambah kepelikannya.

Secara geografis, daerah kekuasaan Islam pada waktu kewafatan Nabi Muhammad tahun 632 M hanya Semenanjung Arabia yang tandus, dengan etnis  Arab yang mempunyai kehidupan dan kebudayaan sederhana sekali. Tetapi ketika  berbagai kawasan sudah ditaklukkan oleh kekuatan politik Islam terutama di masa
pemerintahan Umar bin Khattab serta dua dinasti besar Umayyah dan Abbasiyah,  daerah kekuasaan Islam tidak lagi hanya penduduk yang satu kebangsaannya, yakni  Arab, dan satu agamanya, yaitu Islam, tetapi penduduknya terdiri dari berbagai bangsa dan menganut berbagai agama, terutama Kristen, Yahudi, Zoroaster, di samping juga memakai bahasa yang saling berbeda dengan satu sama lain. Maka  masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat yang beraneka ragam itu sangat berbeda dengan masalah-masalah yang timbul tatkala umat Islam masih berada di Madinah.

Inilah yang digambarkan oleh Ali Hasan Abdul Qadir yang mengatakan,  "Sekiranya bangsa Arab tetap tinggal di semenanjung mereka dan tidak keluar dari sana, mereka tidak akan menghadapi masalah-masalah yang pelik. Tetapi  kekuasaan Islam dengan tiba-tiba meluas ke seberang batas-batas Semenanjung Arabia dan tunduk kepadanya umat dan bangsa yang berbeda-beda yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang berlainan dengan apa yang dimiliki oleh bangsa  Arab. Dengan adanya kontak dan perang dengan bangsa-bangsa itu timbullah banyak masalah baru, baik dalam bidang keakhiratan maupun dalam bidang  keduniaan, masalah-masalah yang tak pernah terlintas dalam pikiran mereka."

Demikianlah setelah Muhammad Rasulullah sudah tiada lagi, petunjuk Allah  hanya bisa diperoleh dengan selalu melakukan rujukan pada al-Qur'an dan Hadits  yang ditinggalkan oleh Muhammad s.a.w. itu. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh beliau, selama umat Islam berpegang teguh dengan kedua sumber tersebut umat  Islam tidak akan sesat. Oleh sebab itu setiap kaum beriman mempunyai kewajiban  untuk secara terus-menerus mempelajari dan memahami al-Qur'an dan hadits  untuk mendapatkan kebenaran yang dikandungnya, yang dengan kebenaran itu arah moral kehidupan menjadi jelas.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa posisi Muhammad sebagai penutup utusan Allah tersebut mengandung makna penyerahan mandat kepada kaum muslim untuk mengatur kehidupan sosial dan keagamaan mereka dengan selalu merujuk  kepada dua sumber, al-Qur'an dan hadits. Malah bila al-Qur'an dan hadits tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi, kaum muslim boleh mempergunakan al-ra 'yu atau ijtihad mereka.

Segera setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islam dihadapkan kepada masalah yang cukup pelik, yang tak pernah timbul di kala Nabi masih hidup serta tak dijumpai cara penyelesaiannya dalam al-Qur'an, yakni masalah suksesi. Siapa yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah. Sebagai diketahui Madinah telah menjadi ibu kota dari negara yang bercorak konfederasi dari suku-suku bangsa Arab yang terdapat di Semenanjung Arabia di kala itu. Jadi ketika beliau wafat, beliau mempunyai kedudukan bukan saja sebagai Rasul Allah, tetapi juga sebagai kepala negara.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, para mutasrikh mencatat, telah terjadi  pertemuan antara pemuka-pemuka Muhajirin dan Anshar di Saqirah Bani Sa'adah. Karena tidak adanya petunjuk yang jelas dalam al-Qur'an tentang siapa pengganti  Nabi sebagai kepala negara Madinah tersebut, nyaris pertemuan itu menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.

Kaum Anshar memajukan argumen pertolongan yang mereka berikan kepada Nabi sehingga beliau berhasil menaklukkan Makkah dan menyebarkan Islam di   seluruh Semenanjung Arabia. Kaum Muhajirin mengajukan pula argumentasi  mereka, yakni karena merekalah orang yang pertama-tama mendukung dakwah  Nabi Muhammad. Andaikata mereka tidak ada, tidak akan mungkin Islam berkembang dari jumlah yang sangat kecil, namun lama-kelamaan bertambah besar. Di samping argumen di atas, kaum Muhajirin juga membawa perkataan Nabi "al-Aimmah min Quraisy" (Para pemimpin itu dari suku Quraisy) serta perbuatan Nabi,  yakni mewakilkan pelaksanaan tugas menjadi imam salat kepada Abu Bakar, yang orang Quraisy itu, ketika beliau sakit. Terhadap argumen-argumen yang diajukan  oleh kaum Muhajirin itu, kaum Anshar mundur, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai  khalifah pertama, pengganti Nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara. Jabatan itu pun ketika itu disebut dengan khalifatu Rasulillah.

Di sini timbul pertanyaan, kenapa orang-orang Anshar mundur dari maksud mereka untuk menjadi khalifah? Karena di dalam memajukan argumen, maka  argumen yang dianggap kuat adalah argumen yang mempunyai referensi al-Qur'an  dan hadits. Kaum Anshar tidak mempunyai argumen itu, mereka hanya mempunyai argumen rasional. Sebaliknya kaum Muhajirin mempunyai argumen perkataan dan perbuatan Nabi. Hadits "para pemimpin harus dari suku Quraisy'" ternyata mendominasi pemikiran Islam semenjak Abu Bakar sebagai khalifah, sampai berabad-abad lamanya, dan pemikiran ini dianut di kalangan Sunni.

Bagaimana sebenarnya penjelasan al-Qur'an tentang suksesi tersebut?  Karena tidak ada penjelasan yang tegas, timbullah berbagai pendapat, sebagai lawan dari pendapat yang menyatakan bahwa para pemimpin dari suku Quraisy. Kaum Syi'ah umpamanya, lebih spesifik dalam pandangan mereka tentang suksesi ini yakni  haruslah dari keluarga sedarah yang terdekat dengan Nabi. Maka para imam dari  kaum Syi'ah, memang rentetan keturunan yang mempunyai hubungan darah  dengan Nabi, yang dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi sendiri. Berbeda dengan kedua pandangan Sunni dan Syi'ah tersebut, kaum Khawarij mengatakan bahwa pengganti Nabi tidaklah mesti dari suku Quraisy atau pun dari keturunan Nabi sendiri. Siapa saja dari kaum muslim, bukan Arab sekalipun, kalau memenuhi persyaratan sebagai pemimpin ia boleh menggantikan Nabi sebagai kepala negara tersebut. Pendapat Khawarij ini, dalam perkembangan berikutnya, terutama  sesudah abad XVI M, dianut oleh Sunni.

Masalah pelik kedua yang dihadapi oleh kaum muslim masa awal itu adalah  masalah siapa yang disebut mukmin dan siapa yang disebut kafir. Al-Qur'an dan  hadits Nabi memang memberikan kriteria-kriteria tentang mukmin dan kufur. Namun karena tidak adanya penjelasan yang pasti tentang itu, menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda pula.

Persoalan mukmin dan kafir dimunculkan oleh kaum Khawarij ke permukaan. Berawal dari terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin Affan, yang   kemudian memunculkan protes keras terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib selaku khalifah keempat, karena tidak mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan. Malah lebih ekstrem lagi, Ali bin Abi Thalib dituduh berkolaborasi dengan para pemberontak yang menggulingkan Usman bin Affan.

Persengketaan itu kemudian diselesaikan dengan jalan tahkim antara Ali bin Abi Thalib dengan wakilnya Abu Musa al-Asy'ari dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dengan wakilnya Amr bin 'Ash. Jalan tahkim yang dipergunakan menyelesaikan  persoalan tersebut ditolak oleh sebagian dari pasukan Ali yang kemudian dikenal dengan nama Khawarij. Menurut mereka tahkim itu adalah tradisi jahiliyah, bukan penyelesaian dengan jalan berpedoman kepada apa yang diturunkan oleh Allah, yakni al-Qur'an. Maka dengan membawa ayat 44 surat al-Maidah, "Siapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, mereka adalah orang kafir." Dengan dasar pandangan itu Khawarij kemudian memutuskan bahwa Ali, Mu'awiyah, Amr, dan Abu Musa sudah kafir. Orang muslim yang kemudian beralih  menjadi kafir berarti murtad. Pesan Nabi orang murtad darahnya halal dan wajib dibunuh. Maka mereka memutuskan untuk membunuh keempat-empat tokoh tersebut.

Dalam perkembangannya timbul masalah baru, apakah orang mukmin yang  melakukan dosa besar tetap mukmin? Karena mereka merupakan kelompok  sempalan dalam Dinasti Umayyah, mereka menganggap bahwa pemuka-pemuka  Dinasti Bani Umayyah sudah berbuat kezaliman dan oleh karena itu telah berbuat dosa besar. Para penguasa Islam bila sudah berbuat dosa besar, itu berarti tidak sah  lagi menjadi khalifah. Demikian kaum Khawarij memasukkan semua perbuatan  dosa besar, seperti berzina, bersumpah palsu, mendurhakai ibu-bapa, syirik, mengakibatkan seseorang sudah menjadi kafir. 

Sebagai reaksi terhadap pendapat sempit dan ekstrem di atas, sebagian kaum muslim berpendapat bahwa yang disebut mukmin dan muslim adalah orang-orang  yang sudah mengucap dua kalimat syahadat "La ilaha illa 'l-Lah wa Muhammad Rasul-u 'l-Lah" (Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah). Dosa besar yang dilakukan tidak mempengaruhi imannya. Dalam sejarah teologi  Islam, golongan yang menganut paham ini dikenal dengan nama Murji'ah. Kaum Murji'ah memandang orang yang telah melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak  menjadi kafir. Berbeda dengan Khawarij, Murji'ah memandang pemuka-pemuka Bani Umayyah tetap sah menjadi khalifah.

Kemudian timbul paham ketiga, yakni bila seseorang yang mengucap dua  kalimat syahadat itu melakukan dosa besar, ia hanya boleh disebut muslim. Di sini  dibedakan antara mukmin dengan muslim. Mukmin adalah muslim yang tidak melakukan dosa besar, sedangkan muslim adalah orang Islam yang melakukan dosa
besar. Paham ini dianut oleh Mu'tazilah. Mereka memberi predikat orang muslim itu dengan fasiq, yang menempati posisi antara tidak mukmin dan tidak kafir. Paham ini kemudian masuk dalam doktrin dasar mereka al-Ushul al-Khamsah, yakni al-Manzilat bayn al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi).
Dua kasus di atas, pertama tentang masalah politik kenegaraan dan masalah teologi, memperlihatkan, betapa generasi muslim pertama itu menunjukkan  bagaimana cara mereka menghadapi masalah-masalah sosial dan keagamaan, di  kala Nabi Muhammad tidak ada lagi.

Wahyu memang sudah berhenti turun. Allah tidak akan menurunkan wahyu baru lagi dan tidak membangkitkan seorang rasul utusan sesudah Muhammad. Oleh  sebab itu tidak ada otoritas pribadi mana pun yang mengatasnamakan Tuhan bahwa dialah pembawa dan penterjemah yang paling sah dari wahyu-wahyu Tuhan dalam al-Qur'an dan segala perkataan dan perbuatan serta ketetapan Nabi sebagai yang termaktub dalam hadits beliau.


Dengan tetap berpedoman pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, kaum muslim   telah diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam  kehidupan sosial dan keagamaan mereka dengan mengerahkan ra'yu atau pemikiran dalam bentuk ijtihad. Dan memang Muhammad SAW, penutup utusan Allah itu, pernah berkata, bahwa tidak ada yang salah (kerugian) dalam ber-ijtihad. Bila  ijtihad-nya benar akan mendapat dua pahala, dan bila ijtihad-nya salah masih  diberi satu pahala. Persoalan angkatan kita sekarang ini adalah bagaimana memunculkan orang-orang yang mempunyai kapasitas untuk mampu melakukan ijtihad tersebut.


sumber: buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah; media ISNET

Tidak ada komentar:

Posting Komentar