Selasa, Agustus 18, 2009

kemerdekaan dan euforia sesaat

Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 64 pada 17 Agustus 2009 ini hanya berjarak beberapa hari dari hari pertama Ramadhan 1430 H. Saya melihat ada suatu hal yang mirip dari dua hal ini, yaitu euforia sesaat dari masyarakat Indonesia dalam menyambut atau merayakan hari-hari tersebut.

Mengapa euforia sesaat? Karena masyarakat Indonesia terkesan bersemangat dan antusias hanya pada saat hari H perayaan serta beberapa hari sebelum dan sesudahnya. Setelah itu, semangat dan antusiasme, terutama untuk melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan yang mereka rayakan tadi, seperti hilang dan lenyap entah kemana.

Mari kita lihat media massa kita, terutama televisi. Beberapa hari menjelang 17 Agustus, nyaris semua stasiun menyiarkan acara-acara yang mengangkat tema mengenai hari kemerdekaan, mulai dari siaran wisata sejarah, pemutaran film-film bernuansa perang kemerdekaan, talk show mengenai kemerdekaan, sampai konser-konser musik yang memakai tema kemerdekaan. Rakyat pun akan bangkit rasa nasionalismenya dengan melihat tayangan-tayangan ini. Semangat ini akan menjadi positif jika terus dihidupkan sekalipun 17 Agustus telah lewat. Tapi sayangnya, setelah 17 Agustus program-program itu menghilang dan stasiun televisi kembali ke program-program rutinnya. Memang tidak relevan jika acara-acara bertema kemerdekaan itu disiarkan terus menerus, tapi alangkah baiknya jika ada satu dua program bertema kemerdekaan itu rutin disiarkan oleh televisi. Sehingga rasa nasionalisme dan cinta tanah air itu tetap hidup di masyarakat, tidak hanya pada 17 Agustus saja. Televisi pun akan terhindar dari cap aji mumpung memanfaatkan momen kemerdekaan demi meraup untung yang besar.

Hal senada kita lihat pada bulan Ramadhan. Di bulan itu, semua stasiun televisi menyiarkan program-program Islami bernuansa Ramadhan. Namun apa yang terjadi, sesudah Idul Fitri program-program itu menghilang dan televisi kembali ke rutinitasnya. Program-program Islami hanya ditayangkan pada waktu subuh serta tengah malam saja, ditempatkan sebagai acara penutup. Inilah euforia sesaat dari televisi Indonesia yang bisa dianggap mencerminkan karakter masyarakat Indonesia sesungguhnya.

Kemudian dari sisi pribadi orangnya. Menjelang 17 Agustus, banyak orang mendadak terlihat nasionalis. Padahal jika ditanya mengenai sejarah Proklamasi atau bahkan dites mengenai hafalan Pancasila, banyak yang tidak bisa menjawabnya, terutama di kalangan pemuda sekarang. Tampilan luar ataupun gaya tidaklah penting, yang penting adalah isinya, dalam hal ini pemahaman mengenai nilai-nilai yang didapatkan dari peringatan 17 Agustus itu.

Begitu juga pada bulan Ramadhan. Banyak orang tampil dengan gaya Islami, padahal di hari-hari biasa tidak begitu. Apabila ditanyakan mengenai makna dari apa yang dia tampilkan, maka sangat mungkin ia tidak bisa menjawabnya.

Maka kita perlu menghilangkan budaya euforia sesaat ini. Jika kita tetap mempunyai semangat untuk menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap perayaan yang kita ikuti, tidak hanya pada saat perayaan tersebut, namun juga di hari-hari lainnya, maka semangat itu bisa menjadi dorongan yang kuat dalam meraih kesuksesan dalam hidup. Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar