Jumat, Mei 01, 2009

Keterlibatan CIA dalam Perpolitikan Indonesia era 1950an

Setelah membaca buku “Bung Karno Menggugat” karya Baskara T. Wardaya, saya mendapat beberapa pemahaman baru mengenai keterlibatan Amerika Serikat dalam perpolitikan Indonesia terutama pada era Bung Karno. Tulisan di bawah ini adalah intisari dari buku itu dalam bahasa saya.

Sejak Indonesia merdeka pada 1945, maka Amerika Serikat sudah mulai terlibat dalam berbagai hal, terutama perpolitikan di Indonesia. Pada awal kemerdekaannya, Indonesia sangat didukung oleh AS. Hal ini terutama disebabkan rasa simpati AS terhadap Indonesia karena AS pun pernah dijajah oleh Inggris dan AS sangat menentang kolonialisme. Namun dalam perkembangannya sikap AS mulai berbalik dan secara diam-diam presiden AS kala itu Harry Truman mendukung kembalinya Belanda untuk berkuasa di Indonesia.

Perubahan sikap ini didasari oleh beberapa hal, diantaranya ketakutan AS akan merebaknya pengaruh komunisme di Indonesia, kepentingan ekonomi Belanda, kepentingan ekonomi AS, kepentingan Belanda terhadap AS, dan kepentingan AS terhadap Belanda. Namun tak lama kemudian sikap AS pun berbalik kembali menjadi mendukung perjuangan Indonesia. Ada dua penyebabnya, yaitu ketakutan AS akan merebaknya komunis di Indonesia tidak beralasan. Sebab ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, pemerintah Indonesia dengan sangat sigap segera menggulung pemberontakan itu. Tentu hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan Indonesia tidak pro komunis, sebab mustahil jika memang pemerintah pro komunis namun malah menghabisi PKI. 

Sebab kedua adalah Belanda mengabaikan anjuran PBB untuk tidak melakukan serangan/agresi ke Indonesia dan menangkapi pemimpin Indonesia. Belanda mengabaikan anjuran itu dan hal ini tentu menyiratkan bahwa PBB diacuhkan oleh Belanda. Hal ini tentu dapat merusak kewibawaan PBB dan berpotensi membawa kehancuran bagi PBB, seperti halnya yang terjadi pada Liga Bangsa-bangsa. AS sebagai pelopor PBB tentu tidak menginginkan hal ini, sehingga mereka berbalik mendukung Indonesia.
Akhirnya ketika terjadi perundingan pada 1949 di Den Haag yang lebih dikenal dengan Konferensi Meja Bundar, AS menjadi penengah antara Indonesia dengan Belanda. Perundingan itu akhirnya diakhiri dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, kewajiban Indonesia untuk membayar ‘utang’ perang kepada Belanda, dan penangguhan pembahasan mengenai Irian Barat. Dengan tercapainya KMB ini maka hubungan Indonesia-AS pun membaik.

Namun hubungan baik ini tidak lama kemudian memanas kembali. Pemicunya adalah Dubes AS untuk Indonesia kala itu, Merle Cochran, yang juga menjadi perwakilan AS dalam KMB, melakukan tipu muslihat untuk menaikkan karier pribadinya. Ia mengatakan kepada pemerintah Indonesia bahwa AS baru akan memberikan bantuan ekonomi untuk Indonesia hanya jika Indonesia mau bergabung ke dalam blok barat. Indonesia pun menyetujui syarat itu. Namun belakangan pemerintah mengetahui bahwa Negara lain seperti India menerima bantuan AS tanpa harus menanggalkan prinsip non bloknya. Merasa dibohongi, Indonesia pun marah besar dan terjadilah demonstrasi dimana-mana mengecam AS. Belakangan diketahui bahwa Cochran ini pro Belanda. Maka pemerintah AS pun berusaha untuk memperbaiki hubungan yang mulai memburuk ini.

Sekalipun ada usaha perbaikan hubungan, namun dukungan AS terhadap Indonesia semakin menurun. Hal ini disebabkan kondisi perpolitikan Indonesia ketika itu. Presiden Soekarno semakin bersemangat mengembangkan politik luar negeri bebas aktif dan non blok, juga intens membina hubungan dengan negara-negara blok timur yang merupakan musuh blok barat pimpinan AS. Ketika Soekarno diundang untuk memberikan pidato di hadapan Kongres AS pada 1956, ia menyatakan bahwa Indonesia berterimakasih atas bantuan AS. Namun ia juga menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan bisa digadaikan dengan suatu bantuan dari pihak asing. Pernyataan ini tentu semakin membuat pihak AS antipati terhadap Soekarno. Apalagi Soekarno pun tidak membendung pengaruh PKI di Indonesia.

Keadaan ini membuat pemerintah AS berencana untuk melaksanakan suatu program untuk membendung pengaruh komunisme di Indonesia. Presiden AS Dwight Eisenhower dan Menlu AS John Fuster Dulles pun mempertimbangkan untuk menggunakan tenaga Central Intelligence Agency (CIA), yang kebetulan diketuai oleh saudara John Fuster Dulles, Allen Dulles, untuk melaksanakan suatu operasi rahasia guna membendung pengaruh komunisme di Indonesia. Maka dimulailah keterlibatan CIA di Indonesia.

Sebelumnya pada 1955, ketika akan diadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung, pihak AS berusaha menggagalkan konferensi itu. AS beranggapan bahwa konferensi yang menurut mereka sesat itu akan semakin menguatkan paham non blok pada negara-negara peserta konferensi yang sebagian besar adalah negara-negara yang baru merdeka dari Afrika dan Asia Tenggara. Mengenai negara-negara Asia Tenggara, ketidakberpihakan mereka pada salah satu blok akan membuyarkan rencana AS untuk membentuk SEATO, yaitu suatu pakta pertahanan di Asia Tenggara yang didukung oleh AS yang bertujuan membendung pengaruh komunis terhadap negara-negara di kawasan itu. Oleh karena itu, pihak AS melalui CIA berusaha menggagalkan konferensi itu. Salah satu caranya menurut sebuah kesaksian mengenai tindakan-tindakan CIA di luar negeri, adalah dengan membunuh seorang ’pemimpin negara di Asia Timur’. Ada indikasi bahwa yang dimaksud dengan pemimpin negara di Asia Timur itu adalah presiden Soekarno. Rencana tersebut sudah sampai pada tahap penunjukkan seorang agen untuk melaksanakan pembunuhan itu. Namun akhirnya kepala dingin mendominasi CIA dan rencana itu pun dibatalkan. KAA pun berlangsung dengan lancar.

Keterlibatan CIA lainnya adalah dalam Pemilu 1955. Ketika itu, untuk mencegah agar PNI yang identik dengan Soekarno dan PKI yang merupakan partai komunis menjadi pemenang pemilu, AS pun mengucurkan bantuan bagi Partai Masyumi. Dipilihnya partai Masyumi adalah karena partai ini dianggap sebagai poros tengah yang punya potensi mengungguli PNI dan PKI. Untuk itu, AS mengucurkan bantuan sebesar satu juta dollar. Jumlah yang sangat besar ini tentu tidak biasa, karena itu untuk menutupinya pihak AS tidak meminta pertanggungjawaban penggunaan dana itu. Dan akhirnya Masyumi pun gagal memenangi pemilu karena hanya berada di peringkat dua di bawah PNI. 

Pengaruh PKI semakin membesar pada 1957. Pada pemilu daerah tahun itu, PKI menjadi pemenang dengan perolehan suara luar biasa. Hal ini sangat mencemaskan AS. Mereka akhirnya merencanakan suatu operasi besar-besaran tapi rahasia untuk membendung komunisme di Indonesia.

AS mendapat momentum pada 1958. Sebelumnya pada pertengahan 1956 terjadi mutasi dan pengangkatan perwira Angkatan Darat yang diperintahkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal AH Nasution. Perintah ini menimbulkan kekecewaan di sebagian perwira AD. Mereka menuntut agar struktur kepemimpinan AD diubah. Perkembangan selanjutnya, di Medan sejumlah perwira AD di Sumatera Utara mendesak para komandan militer di berbagai wilayah untuk bergabung bersama mereka untuk membebaskan diri dari cengkeraman komando militer pusat. Selanjutnya mereka juga menentang kekuasaan pemerintah Indonesia secara terang-terangan.

Pada 1957 sebenarnya telah terjadi perundingan antara perwira pembangkang dengan pemerintah serta AD, namun tidak membuahkan hasil. Pada September 1957, para pembangkang mengeluarkan deklarasi Palembang. Deklarasi itu ditandatangani oleh pemimpin mereka, yaitu Letkol Ahmad Husein, Letkol Barlian, serta Kolonel Sumual. Isinya antara lain menuntut dikembalikannya duet Soekarno-Hatta, pergantian kepemimpinan AD, dan pelarangan komunisme.

Ultimatum itu ternyata tidak dihiraukan oleh pemerintah pusat. Malah Jenderal Nasution memecat para perwira pembangkang, seperti Letkol Ahmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek, dan Kolonel Maludin Simbolon. Pada Februari 1958, para pembangkang menjawab pemecatan itu dengan membentuk Dewan Revolusi dan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, dimana mereka melepaskan diri dari pemerintahan pusat di Jakarta. Sebagai perdana menteri ditunjuklah Sjafrudin Prawiranegara. Pembentukan PRRI itu disusul dengan pendeklarasian Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi di bawah pimpinan Kolonel Sumual.

Pecahnya pemberontakan itu membuat AS bergembira. Menurut mereka, dengan adanya pemerintahan tandingan tentu akan memuluskan niat AS untuk memberantas komunisme di Indonesia, sebab dengan tergulingnya pemerintahan Soekarno oleh para pemberontak maka pemerintahan yang pro komunis menurut mereka tidak akan ada lagi. Oleh karena itu AS mendukung pemberontakan ini dengan mengirimkan bantuan militer dalam jumlah besar. Bantuan ini berupa ribuan tentara angkatan darat yang terlatih, kapal-kapal selam modern serta pesawat-pesawat pengebom beserta pilotnya. Pesawat-pesawat pengebom ini sudah disanitasi dokumen-dokumennya agar keterlibatan AS tidak ketahuan.

Bantuan AS ini pada awalnya sangat banyak yang sukses. Pesawat-pesawat pengebom mereka sukses menghancurkan kapal-kapal di pertahanan Indonesia. Termasuk yang terkena akibat pengeboman itu juga kapal-kapal asing. Selain itu, untuk menguatkan dukungan terhadap pemberontak, AS meminta atase militer Indonesia di AS untuk bergabung dengan pemberontak. Negosiasi semula berjalan alot, namun akhirnya pimpinan atase militer Kolonel Alex Kawilarang berhasil dibujuk dengan alasan dialah yang paling bisa memimpin para pemberontak. AS menutupi keterlibatan mereka dalam bergabungnya atase militer Indonesia ini ke pihak pemberontak dengan pernyataan bahwa Kolonel Kawilarang dikecewakan dengan system Demokrasi Terpimpin yang diterapkan Soekarno sehingga bergabung dengan pemberontak.

Sekalipun bantuan CIA cukup besar, namun serangan-serangan dari pemberontak tidak terlalu efektif. Sebaliknya dari pihak tentara Indonesia serangan mereka lebih efektif dan terkoordinasi. Selanjutnya Soekarno mulai merasakan ada keterlibatan sebuah negara dalam pemberontakan itu.
Kecurigaan Soekarno itu terbukti pada Mei 1958. Ketika itu sebuah pesawat pengebom pemberontak ditembak jatuh oleh tentara Indonesia di Ambon. Pilotnya yang bernama Allen Pope, seorang agen CIA berhasil selamat namun tertangkap oleh tentara Indonesia. Pope adalah seorang pilot yang telah berpengalaman dalam perang Korea dan perang Vietnam. Namun di Ambon nasibnya lain dan dia berhasil ditangkap. Ia mengaku disewa pihak pemberontak sebesar 10000 dollar AS. Ia juga menyebutkan motivasinya yaitu untuk mencegah Indonesia menjadi negara komunis.

Ketika dimintai tanggapannya mengenai penagkapan ini, dubes AS untuk Indonesia Howard Jones hanya mengulangi pernyataan presiden Eisenhower, yaitu Pope hanyalah seorang tentara bayaran yang senang berpetualang, jadi AS tidak terlibat di dalamnya. Pernyataan ini membuat Soekarno marah dan kecewa. Dia menganggap pernyataan meremehkan Pope sebagai tentara bayaran adalah sebuah lelucon kekanak-kanakan. AS, Inggris dan Taiwan pasti terlibat secara aktif dalam pemberontakan. 

Sebelum menerbangkan pesawatnya, Pope sebenarnya sudah menjalani prosedur sanitasi dokumen-dokumen. Namun secara diam-diam ia membawa dokumen itu, dengan pertimbangan jika ia tidak membawa dokumen itu dan tertangkap suatu saat, maka ia akan langsung dieksekusi tanpa suatu prosedur hukum, karena ia dianggap tidak memiliki kewarganegaraan. Hal ini tentu tidak diinginkan Pope. Dan dengan ditemukannya dokumen-dokumen pribadi Pope, maka keterlibatan AS dalam pemberontakan sudah tidak bisa ditutupi lagi.

Menyadari bahwa mereka sudah diketahui terlibat pemberontakan, maka AS segera mengambil langkah strategis. Mereka menarik secara diam-diam bantuan-bantuannya terhadap pemberontak. Ketika pemberontak meminta bantuan kembali, maka CIA hanya memberi tanggapan dingin dengan mengatakan bahwa AS harus menarik diri dari Indonesia. Karena tidak mendapat bantuan lagi, maka pemberontak menjadi kehilangan arah. Mereka dengan mudah dilumpuhkan oleh tentara Indonesia. Selain itu perpecahan di internal pemberontak juga menjadi penyebab melemahnya kekuatan mereka. Pada Mei 1958, Permesta di Sulawesi di bawah pimpinan Sumual sebenarnya hendak bernegosiasi, namun ditolak Soekarno. Pada Juni 1958, seluruh pemberontak di Sumatera berhasil dihancurkan tentara Indonesia. Pusat pemberontakan pun dialihkan ke Sulawesi dan Maluku, namun di sana pun mereka berhasil dihancurkan.

Dengan gagalnya PRRI/Permesta, maka pemerintah AS pun mengubah sikapnya terhadap Indonesia. Mereka berbalik mendukung pemerintahan Soekarno yang sebelumnya justru hendak mereka gulingkan. AS menyadari bahwa pemerintah Indonesia ternyata tidak pro komunis. Begitu pula Angkatan Darat, AD ternyata bukanlah tentara yang pro komunis namun AD adalah tentara yang anti komunis. 

Perkembangan selanjutnya dukungan AS terhadap militer Indonesia semakin menguat. Tujuan dukungan ini adalah untuk menghancurkan PKI, membatasi kekuasaan Soekarno, dan mengubah Indonesia menjadi pro barat. Dukungan ini diberikan di saat Soekarno berada dalam segitiga ketegangan politik, yaitu Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat. AD dan PKI sudah siap saling terkam, sementara Soekarno berperan sebagai penyeimbang. Pada awalnya kekuatan ketiganya berimbang, namun dengan dukungan yang diberikan AS terhadap AD maka AD pun menjadi kuat. Tidak mengherankan kalau mereka berhasil merebut kekuasaan pasca tragedi 1965. Dan menariknya apa yang terjadi sesudah tragedi 1965 itu sesuai dengan harapan dan tujuan AS, yaitu hancurnya PKI, tergulingnya Soekarno dan terbukanya Indonesia terhadap kekuatan ekonomi dan politik barat.

1 komentar: