Rabu, Agustus 28, 2013

tentang pembunuhan sadis

Menurut pengamatan saya ada beberapa hal yang mungkin jadi alasan mengapa berita pembunuhan terhadap Franceisca Yofie alias Sisca, seorang perempuan berusia 34 tahun di Bandung 2 minggu lalu menjadi berita nasional dan begitu mendapat sorotan publik dan media:

1. pembunuhan tersebut tergolong cukup sadis, karena dari rekaman CCTV terlihat korban sempat diseret oleh 2 pelaku dari atas sepeda motor sejauh sekian ratus meter sehingga korban akhirnya tewas.

2. korban sendiri adalah seorang wanita yang cukup cantik dan mempunyai karir kerja yang gemilang di usia yang relatif muda, tentu ini menarik perhatian publik.

3. ada kejanggalan dalam kasus ini, yang bermula dari desas-desus mengenai status-status korban di akun jejaring sosialnya, lalu kemudian dugaan ada keterlibatan aparat negara (bahkan aparat ini sempat disebut sebagai anak angkat Kabareskrim Mabes Polri) sebagai auktor intelektualis dalam kasus ini, dan juga baru-baru ini setelah 2 pelaku tertangkap, pengakuan dari pelaku tersebut menimbulkan keheranan publik karena banyak pengakuan mereka yang terkesan dibuat-buat dan menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya serta tak sesuai dengan fakta, logika, serta kesaksian saksi mata serta para ahli yang mempunyai kompetensi dalam kasus ini.

Saya agak surprise juga mengapa kasus ini begitu mendapat perhatian publik. Tanpa mengurangi rasa hormat pada korban dan kemanusiaan, rasanya embel-embel 'sadis' bukan hal yang penting untuk dicantumkan di setiap pemberitaan kasus ini. Karena di dunia ini tidak ada pembunuhan yang tidak sadis, tidak ada yang namanya pembunuhan yang 'sopan', 'gentle', 'soft', 'elegan', 'berbudi' dsb. Semua pembunuhan adalah sadis, bagaimanapun cara korban dibunuh dan berapapun juga jumlah korban yang dibunuh. Oleh karena itu agar konsisten, seharusnya setiap peristiwa pembunuhan yang terjadi harus mendapat kadar perhatian yang sama dari media sebagaimana perhatian media terhadap kasus Fransisca Yofie ini. Waktu bulan Ramadhan kemarin misalnya, ada juga peristiwa pembunuhan yang terjadi di Jawa Tengah. Tidak tanggung-tanggung, korbannya kalau tidak salah berjumlah tiga orang. Korban diduga dibunuh oleh seorang dukun yang mengaku bisa menggandakan uang. Para korban ini diduga adalah 'pasien' dari dukun tersebut yang ingin duitnya digandakan, tapi kemudian menyadari bahwa mereka tertipu. Dukun yang tidak ingin kepalsuannya terbongkar kemudian menjagal para korban tadi dan mengubur jasad korban di area perkebunan di lereng Gunung Sumbing. Peristiwa ini harusnya kian menghebohkan, tak hanya karena jumlah korban yang banyak namun juga karena di antara para korban, salah satunya diketahui adalah seorang dosen Universitas negeri ternama di Kota Semarang, dan juga sekaligus anak dari seorang guru besar Fakultas Hukum pada universitas yang sama. Tidak Bisa dimengerti bagaimana seorang intelek yang merupakan putra profesor bisa sampai berurusan dengan dunia mistik, dunia klenik, untuk tujuan yang cukup 'rendahan', yaitu mencari kekayaan dengan jalan pintas. Sebelum jasad korban ditemukan, korban juga sempat menghilang selama beberapa hari. Dan seharusnya lagi peristiwa ini harus makin menghebohkan karena ketika si dukun ketika akan dibawa polisi untuk diperiksa, justru melawan dan hendak melarikan diri dengan cara lari ke arah jurang. Si dukun yang ketika itu tangannya terikat borgol kemudian jatuh berguling-guling dan seorang polisi yang tangannya terkait borgol dengan korban ikut terjatuh ke jurang bersama si dukun. Dukun dan polisi tersebut akhirnya tewas bersamaan di jurang berkedalaman 150 meter. Rangkaian cerita tragis ini mustinya membuat media menempatkannya sebagai suatu isu nasional, namun ternyata berita mengenai kasus ini hanya sesekali saja muncul di bagian pertengahan program-program berita televisi.

Bandingkan dengan kasus Sisca, betapa besar atensi media terhadap kasus ini. Beberapa koran menempatkannya sebagai headline, beberapa televisi juga secara simultan terus mengabarkan perkembangan kasus ini dengan cukup rinci dan mendetail. Bahkan sampai dibahas di acara talkshow segala. Ini ternyata berefek ke masyarakat, terbukti ketika proses reka ulang pembunuhan Sisca dilakukan pekan lalu, ratusan masyarakat berbondong-bondong menyaksikannya. Sebagian mengaku bahwa mereka penasaran dengan kejadian sebenarnya, karena setiap hari mereka menyaksikan perkembangan kasus ini di media. Inilah hebatnya media, bisa mengarahkan fokus begitu banyak orang pada satu isu tertentu.

Mengapa peristiwa pembunuhan Sisca begitu menarik perhatian media, dan mengapa kasus dukun jagal di Jateng yang waktunya berdekatan tidak terlalu mendapat publikasi, mungkin alasannya adalah karena 3 poin yang saya sebutkan di atas. Selain itu, faktor wilayah juga mungkin menjadi alasan mengapa atensi lebih besar mengarah ke kasus Sisca. Kasus Sisca terjadi di Bandung, masih termasuk wilayah yang cukup dekat dengan pusat industri media di Jakarta. Sedangkan kasus dukun jagal terjadi di Jawa Tengah, sudah termasuk cukup jauh dari Jakarta, sehingga level beritanya mungkin cuma menjadi level berita daerah. Reporter dari Jakarta juga mungkin malas untuk sering-sering mengupdate informasi dari daerah itu karena jaraknya yang cukup jauh. Sebagaimana kita ketahui berita-berita dari daerah umumnya dianggap pelengkap saja oleh media, kalah bersaing dengan berita-berita dari megapolitan Jakarta dan sekitarnya. Berita dari daerah yang menasional biasanya hanya ketika terjadi suatu bencana besar di daerah tersebut. Misalnya ketika bencana tsunami Aceh 2004, gempa Yogya 2006, meletusnya Merapi 2010, tsunami Mentawai 2010, gempa di Bener Meriah dan Aceh Tengah 2013, kabut asap di Riau 2013, dll. Di luar itu jangan harap berita dari daerah bisa masuk ke bagian utama suatu program pemberitaan di televisi atau media cetak/internet. Mau tidak mau memang inilah kenyataan yang ada di industri media saat ini di Indonesia, berita dari daerah sering dianaktirikan, sementara berita untuk daerah Jabodetabek sekitarnya begitu diekspos luar biasa. Untuk hal ini saya mengapresiasi harian Kompas yang tetap proporsional dalam tata letak pemberitaan. Dalam kasus Sisca ini, sepengamatan saya koran Kompas tidak dengan heboh menempatkan berita perkembangan kasus Sisca ini di bagian headline korannya, namun Kompas menaruhnya di desk ataupun rubrik 'nusantara' karena kasusnya memang terjadi di daerah Jawa Barat yang di koran Kompas digolongkan ke dalam desk pemberitaan 'Nusantara'. Kompas tidak dengan petakilan menaruhnya di rubrik politik dan hukum misalnya, karena memang kasus ini terlalu 'lokal' untuk diangkat ke rubrik tersebut (yang umumnya berisi tentang berita-berita yang mempunyai lingkup nasional serta terkait dengan kehidupan bernegara secara general).

Lalu saya juga melihat ada 'kegenitan' awak media dalam mengekspos kasus ini. Memang harus diakui bahwa Sisca adalah wanita muda yang cukup cantik, dan bisa jadi ini jadi salah satu hal yang menggerakkan media untuk membombastiskan berita ini. Kita sadari bahwa wanita cantik termasuk pemberitaan tentangnya  selalu menarik perhatian siapa saja, dan dengan kasus ini media berlomba-lomba untuk mengangkatnya karena mereka tahu bahwa isu 'wanita cantik' akan dengan mudah mendapat perhatian masyarakat dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan rating ataupun animo masyarakat terhadap pemberitaan dari media tsb. Sebenarnya perhatian media yang berlebihan terhadap kecantikan wanita adalah suatu bentuk perendahan terselubung terhadap kapasitas kaum wanita, sebab wanita semata-mata hanya diukur dari tampilannya saja. Bisa dilihat berapa kali media menyebut kasus ini dengan sebutan 'kasus pembunuhan wanita cantik yang mantan model dan seorang manager di sebuah perusahaan leasing mobil...' selalu cantiknya saja yang ditekankan, sedangkan bagaimana sepak terjang karir wanita lulusan Teknik Sipil Universitas Parahyangan Bandung ini jarang untuk diungkit-ungkit. Inilah salah satu kegenitan awak media kita sekarang ini.

Kegenitan lainnya adalah karena ada kemungkinan kasus ini berlatar belakang asmara, sebab seorang perwira polisi berpangkat Komisaris disebut-sebut ada di balik peristiwa pembunuhan Sisca. Oknum polisi tersebut diduga punya hubungan asmara dengan Sisca, yang kemudian entah karena ada masalah menjadikan si polisi menaruh dendam dan menyewa tangan orang lain untuk menghilangkan nyawa Sisca. Isu yang sangat berbau sinetron ini rupanya ditangkap baik oleh media, mereka mencium bahwa ini bisa jadi sesuatu yang menggemparkan publik mengingat kebanyakan orang Indonesia cukup suka dengan cerita-cerita konspirasi berlatar belakang asmara sebagaimana sering ada di sinetron-sinetron. Inilah yang menyebabkan kemudian kasus ini diangkat dengan baik oleh media menjadi sebuah isu nasional. Kegenitan media sebelumnya juga pernah terjadi ketika melaporkan perkembangan kasus suap kuota impor daging sapi, dimana rasanya yang lebih sering disorot media adalah isu seputar wanita-wanita cantik yang diduga menerima aliran dana dari Ahmad Fathanah. Isu wanita cantik ini bahkan setara intensitasnya dengan isu tentang inti kasus suap itu sendiri. Begitu juga dengan kasus seorang terpidana mati kasus narkoba yang mendapat fasilitas bercinta oleh aparat Lapas Cipinang. Rasanya ketika itu kalau tidak ada keterlibatan wanita cantik seperti Vanny Rosyanne maupun Anggita Sari mungkin media tidak akan seintens itu memberitakan kasus 'plesir' di dalam bui itu. Karena memang itu hal yang jamak, sudah jadi rahasia umum di Lapas-lapas di Indonesia ini, asal berduit maka kemudahan dan kelonggaran bahkan fasilitas bisa diberikan kepada seorang tahanan/narapidana. namun karena ada keterlibatan wanita cantik, dan tempat kejadiannya di Jakarta pula, maka menasionallah isu ini.

Bagaimanapun tentu saja kita mengharapkan ke depannya kasus Sisca ini dapat diungkap dengan seterang-terangnya oleh aparat hukum, tanpa ada fakta yang ditutup-tutupi maupun direkayasa.

2 komentar: