Jumat, Maret 27, 2009

Sedikit Catatan tentang Sistem Pemerintahan Indonesia

Sistem pemerintahan apakah yang dianut di Indonesia saat ini? Sistem presidensialkah, atau parlementerkah? Masyarakat umumnya mempunyai pemahaman bahwa sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial, sekalipun mengenai hal ini tidak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 –sebagai dasar hukum tertinggi negara Indonesia- yang menyebutkan secara tegas bahwa sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. UUD 1945 hanya menyebutkan bentuk negara Indonesia adalah republik, tanpa ada menyebutkan sistem pemerintahan apakah yang dianut di Indonesia.
Memang dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial. UUD 1945 (sebelum perubahan) di satu sisi menggambarkan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial. Hal ini dibuktikan dengan adanya pasal-pasal dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) itu yang menyebutkan bahwa presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara yang tertinggi. Selain itu, adanya menteri-menteri yang tergabung dalam sebuah kabinet menunjukkan ciri-ciri sebuah pemerintahan yang presidensial. Menteri-menteri itu diangkat oleh presiden, dan berkedudukan sebagai presiden. Mereka hanya bertanggung jawab terhadap presiden, bukan kepada parlemen seperti dalam sistem parlementer.
Namun di sisi lain UUD 1945 (sebelum perubahan) ternyata mempunyai watak parlementer. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal yang mengatur tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR dalam kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara yang memegang kedaulatan rakyat, mempunyai kewenangan mengangkat presiden dan wakilnya. Presiden dalam hal ini berkedudukan sebagai mandataris MPR, dimana dalam melaksanakan tugas dan membuat berbagai kebijakan harus berpedoman kepada garis-garis besar haluan negara yang telah ditetapkan oleh MPR. Jika presiden dinilai telah melanggar GBHN tersebut, maka MPR mempunyai kewenangan untuk memberhentikannya dalam masa jabatannya.
Betapa besarnya kewenangan yang dimiliki MPR itu tentu menimbulkan kerancuan. Benarkah Indonesia menganut sistem presidensial murni? Jika iya, maka kita akan melihat suatu kontradiksi dilihat dari kewenangan MPR tadi. Pada dasarnya anggota MPR adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau parlemen juga, ditambah utusan daerah dan utusan golongan. Jadi, jika MPR dapat menjatuhkan presiden, itu berarti juga parlemen dapat menjatuhkan presiden, karena MPR itu sebenarnya terdiri dari anggota parlemen. Hal ini hanya terdapat dalam negara-negara bersistem parlementer.
Mungkin perlu sedikit dijelaskan mengenai sistem parlementer ini. Secara umum, sistem parlementer adalah sistem pemerintahan yang mana kekuasaan tertinggi berada di tangan parlemen. Kita bisa mengambil contoh satu negara parlementer, yaitu Inggris. Inggris adalah negara kerajaan, negara ini dipimpin oleh seorang raja/ratu. Namun kedudukan raja/ratu hanyalah sebagai simbol kepala negara saja. Kepala pemerintahan sehari-hari dijabat oleh seorang ”first ministry” atau perdana menteri.
Seperti halnya di Indonesia, di Inggris pun diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen. Setelah terpilih, maka ditunjuklah seorang formatur kabinet yang berasal dari parlemen oleh raja. Maka sang formatur pun memilih anggota-anggota parlemen untuk mengisi kabinet. Namun tidak mutlak menteri yang ditunjuk oleh formatur itu harus berasal dari anggota parlemen terpilih. Bisa juga diambil dari kalangan yang bukan anggota parlemen. Namun syaratnya sang menteri non parlemen ini harus menjalani pemilu susulan, dan hanya jika ia terpilih dalam pemilu itu ia bisa menduduki jabatannya dalam kabinet tadi. Jika ia tidak terpilih, maka ia harus rela mundur dari kabinet.
Setelah kabinet terbentuk, maka si formatur tadi memimpin kabinetnya sebagai menteri utama/perdana menteri dan harus selalu mempertanggung jawabkan kabinetnya kepada parlemen. Parlemen disini berhak mengeluarkan mosi tidak percaya kepada kabinet jika mereka menilai kinerja kabinet tidak memuaskan, dan mosi netral jika mereka menilai kinerja kabinet memuaskan.
Karena mosi tidak percaya dari parlemen dapat menjatuhkan kabinet, maka tentulah tidak efektif apabila kabinet terus-menerus dijatuhkan dan diganti apabila parlemen merasa tidak puas atas kinerja kabinet. Sebab dengan seringnya terjadi pergantian kabinet atau pemerintahan, maka terus berganti pula program kerja yang dibuat kabinet-kabinet itu. Pada akhirnya tidak akan ada program pemerintah yang berjalan lancar, sebab bisa saja baru mulai dijalankan, parlemen sudah tidak menyetujuinya dan mengajukan mosi tidak percaya. Program pun batal, berganti program baru yang nasibnya tidak berbeda dengan program kabinet sebelumnya. Akhirnya pemerintahan menjadi tidak efektif dan menyengsarakan rakyat, sebab tidak ada program pemerintah yang terlaksana dengan baik.
Untuk menghindari hal ini, biasanya sang formatur atau perdana menteri memilih anggota kabinetnya dari anggota-anggota parlemen yang berasal dari partai yang menguasai kursi mayoritas di parlemen. Tujuannya agar parlemen bisa lebih ”jinak” dan mendukung setiap kebijakan kabinet, sebab bukankah orang-orang yang duduk di kabinet merupakan teman-teman mereka sendiri dari partai yang menguasai mayoritas kursi parlemen yang tentunya mempunyai posisi yang menentukan sekali dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh parlemen. Jadi dengan duduknya orang-orang dari partai penguasa parlemen bisa menghindarkan kabinet tersebut dari kejatuhan, sebab amat janggal bila rekan-rekan separtai mereka mengkritik kebijakan kabinet. Bukankah setiap kebijakan yang dibuat rekan-rekan mereka di kabinet harus disesuaikan dengan program partai mereka yang telah mereka kampanyekan? Maka bisa disimpulkan bahwa parlementerlah pemegang kekuasaan negara dalam sistem parlementer.
Kembali ke Indonesia, mengenai dualisme watak UUD 1945 (sebelum perubahan) di atas, kini dengan adanya amandemen UUD 1945 maka kedudukan MPR kini bukanlah sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukannya kini hanyalah sebagai lembaga negara biasa saja, setingkat dengan presiden, DPR, BPK, MA, MK, dan KY. Presiden dan wapres kini dipilih langsung oleh rakyat. MPR hanya berwenang mengubah UUD, melantik presiden dan wapres serta mengajukan impeachment terhadap presiden dan atau wapres.
Dengan amandemen UUD tersebut, semakin menegaskan Indonesia sebagai penganut sistem presidensial. Walaupun memang belum presidensial murni seperti di Amerika Serikat. Di Indonesia, presiden masih mempunyai kewenangan untuk mengajukan RUU dan membahas suatu RUU bersama DPR. Dalam konsep presidensial murni, presiden seharusnya tidak mempunyai kekuasaan di bidang legislasi lagi. Dia hanya melaksanakan undang-undang itu saja atau eksekutif. Sekalipun demikian, di AS misalnya, presiden mempunyai hak veto untuk menolak suatu RUU. Ini adalah suatu perimbangan dalam sistem presidensial murni yang sampai sekarang belum dilaksanakan di Indonesia.
Ada suatu hal menarik mengenai sistem pemerintahan Indonesia ini. Sekitar tahun 1999, Amien Rais, seorang pelopor reformasi dan ketua umum PAN, mencalonkan dirinya sebagai presiden Indonesia untuk periode 1999-2004. dalam berbagai kampanyenya, dia menawarkan konsep mengubah negara Indonesia dari negara kesatuan menjadi negara federal. Alasannya, dengan dipakainya sistem federal di Indonesia, maka daerah-daerah yang selama ini bergejolak ingin memerdekakan diri seperti Aceh dan Papua bisa mengurungkan niatnya dengan terakomodasinya kepentingan daerah-daerah tersebut dalam pemerintahan federasi. Gagasan ini menyinggung calon presiden lain yang berasal dari Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra. Yusril merasa tersinggung dengan ide ini. Seperti kita ketahui, PBB merupakan cucu dari Partai Masyumi di era orde lama dulu. Masyumi ini pernah mempunyai seorang pemimpin bernama Mohammad Natsir. Natsir ini dikenal sebagai sosok yang cinta pada persatuan Indonesia. Dialah yang mengungkapkan gagasan untuk membubarkan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kembali ke bentuk negara kesatuan Republik Indonesia. Atas jasanya itulah Natsir pernah diangkat sebagai perdana menteri Indonesia.
Yusril sebagai generasi penerus Natsir yang amat cinta persatuan ini jelas merasa tersinggung dengan ide Amien yang ingin Indonesia beralih ke bentuk federasi. Maka ia menantang Amien untuk berdebat. Pada mulanya Amien tak bersedia, namun karena terus dipanas-panasi akhirnya ia mau juga hadir dalam perdebatan di Universitas Indonesia yang dihadiri oleh Amien, Yusril, serta satu orang capres lagi yaitu Sri Bintang Pamungkas.
Begitu debat dibuka, Yusril langsung menodong ide Amien mengenai federasi yang dinilai Yusril bertentangan dengan UUD 1945. Namun Amien malah mengatakan ia sudah meninggalkan ide federasi itu. Ketika ditanya alasannya, ia mengatakan untuk mengubah bentuk negara dan pemerintahan Indonesia itu haruslah dengan amandemen UUD yang pastinya memerlukan biaya besar dan waktu yang lama. Mendengar alasan Amien ini, Yusril segera menyerangnya. Yusril mengatakan bahwa dalam sejarah Indonesia pernah berganti sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer pada awal kemerdekaan, dengan Sutan Syahrir sebagai perdana menterinya. Dan perubahan sistem itu dilakukan tanpa mengubah satu kalimat bahkan satu titikpun dalam UUD 1945. Di sini Yusril mengkritik Amien yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden, namun kenyataannya mengenai sejarah ketatanegaraan Indonesia saja Amien masih kurang memahami serta mengingatnya. Bagaimana lagi mengenai hal-hal yang lebih rumit lagi dalam membangun negara ini.
Amien memang seorang doktor di bidang politik internasional. Dia meneliti mengenai gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir sebagai kajian disertasi doktoralnya. Namun mengenai tata negara dan politik dalam negeri Indonesia dia sedikit sekali mempunyai pemahaman. Amien mengelak dengan mengatakan Yusril itu masih adikannya dan pengalamannya masih kurang. Bahasa Inggris saja masih lebih jago saya, kata Amien. Namun Yusril segera membantahnya dengan mengatakan bahwa yang diperdebatkan bukan kemahiran berbahasa Inggris, tetapi keahlian tata negara Indonesia.
Satu hal menarik lainnya, istilah kabinet pada dasarnya hanya ada dalam sistem parlementer. Namun karena Indonesia latah, maka istilah kabinet pun dipakai di Indonesia yang menganut sistem presidensial. Seharusnya istilahnya untuk presidensial adalah dewan menteri. Istilah kabinet pun kadang-kadang dipakai di AS yang juga menganut sistem presidensial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar